Rihlah Imaniyah

Ramadhan dan Kedamaian

Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (Q.S. Al-Israa: 1)

AYAT di atas menjadi dalil utama tentang perjalanan isra mikraj nabi Muhammad Saw. Yaitu rihlah atau perjalanan material-spritual Nabi Muhammad Saw pada suatu malam di bulan Rajab dari Mesjid al-Haram di Mekkah ke Mesjid al-Aqsha di Palestina, naik ke langit lalu sampai ke Sidrat al-Muntaha, bahkan di atas itu dalam rangka melihat tanda-tanda kebesaran Ilahi dan menjemput perintah shalat fardhu.

Menurut M Qurays Shihab, isra mikraj itu merupakan perjalanan Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Bait Al-Maqdis, naik ke Sidrat Al-Muntaha – bahkan melampauinya – lalu kembali lagi ke Makkah dalam waktu yang sangat singkat merupakan peristiwa suprarasional yang tidak dapat dihayati kecuali melalui pendekatan imani. (M. Quraysh Shihab:1994).

Sebelum nabi Muhammad Saw dipanggil ke langit, terdapat beberapa orang nabi dan rasul yang telah melakukannya akan tetapi mereka tidak pulang lagi ke bumi, di antara mereka adalah nabi Idris As dan nabi Isa As. Akan tetapi nabi Muhammad Saw dipanggil Ilahi, dan kembali lagi ke bumi untuk meneruskan perjuangan dakwah yang masih terbengkalai. Ini juga menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan nabi termulia di antara para nabi sehingga ia dapat disebut sebagai imam para rasul.

Selain itu, melihat kejadian isra dan mikraj ini, nabi Muhammad Saw dapat disebut sebagai astronout pertama dan utama di dunia yang mampu melintasi berbagai galaksi yang ada bahkan sampai ke langit dan berujung di Sidrat al-Muntaha. Di Sidrat al-Muntaha ini juga membuktikan betapa mulianya nabi Muhammad Saw bila dibandingkan dengan malaikat, karena di sini hanya Nabi Muhammad sendiri yang langsung berdialog dengan Ilahi. Malaikat Jibril yang semula menemaninya tidak lagi bersamanya.

Selain itu, nabi Muhammad Saw telah melawati dimensi-dimensi waktu, yaitu masa lalu, masa kini dan masa depan. Dimensi masa lalu tergambar jelas saat ia bertemu dengan para nabi dan rasul terdahulu, seperti Adam, Yahya, Yusuf, Harun, Musa, Ibrahim As dan lain-lain. Nabi Muhammad Saw juga memasuki dimensi waktu masa depan dengan melihat langsung keadaan penduduk neraka, seperti adanya seseorang yang memikul kayu api yang sudah keberatan lalu minta tambah beban lagi, atau seorang perempuan yang menggunting lidahnya terus menerus, dan berbagai pristiwa buruk lainnya akibat dari amalan buruk yang dilakukan mereka selama hidup di dunia.

Di Surga nabi melihat orang yang saat itu menanam, saat itu juga berbuah, dan saat itu juga dituai atau dipanen. Ini merupakan gambaran dari surat Al-Baqarah ayat 261: Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.

Selain pristiwa itu, nabi juga melihat kejadian-kejadian indah lainnya yang merupakan pelajaran amat berharga bagi kaum beriman, dan menjadi motivasi besar agar mereka terus melakukan kebaikan dan kebajikan dalam hidup karena semua itu akan mendapat ganjaran dari Allah Swt. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8)

Surat Al-Isra ayat 1 di atas dimulai dengan kalimat tasbih yaitu subhanallazi (Maha Suci Dia Allah) dan diakhiri dengan innahu huwa al-sami’ al-bashir (Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat).

Apa sebenarnya yang didengar dan dilihat Allah Swt?

Pertama, dalam menjalankan misi dakwah, saat itu kondisi nabi dan para sahabat dalam tekanan amat luar biasa dari kaum kafir. Kondisi umat Islam benar-benar dalam kegelapan. Benar-benar dalam penderitaan yang sangat, bahkan dalam embargo ekonomi yang sangat hebat dan menyakitkan. Kedua, Rasulullah Saw saat itu dalam kondisi amat berduka karena baru saja ditinggal para penopangnya dalam mendakwahkan Islam, yaitu istrinya tercinta Khadijah al-Kubra dan pamannya Abu Thalib. Ketiga, saat di Thaif, ia mendapat penghinaan luar biasa dari masyarakat Bani Tsaqif. Tujuan semula agar memperoleh suaka malah mendapat siksa dan derita. Saat itu nabi berdoa, dan doa itulah yang dijawab oleh Allah Swt bahwa Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Bahwa Allah Swt mendengar dan melihat yang dialami nabi dan sahabatnya dalam memperjuangkan Islam, itu dibuktikan-Nya dengan memperjalankan Nabi Muhammad Saw sebagai Rihlah Imanah melalui safari isra mikraj. Seperti yang diungkapkan M Qurays Shihab di atas, pristiwa besar ini memang hanya dapat dicerna oleh hati yang diisi dengan iman.

Safari akbar ini juga memberi gambaran, bahwa ketika nabi isra mikraj yang melintasi alam demi alam, galaksi demi galaksi, bahkan sampai ke langit dan alam yang tinggi, ia melihat dan menyaksikan betapa bumi ini sangat kecil bahkan tiada apa-apanya. Kejadian ini dapat memberi pelajaran dan pengajaran bahwa ketika seseorang mengalami berbagai himpitan dan tekanan di bumi dan oleh penduduk bumi dalam berbagai ihwal yang tidak mengenakkan, maka segeralah merapat ke langit, bergegaslah untuk berteman dan bersahabat akrab dengan penduduk langit. Apalagi kalau bersahabat karib dengan Dia yang memiliki dan menentukan segalanya.

Wallahu a’lam. ***

Baca : Shalat dan Kehidupan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *