Melayu dan Ramadhan

Ramadhan dan Kedamaian

KINI sudah 19 Syakban. Tiada berapa masa lagi, bulan Ramadhan ‘kan tiba. Ramadhan merupakan bulan yang amat menggembirakan hati orang Melayu. Ia memang menjadi tamu istimewa yang sudah amat lama ditunggu dan dirindukan kedatangannya.

Bila ditilik prilaku orang-orang Melayu dahulunya, (sebagian mungkin masih ada kini dan di sini), bahwa dalam sebelas bulan sebelum Ramadhan datang, orang-orang Melayu mempersiapkan bekal dengan sungguh-sungguh demi menghadapi bulan Ramadhan itu. Selama bulan Ramadhan kebanyakan mereka khusus melakukan ibadah saja. Mereka tak lagi bekerja seperti pada bulan yang lain. Waktu dihabiskan hanya untuk beribadah karena di samping pada bulan ini pahala ibadah dilipatgandakan, mereka pun berharap agar selalu mendapat rahmat Allah SWT. serta memperoleh ampunan dari segala perbuatan, perkataan dan sikap yang salah selama ini. Mereka ingin bahagia ketika suatu saat nanti Allah SWT. menjemput melalui Izrail. Mereka ingin menjadi hamba yang kelak dipanggil Allah SWT. dengan himbauan, “Wahai diri yang tenang. Pulanglah ke haribaan Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Jadilah hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam Surga-Ku.”

Beberapa hari sebelum bulan Syakban berakhir, mereka pun berziarah ke makam orangtua dan handai taulan. Ritual ini dimaksudkan di antaranya supaya melunakkan hati. Selain itu juga untuk mengingat mati karena Rasulullah SAW. juga menyatakan bahwa salah-satu orang dipandang paling baik adalah yang selalu mengingat mati.

Pada petang terakhir bulan Syakban, mereka melaksanakan mandi tobat dalam sebutan Mandi Berlimau atau Petang Megang, mereka menyucikan diri zahir dan batin, lalu silaturrahim ke rumah keluarga dan sanak tetangga. Saling bermaaf-maafan. Mereka membersihkan diri zahir dan batin karena akan memasuki bulan yang mulia atau yang mereka kenal dengan bulan suci.

Mereka puasa bukan saja berpuasa dengan niat untuk menahan diri dari makan dan minum, berhubungan intim suami istri dan hal-hal yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, orang Melayu juga melakukan puasa lebih jelimat lagi, yaitu berniat menahan diri dari bersangka buruk kepada orang lain dan berbagai macam penyakit batin lainnya. Mereka juga menahan diri berbuat seperti berkata berlebihan, bergunjing dan laku sifat tercela lainnya. Mereka melakukan puasa sufistik. Sehingga berkembang dan familiar terdengar dalam sebagian masyarakat Melayu bahwa puasa itu punya adab batin.

Ketika memasuki pertengahan Ramadhan, mereka pun berlomba-lomba memperingati turunnya Alquran melalui perlombaan membaca Alquran. Lomba dimulai antar parit, antar dusun hingga antar kampung. Alquran benar-benar dirayakan dan diagungkan.

Pada malam 27 Ramadhan sebagian mereka menyalakan lampu colok, menyalakan sajodah (obor yang terbuat dari tempurung kelapa). Selain sebagai penerangan jalan kampung, maksud api itu juga sebagai simbol pencerahan karena diperkirakan pada saat seperti itulah munculnya lailat al-qadar (malam kemuliaan atau malam pencerahan) seperti yang tertera dalam surat Al-Qadr, bahwa malam itu malaikat akan turun ke bumi membawa keselamatan dan kesejahteraan hingga semburat fajar timbul di langit timur. Pada malam itu fadhilah amalnya melebihi seribu bulan.

Kaum ibu pada siang harinya, selain berpuasa, mereka pun menyempatkan diri membuat kue-mue untuk malam takbiran dan pada hari raya. Kue-mue tersebut bukan untuk pamer kekayaan dan hura-hura tapi bagaimana bergembira dan mengungkapkan rasa bahagia setelah diberi Allah umur panjang hingga Ramadhan itu, dan juga karena dirasa sukses menghadapi cobaan atau serangan hawa nafsu selama berpuasa dan beribadah di bulan Ramadhan dalam naungan kasih silaturrahmi.

Usai Idul Fitri, mereka kembali merajut tali silaturrahim dengan sanak keluarga dan tetangga di perkuburan umum sempena menziarahi keluarga yang telah berpulang ke Rahmatullah. Sayang kepada keluarga dan handai taulan yang masih hidup, maka saling salam-salaman dan bermaafan. Teringat orang tua, sanak saudara yang telah meninggal dunia, ziarahi mereka sambil berdoa dan membaca sepaling al-fatihah serta surah yasin secukupnya. Terlebih daripada itu, ziarah kubur ini dilakukan karena mengingat kampung abadi yang mana setiap makhluk bernyawa pasti ke sini adanya. Kullu nafsin zaiqat al-maut: Setiap diri pasti mati. Al-nasu niyamun, faiza matu intabahu: Manusia tertidur, apabila mati barulah mereka terjaga.

Wallahua’lam. ***

Baca : Bersiap di Syakban

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *