Racun Burung d’Angkasa

tuan guru

   Burung di angkasa bisa diracun
   Pelanduk di hutan dapat disambar
   Apatah lagi rusa sudah d’kandang

Tak diberi makan
pun mati menggigil

   Damai dibangun berpuluh tahun
   Rusak berantakan dalam sebentar
   Cerah ke depan sudah menghilang

Amat harapkan keajaiban
Hasbunallahu wa ni’mal-wakiil

*

AMAD menangis.

Pilu dia. Tersengguk-sungguk sambil memeluk tiang satu-satunya. Pilar. Di tengah-tengah rumahnya. Penyangga kerangka-kerangka plafon ~ yang sebagian besar sudah lapuk. Sekaligus penopang atap rumah kayu pusaka warisan ibunya dan saudara-saudari ibunya ini, dari sang datuk.

Bila patah-riuk tiang di tengah rumah ini maka ambruk rubuhlah bangunan induk rumah tua ini. Siapa pun berada di dalamnya akan tertimpa gelondongan kayu-kayu besar, dan serta-merta akan bonyok, penyet, seremuk-remuknya.

Amad amat sedih.

Sejak ada tetangga baru di sebelah rumah mereka segalanya nyaris semua tak boleh. Tak boleh lagi strika pakaian. Tidak boleh lagi cabut pucuk ubi di pekarangan. Tak boleh sembarang waktu melintas di halaman. Malah melaungkan azan ~ keraskan baca ayat-ayat suci ~ bila waktu Magrib, Isya atau Subuh datang ~ pun sudah sering dikomplain.

Anehnya yang melarang itu tetangga barunya ini. Padahal para tetangga lamanya selama ini boleh-boleh saja. Tidak pernah jadi masalah. Tidak ada pantang larang. Malah sama-sama melaungkan. Sama-sama menggemakan. Juga sama-sama bercocok tanam. Sama-sama lalu-lalang di halaman dan bermain di pekarangan.

Hal yang lebih aneh lagi alih-alih babehnya Amad ikut-ikutan pula melarang. Biasanya tidak peduli saja. Sekarang apa yang tidak dibolehkan oleh tetangga mereka itu babehnya langsung-langsung pula main tidak membolehkan lagi ini dan itu.

Listrik itu tetangga yang bayar
Minyak kita sudah habis

Tanaman itu di depan dapur tetangga
Biar saja mereka yang bikin sayur

Halaman rumah mereka yang sapu
Jangan bermain di situ

Jangan berisik. Jangan gaduh
Jangan ganggu istirehat mereka

Lebih-lebih waktu Magrib
Isya dan Subuh

Amad menggerutu dalam hati. “Apakah bukan disebabkan jin dewa naga merah dan jejin cecacing yang merasa terbakar setiap dengar suara azan? Ayat suci digemakan? Payah beritual golumbungkan syahwat dahsyat. Sehingga yang menggaungkan zikir dan takbir perlu dikandangkan?”

Maka, inilah mungkin mulai saatnya menjamu para dedajjal ~ yang sudah bebas melenggang kangkong menggelora syahwatnya ~ dengan serbaneka lautan minuman keras yang akan diinveskan sebesar-besarnya itu.

Amad kesal.

Kalau mereka boleh-boleh saja buat gaduh. Bising. Bikin heboh. Main televisi dengan suara kencang-kencang. Berjoget-joget. Berteriak lepas-lepas. Keras-keras. Tak peduli waktu sabolimo, masuk saat Magrib. Tak peduli orang lagi bertamu dengan Al Azim, Al Aziz, Al Khahar, Al Ghafur.. Tak peduli orang ingin bertafakur

Oh, di manakah ibunya ketika Amad terjepit?

Dia ada. Dia diam saja dan semakin pendiam. Mukanya semakin keruh, pun sudah banyak masam.

“Sejatinya orang baru beradaptasi dengan orang lama,” kata Amad, masih di dalam hati. “Kenapa awak pula yang sudah lama mentradisi di sini yang harus beradaptasi?”

Amad makin tak mengerti, juga amat geram.

Amad dapat kabar angin. Konon, babehnya – suami ibunya itu, diam-diam sudah menggadaikan lahan pusaka ibunya ini pada seorang juragan. Lantaran tidak mampu membayar utang, tanah beserta bangunan di atasnya lantas disita sang juragan.

Sekarang sebagian rumah ini – sayapnya – sudah ditempati kerabat sang juragan. Sebagian – rumah induknya – masih ditempati Amad dan ibunya bersama adik sambungnya. Sedangkan babehnya makin jarang pulang. Mungkin karena rumah ini sudah mengecil dan menyempit. Kabar angin lagi, di luar sana babehnya sudah punya rumah istana.

Amad bertanya-tanya pada dirinya sendiri:

Kenapa pula babehnya yang menggadaikan? Ini kan bukan pusaka dia? Ini pusaka ibunya bersama saudara-saudari kandung ibunya. Dia sendiri – Amad – tidak berhak menggadaikan atau memperjualbelikan. Rumah pusaka ini banyak ahli warisnya.

Amad ingin bertanya pada ibunya soal kabar angin ini. Namun dia tidak dapat angin untuk bertanya. Ibunya malah sudah jarang bercakap. Ingin bertanya pada babehnya tambah tak mungkin. Minta angin bisa-bisa dapat ribut. Tak cukup ribut dia beri badai. Ini bisa membuat masalah tambah kusut. Bisa pula membuat semua bisa lebih cepat jatuh berkecai. Bersepai-sepai.

Babehnya itu selalu angin-anginan.
Kadang-kadang juga tidak ada angin
tak ada ribut, eh. tau-tau datang badai.

Macam itulah tadi.

Pernah. Amad meminta bayar utang dari duit yang dipinjam babehnya. Duit itu bukan banyak. Sekadar untuk jajan dia sehari-hari yang diberi pamannya. Eh, bukan utangnya dibayar. Malah Amad dimarah-marahi oleh babehnya. Ujung-ujungnya babehnya minta duit lagi. Sampai duit siling pun yang disimpan Amad di bawah bantal, jauh di bawah ceruk tilam, ludes semua. Uang untuk guru ngaji pun kena sental.

Kok banyak duit masih njarah recehan, Amad nggedumel.

Pernah juga. Amad protes. Kenapa babehnya mengizinkan Pak Dusun menebang semua pohon durian di belakang rumah mereka. “Ini kan bukan pusaka babeh. Ini warisan datuk moyang kami!” Suara Amad sengit, memberanikan diri bersuara kencang.

Babeh tak merespon si Amad. Dia malah nyengar-nyengir saja melihat kesengitan anak mantan laki istrinya ini. Malah dia sempat-sempatnya melemparkan guyonan. “Pak Dusun, enak dibikin lempuk si Amad ini.. he hee..”

“Bukan ditempoyak saja, Babeh?” Pak Dusun bertanya sambil melangkah menghampiri si Amad.

Sesampai di dekat si Amad, Pak Dusun langsung menjewer telinga anak bujang tanggung ini. Kuat sekali. Dipulas. Dipintal. Amad kesakitan. Sangat perit. Dia mau menjerit. Tetapi ditahan-tahannya. Sampai merah padam mukanya. Sangat pedas. Mengelupas. Saking sakit rasa-rasanya telinganya macam betul-betul sudah lepas.

Sejak saat itu Amad merasa telinganya senantiasa panas. Macam ada bara api yang terus marak membara menempel di sana. Selalu pula terasa dia benar-benar macam sudah tidak lagi punya telinga.

Oleh karena itu Amad mati ketakutan setiap babehnya bawa pak dusun datang ke rumah. Orangnya bukan sekadar sangar. Tetapi bisa benar-benar menggeletarkan alam. Ini baru satu pak dusun. Konon masih ada satu dua pak dusun lagi yang lebih sangar. Lebih menakjubkan.

  Burung di balik awan bisa dia suapi
  Ikan di dasar lautan bisa dia elus
  Kancil tengah berlari bisa dipanggang

Burung-burung betina bisa dicabut bulunya.
Bisa pula disuruh berenang di tilam atau di _
kolam-kolam hotel-hotel bintang 101._

Mereka memang hebat.
Tampaknya semua bisa dibuat.

Gampang memindahkan bintang-bintang
Planet pun bisa mereka hapus dari langit.

Amad masih tersedu-sedu memeluk tiang.

  Mengenang pohon durian.
  Sumber daya yang hilang.

Pohon durian itu dulu lebat buahnya bila tiba musimnya. Inilah juga jadi hiburan setahun sekali.

Tamasya di belakang rumah.

Bila durian jatuh berebutan memungutnya. Ada yang dicekah, dimakan di pangkal batang. Ada yang dibuat bubur durian, dimakan bersama pulut. Ada yang dibuat lempuk, dikirim kepada keluarga jauh sebagai tanda ingat-mengingat selagi ada usia. Yang pecah-pecah jatuhnya dibuat tempoyak. Pekasam durian. Untuk masak lauk-pauk. Berpeluh-peluh dimakan anak beranak.

Saking sedapnya mertua lewat pun tak nampak

Kini itu cuma tinggal kenangan. Warisan pusaka, juga budayanya tak lagi bermakna.

  Sekarang tidak ada lagi durian gugur
  Tak ada lagi yang dapat dibuat lempuk
  Tidak ada lagi yang diolah jadi tempoyak

Tiada lagi pendapatan tambahan
Tiada lagi hiburan waktu subuh
atau petang. Sesudah atau
menjelang sembahyang.

Waktu-waktunya durian berjatuhan.

Sekarang di sini sudah berdiri kandang-kandang. Jadi lahan peternakan tikus jumbo. Yang konon, amat berpeluang gemilang untuk zaman mega tembelang.***

Planet Galaxih, 2021

Baca : Dedatuk Jejadian

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *