Kritik?

Ramadhan dan Kedamaian

KRITIK merupakan proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti “dapat didiskusikan”. Kata kritikos diambil dari kata krenein yang berarti memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan. Demikian dikutip dari Wikipedia.

Secara umum, orang membagi kritik dua macam, yaitu konstruktif (yang membangun) dan destruktif (yang merusak). Bagi yang dikritik, awalnya baik bersifat konstruktif maupun desruktif, keduanya sama-sama terdengar menyakitkan. Pada dasarnya semua manusia ingin dipuji bukan dikritik. Untuk itu setiap kritik selalu menyakitkan pada awalnya.

Namun pengetahuan dan pengalaman hidup membuat orang mengerti bahwa kritik amat diperlukan, amat dibutuhkan, baik untuk diri pribadi maupun bagi suatu kelompok, baik untuk masyarakat biasa maupun masyarakat elit dan penguasa karena pada kritik akan menghasilkan sesuatu amat baik menuju kesempurnaan.

Manusia yang anti kritik akan hidup stagnan. Ia merasa sudah berjalan jauh dan berbuat sangat banyak tapi ternyata tak lebih dari si pandir yang jongkok, melihat ladang dari bawah selangkangannya karena yang ia lihat adalah langit yang membentang di atas sana. Ia melihat langit setengah menelentang. Ia hanya merasa besar dan benar sendiri sehingga yang diperolehnya hanya kesenangan dan kepuasan semu. Ia lupa bahwa ukuran panjang dan jauhnya perjalanan, luas atau sempitnya hasil yang ia kerjakan diukur dari meteran. Meteran merupakan salah satu alat ukur. Dan itu merupakan sesuatu yang berada di luar dirinya.

Pandangan orang lain terhadap diri kita merupakan meteran. Yang mengukur baju kita adalah tukang jahit dengan meterannya. Jangan ukur diri kita dengan ukuran-ukuran kita. Kita boleh berharap baju kita sesuai dengan yang kita inginkan akan tetapi yang mengukur dan melihat sisi indah dan selesanya pakaian dikenakan tetap melibatkan orang lain. Dan pada akhirnya, orang lain juga yang menilainya. Kita tak dapat menutup mulut orang seperti menutup mulut tempayan. Mulut manusia dinamis karena hidup, bergerak, sementara mulut tempayan tetap tertutup kalau tidak dibuka oleh orang lain.

Kritik seumpama obat bagi pasien. Ia pahit tapi dapat menyembuhkan jika sabar menelannya. Ia bagaikan cambuk bagi kuda untuk berlari dan berpacu kencang. Manusia anti kritik sebenarnya merupakan insan yang menyalahi kodratnya sebagai tempat salah dan lupa karena pada dirinya himpun pepat dhaif dan papa.

Akan tetapi bagi seorang kritikus, tentunya menyadari bahwa kritik punya etika dan aturannya sendiri. Buat siapa lontaran kritik dialamatkan. Pada masa apa dan di tempat mana serta dalam kondisi bagaimana kritik diucapkan. Untuk apa dan berdasarkan apa kritik dinyatakan. Kalau semua itu diabaikan maka kritik akan melahirkan sesuatu yang meresahkan. Kalau kritik keluar dari hati yang penuh dengki maka kritik hanya melahirkan kerusakan dan malapetaka. Bila kritik didasari rasa cinta maka semua akan berakhir bahagia. Tapi sebaliknya jika kritik dilahirkan karena prasangka membabi buta maka semua akan sia-sia, bahkan akan berakhir dengan perselisihan, permusuhan dan perpecahan yang berujung pada bencana.

Ada tujuh bentuk komunikasi menurut Ade Muzaini Aziz (2019) dalam Alquran yang sejatinya hemat saya perlu diperhatikan seorang pengritik ketika melontarkan kritikan dan gagasan-gagasannya: yaitu qawlun ma’rufun, qawlun tsabitun, qawlun sadidun, qawlun balighun, qawlun karimun, qawlun maysurun, dan qawlun layyinun.

Pertama, sampaikan kritik dengan perkataan yang baik atau arif (qawlun ma’rufun). Perkataan jenis ini identik dengan kesantunan dan kerendahan hati. Alquran mensinyalir bahwa mengucapkan qawlun ma’ruf lebih baik daripada bersedekah yang disertai kedengkian (QS Albaqarah [2]: 263). Kedua, lontarkan kritik ucapan yang teguh (qawlun tsabitun). Perkataan ini punya argumentasi yang kuat serta dilandasi keimanan yang kokoh. Tidak ada keraguan yang menyelimutinya. Kezaliman yang nyata patut dihadapi dengan perkataan jenis ini (QS Ibrahim [14]: 27).

Ketiga, ucapkan kritik dengan perkataan yang benar (qawlun sadidun). Tiada dusta dan kebatilan dalam ucapan ini. Kata sadid berasal dari sadda yang berarti menutup, membendung, atau menghalangi. Qawlun sadid yang diucapkan berfungsi untuk mencegah terjadinya kemungkaran dan kezaliman. Bukti ketakwaan seorang Mukmin di antaranya gemar mengucapkan perkataan ini (QS Al-Ahzab [33]: 70). Keempat, nyatak kritik dengan ucapan yang efektif dan efisien (qawlun balighun). Ini adalah jenis ucapan yang cermat, padat berisi, mudah dipahami, dan tepat mengenai sasaran alias tidak ngelantur. Tipe perkataan seperti ini akan berpengaruh kuat bagi pendengarnya (QS Annisa [4]: 63).

Kelima, layangkan kritik dengan ucapan yang mulia (qawlun karimun). Ini merupakan tutur kata yang bersih dari unsur kesombongan dan nada merendahkan atau meremehkan lawan bicara. Terdapat semangat memuliakan, menghormati, dan menghargai terhadap lawan bicara dalam qawlun karim tersebut (QS Al-Isra [17]: 23). Kata karim bermakna sangat mulia. Perintah untuk berkomunikasi kepada kedua orangtua dianjurkan Ilahi dengan komunikasi gaya ini.

Keenam, sampaikan kritik dengan ucapan yang layak dan pantas atau dalam Alquran dengan istilah qawlun maysurun. Maysur arti asalnya adalah yang memudahkan. Ucapan ini mengandung unsur memudahkan segala kesukaran yang menimpa orang lain, dan menghiburnya guna meringankan beban kesedihan (QS Al-Isra [17]: 28). Secara etimologis, kata maysurun/maysuran berasal dari kata yasara yang artinya mudah atau gampang (Al-Munawir). Ketika kata maysuran digabungkan dengan kata qaulan menjadi qaulan maysuran yang artinya berkata dengan mudah atau gampang. Berkata dengan mudah maksudnya adalah kata-kata yang digunakan mudah dicerna, dimengerti, dan dipahami oleh komunikan, sehingga bahasa yang disampaikan akan mudah dicerna oleh masyarakat umum, ini menjadi tugas bersama untuk menyampaikan pesan moral dengan jelas dan gamblang.

Ketujuh, utarakan kritik dengan kata dan suara yang lemah lembut dan menyejukkan, yang diistilah Alquran dengan qawlun layyinun. Kelembutan diharapkan dapat menundukkan kekerasan, sebagaimana air dapat memadamkan api. Inilah pesan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ketika keduanya hendak menghadap Firaun yang lalim (QS Thaha [20]: 44).

Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa mengatakan, “Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Allah. Dia berniat untuk memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujah atasnya, bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain.”

Sebenarnya memberi kritik merupakan ibadah jika ditujukan untuk amar makruf nahi munkar (untuk menegakkan kebenaran dan memerangi kejahatan). Akan tetapi tidak asal mengritik. Kritik punya etika tersendiri, selain tujuh prinsip komunikasi yang disebutkan di atas, maka perlu juga diperhatikan lagi di antaranya: si pengritik meniatkan itu semua dalam rangka mengingatkan yang dikritik untuk berbuat benar, yaitu benar dalam pandang Ilahi. Kemudian, sampaikan kritik dengan cara, bahasa yang sopan dan kata-kata yang santun. Tengok dan lihatlah kepada siapa kritik ditujukan. Setelahnya, kritik sejatinya berdasarkan ilmu bukan perasaan tak berdasar. Dengan ilmu, seorang kritikus akan adil dalam menilai. Ia tidak akan terbawa oleh nafsu atau pandangan sempit. Dengan ilmu dan keadilan dalam menilai maka pandangan dan kritikannya akan terasa arif. Kearifan merupakan modal dasar bagi seorang kritikus untuk mengritik sesuatu sehingga kritik dapat melahirkan sesuatu yang baik demi perubahan ke arah yang lebih cemerlang di masa depan, dalam bidang apa pun, termasuk dalam berbangsa dan bernegara.

Wallahu a’lam. ***

Baca : Jumat Berbagi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *