DI sebelah kanan Sungai Jantan
Sungai Ombun di tengah-tengah
Di sebelah kirinya Sungai keruh
Paling Utara Sungai Kelemunting
Dua bermuara di Selat Melaka
Dua kuala ke Kepulauan Riau
MUNCUL di sini dedatuk jejadian
Mantan pejabat daerah ilegal rambah
Memakan tanah membuat rusuh
Semua diembat semua ditinting
Beginilah tabiat pesyahwat dunia
Di mana-mana membuat kacau
***
HARI masih pagi. Sekitar pukul sepuluh.
Sang nenek yang bungkuk. Melangkah terbungkuk-bungkuk. Lalu duduk di kursi panjang. Di lobi kantor polisi sebuah kewedanaan di Sungai Ombun. Sekitar Rimba Panjang. Tubuhnya cukup kurus. Wajahnya menirus. Lengannya dan jejarinya pun sudah menghalus.
Dia menyempil. Mulutnya mengatup. Bahunya agak menguncup. Mengecutkan badannya yang memang kecil. Selintas dia membersihkan bekas lumpur dan debu lekat di kasut sambil juga membetulkan pakaian labuhnya yang tampak agak kusut.
Berbagi tempat duduk dengan perempuan setengah baya dan tua lainnya, sang nenek memindahkan punggungnya dengan menginsut-insut.
“Sudah banyak duit nenek habis mengurus tanah ini. Mungkin lebih besar dari harga tanah. Terus saja diserobot orang.” Suara nenek serak, agak parau.
Perempuan di samping sang nenek terbayang. Peritnya hidup nenek. Uang pensiun yang semestinya untuk biaya hidup pada hari tua, habis terkuras untuk mengongkosi kezaliman hantu tanah kedaung. Tetapi dia tetap menyemangati sang nenek.
“Semoga pengorbanan nenek jadi ibadah. Jadi amal jihad. Kita bersama-sama berjuang, Nek.”
Sayu mata sang nenek. Sesekali dia menoleh pada kekawannya yang lain. Para pejantan – sebagian besar setengah baya, yang tengah berkerumun membuat laporan kepolisian.
Renta.
Tetapi sang nenek tetap berupaya berjuang dengan sisa tenaga yang dia punya.
Beberapa saat yang lalu, orang tua ini adalah salah seorang dari sekelompok orang yang geram dan meradang. Menggelandang seorang operator ekscavator, alat berat, yang merambah kavlingan sembarangan. Dibawa ke kantor kepolisian Tambang, dekat Rimba Panjang.
Peristiwa ini terjadi 29 Oktober 2017.
***
SYAHDAN, terhamparlah tanah kavlingan milik pegawai pemerintah rendahan di ujung Timur wilayah Tambang daerah Kampar. Bersempadan dengan Pekanbaru. Ibu kota Provinsi Riau, bandar besar. Ada tiga ribuan kavlingan di sini. Di atas lahan ratusan hektar.
1986
Gabungan Koperasi Pegawai Negeri buat program pengavlingan tanah untuk rumah. Diniatkan membantu pegawai negeri yang gajinya masih sangat rendah. Upaya pun dilakukan untuk mendapatkan tanah perumahan di Pekanbaru dengan harga yang masih murah.
Akan tetapi semasa ini tanah di kota ini sudah mulai tinggi. Koperasi ini pun bersiasat. Mencari lokasi yang pegawai rendahan bisa terbeli. Lalu dipilihlah tanah di Kampar, yang kawasannya juga masih bersempadan dengan ibu kota provinsi.
Alhamdulillah
Didapatlah rimba yang panjang. Di Airtiris wilayah Tambang. Tanahnya luas membentang. Mukanya pas pula di labuh raya Pekanbaru-Bangkinang.
Syukur lagi, kawasan ini dekat dengan berbagai perguruan tinggi. Baik yang swasta terlebih yang negeri. Mulai dibangun IAIN Suska sampai Unri. Bagi pegawai yang tinggal jauh di daerah ini macam mimpi. Mereka rela berkredit, potong pengepul asap dapur setiap kali terima gaji.
2012, alih-alih datang penjarah tanah.
Mereka masuk dengan berbagai wajah. Pemilik tanah – pegawai negeri sipil : guru, dosen, polisi, TNI dan macam-macam profesi tetiba diajak bertelagah. Padahal selama 25 tahun lahan ini diolah tidak pernah timbul masalah.
Pertama datang datuk-datuk jadi-jadian. Mengaku ini tanah ulayat pusaka warisan. Nenek mamak mereka dulu tidak berhak memperjualbelikan. Lalu diambil lagi dengan paksaan.
Menjelma juga kelompok tani. Pasang plang di sana sini. Bangun pemilik kavlingan yang ada dirubuhi. Yang dibangun kembali mereka tumbangkan lagi. Ada dibuang ada dibakari. Segala tanaman keras dan muda habis dicabuti. Begitulah terjadi berulang lagi.
Terakhir muncul pula mantan pejabat daerah. Bawa preman yang gagah-gahah. Diimpor dari negeri sebelah. Excavator, alat-alat berat, pun dia kerah. Main lantak main pelasah. Mengeruk parit-parit baru dan melumatkan semua patok sempadan tanah.
Para pemilik kavlingan terdiam dan kecut?
Tidak juga. Beberapa kali pernah terjadi bentrok di lapangan. Jelata dihadapkan dengan preman. Untung saja tidak sampai terjadi “peperangan”. Tetapi beberapa kali sempat pula berurusan dengan aparat keamanan. Mulai laporan pencabutan patokan, penyerobotan sampai perusakan lahan.
Berhenti penyerobot melakukan aksi?
Tidak rupanya. Walaupun ada di antaranya yang sampai masuk lokap, dibui. Setelah reda sejenak dan melihat agak aman, ehh, tenang-tenang mereka berulah lagi.
Ada pun kelompok tani. Persiapan pun dibuat makin rapi. Soal administrasi pun dilengkapi. Surat dari tanah dari desa tetangga pun sudah didapati.
Bukan main hebat mereka punya nyali. Berani menggugat pemilik kavlingan sampai ke pengadilan negeri. Yakin menang merasa didukung aparat “wali nogori”. November 2020, sampai terjadi sidang lapangan di lokasi.
Action mantan pejabat juga “cemerlang”. Walaupun sebelah kakinya sudah goyang. Tetap meroket bisa terbang. Belukar dan gambut dia ratakan. Lokasi bersih, luas terbentang.
Inilah saat undang investor kawakan.
Awal 2021
Akhirnya tibalah putusan pengadilan
Tersebab tak kuat bukti kepemilikan
Menjunjung tinggi rasa keadilan
Hakim pun memvonis penuh kearifan
Kelompok tani harus tinggalkan
Tanah kavlingan lahan serobotan
x-Adipati pun jadi gundah
Main nasi terasa berduri
Minum pula terasa bergetah
Belum dia diputus vonis bersalah
Tetapi dipanggil untuk bersaksi
Terkait masalah kasus rasuah
Tapi dia pernah bertuah
Sudah dicampak dipilih lagi
Rakyat pelupa dia menyalah
Kena kunyah di sana sini
Akan hal dedatuk jejadian
DI mana jejak belum ketahuan
Mungkin tengah mengavling bulan
Akal apa lagi bisa diakal-akalkan? *
Sungai Ombun, 2021
Baca : Dari i-Tsing sampai x-Jing