Sultan Melayu Budiman Era Syekh Abdul Wahab Rokan

rumah singgah

Ya Allah Robbal ‘izzati
Tolonglah kami berbuat bakti
Selama kami hidup sampai mati
Berkat syafaat sekalian sadati

Kamilah ini orang berdagang
Dosa kami banyak amal kami kurang
Asyikkan dunia pagi dan petang
Haraplah diampuni ya Allah Tuhan Penyayang

Syekh Abdul Wahab Rokan (Said, 1988)

INI petikan Syair Munajat. Karya imam besar yang beruntai 45 bait ini senantiasa dikumandangkan bilal dengan suara merdu dan lantang dari atas manara madrasah ~ yang juga masjid ~ di Kampung Babussalam, Kerajaan Melayu Langkat ~ di Tanjung Pura ~ setengah jam menjelang waktu Magrib dan Subuh tiba. Ditambah lagi menjelang Isya bila Ramadan menjelma.

Inilah yang menjadikan Ramadan semakin khidmat terasa.

Suatu kali Imam Besar Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan (SAWR) tetiba menyuruh Pakih Kecil, seorang putranya, naik haji ke Mekkah. Sebagaimana dua anaknya yang telah ke Mekkah. Ikut sahabatnya, Syekh Haji Abdul Rahman. Seorang tuan guru juga, yang sudah berpengalaman, yang ketika itu mengunjungi beliau di perguruannya di Babussalam.

Untuk ongkos, Tuan Syekh berikan duit pada Pakih Kecil 170 ringgit. Tahun 1313 Hijriyah, ongkos kapal macam murah. Lewat Pulau Pinang Malaya atau dari Singapura tidak jauh berbeda. Ongkosnya selisih sedikit saja.

Dengan cuma 25 ringgit sampai ke Jeddah.

Tetapi pada masa itu segalanya serba payah. Hidup terjajah. Duit payah. Transportasi pun payah. Untuk mendapatkan satu ringgit saja selalu bersusah payah. Tetapi orang-orang dulu ~ utamanya di Basilam, begitu lidah orang Tanjung Pura Langkat menyebut Babussalam ~ hati mereka masih banyak yang murah.

Mendengar Tuan Syekh akan mengirim anaknya ke Mekkah, orang-orang Basilam berusaha juga untuk mendapatkan berkah. Lalu ramai-ramai memberikan sedekah. Atas karunia Allah, terkumpullah semuanya 300 ringgit.

Alhamdulillah.

Pakih Kecil bersama Syekh Haji Abdul Rahman lalu bertolak dari Tanjung Pura di Utara Sumatera ke Singapura. Sampai di Bandar Singa ringgit itu dia “jadikan” emas. Dapat 27 pon. Maksud hati, selain untuk bekal, bisa pula nanti dijual lebih mahal. Ini juga salah satu siasat jalan yang halal.

Emas 27 pon ini pun dia simpan dalam tempat yang menurutnya paling aman. Dalam peti besi milik Syekh Haji Abdul Rahman. Digembok kuat dan kuncinya nyaris senantiasa dalam genggaman. Hampir pula tidak lepas dari pengawasan.

Eehhh.. alih-alih, emas 27 pon ini bisa lenyap; lesap begitu saja dari dalam peti. Sementara peti tetap terkunci, tiada berbekas sama sekali. Ketika kejadian ini dilaporkan kepada Syekh Haji Abdul Rahman, tuan guru ini tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya bergumam:

“Apa boleh buat. Inilah Singapura …”

Ketika kabar ini sampai ke telinga Tuan Syekh Abdul Wahab, beliau pun cuma mengatakan, “Sabar. Semua ini takdir dan ketentuan yang Mahakuasa.”

Sedih. Merasa gagal ingin naik haji. Setelah sekitar lima bulan bertahan di Singapura, Pakih Kecil balik lagi ke Kampung Babussalam di Tanjung Pura.

Tuan Syekh Abdul Wahab tak banyak bicara. Diam-diam meminta orang kepercayaannya, Abdullah Hakim, menemui Sultan Musa. Mengharapkan bantuan pinjaman 1000 ringgit. Untuk berangkatkan ke haji sejumlah keluarganya. Bukan Pakih Kecil saja.

Jambu yang dijolok, durian yang runtuh.

Sultan Musa Al-Muazzamsyah segera memerintahkan putranya, Abdul Jalil Rahmatsyah, agar selekasnya memberikan ringgit yang diharapkan Tuan Syekh. Bukan sebagai pinjaman. Tetapi anugerah. Baginda merasa perlu menjaga hati Tuan Syekh. Agar tetap menetap selamanya di Babussalam. Tidak lagi berpindah-pindah.

Sultan Musa Al-Muazzamsyah perlu cemas. Sifat suka berpindah tempat tinggal ini bukan saja pernah dilakukan Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan. Tetapi pernah juga dilakukan orang tuanya, Abdul Manaf. Malah moyangnya, Haji Abdullah Tambusai ~ bersama datuknya Yasin, juga pernah berpindah-pindah.

Tuan Haji Abdullah Tambusai seorang ulama yang berkharisma. Bila berpergian tidak kurang dari 40-an orang muridnya mengawalnya. Dia sangat dihormati. Pengaruhnya sangat luas. Dikenal di mana-mana pada masanya.

Setiap Jumat beliau menjamu makan dengan menyembelih kambing, lembu, atau malah kerbau. Tiap bulan Zulhijjah, beliau mengadakan kenduri besar. Pada acara ini datang para raja lokal, para panglima, datuk-datuk, alim ulama dan pembesar lainnya. Bukan saja di Batang Rokan. Tetapi juga sampai di kawasan Tapanuli, Rawa, bahkan sampai di pesisir Sumatera Timur.

Lantaran pengaruhnya yang hebat maka ada saja yang iri, lalu berbuat dengki. Haji Abdullah Tambusai difitnah. Sampai membuat Yang Dipertuan Besar Negeri Tambusai marah.

Tidak mau membuat suasana bertambah parah, Haji Abdullah pun mengajak para mengikutnya bermusyawarah. Hasilnya disepakati. Mereka berhijrah. Meninggal Tambusai yang ramai dan makmur. Ke Tanah Putih mereka menghilir, berpindah.

Akal halnya Abdul Manaf, cucu Haji Abdullah Tambusai dan ayah dari Abdul Wahab pun begitu. Dari Tanah Putih pindah ke Tambusai. Lalu pindah ke Asahan. Selanjutnya ke Deli Serdang. Di sinilah dia berjodoh dengan Arbaiyah. Putri Datuk Bedagai, juga berasal dari Tanah Putih, Rokan.

Dari Tanah Putih lalu kembali ke Tanah Putih.

Di Tanah Putih inilah Abdul Wahab Rokan dilahirkan bersama tiga saudaranya yang lainnya. Sri Barat, Muhammad Yunus, Abdul Wahab, dan seorang lagi belum sempat diberi nama. Si bungsu meninggal waktu kecil beriring dengan meninggalnya ibu kandung mereka.

Sifat suka berhijrah ini juga melekat kepada Abdul Wahab. Setelah berpindah-pindah semasa belianya, meniggalkan kampung untuk menuntut ilmu. Dari satu daerah ke daerah lainnya, sampai pula ke Mekkah. Balik dari Mekkah ~ setelah belasan tahun belajar di sana, juga masih sering berpindah-hijrah. Mulai dari Kubu di Sungai Rokan, menyisir pantai Timur Sumatera. Sempat pula bermastatutin di Malaya.

Inilah membuat Sultan Langkat gundah.

Sebelum ke Langkat, Tuan Syekh menetap di Kualuh, atas permintaan Yang Dipertuan Muda Kualuh Haji Ishak. Mengembangkan Islam di Kualuh dan sekitarnya.

Melihat besarnya pengaruh Tuan Syekh, banyak pengikutnya dari daratan Sumatera sampai seberang Selat Melaka, serta tinggi ilmu dan kharismanya, Sultan Langkat yang sudah sering mengundangnya mengisi pengajian di Tanjung Pura, ingin pula memintanya menetap di Langkat.

Tuan Syekh pun selalu dimanjakan. Mulai penyambutan dan penerimaan yang hangat sampai dihadiahkan sebuah perahu yang besar. Terakhir, memohon agar Tuan Syekh mau pindah dan menetap di Langkat.

Tuan Syekh tidak langsung menerima. Tidak langsung pula menolak. Masih ingin melihat gelombang dan riak. Tetapi setelah Sultan Kualuh mangkat, penggantinya tidak terlalu tertarik pada tariqat, 1875 M (1294 H) Tuan Syekh bersama keluarga dan sejumlah pengikutnya langsung pindah ke Langkat.

Sultan Musa Al-Muazzamsyah bukan main gembira. Tuan Syekh disambutnya dengan suka cita. Tempat tinggal sudah tersedia. Tempat pengembangan agama tersedia. Di tengah Bandar Tanjung Pura. Tidak jauh juga dari istana raja.

Akan tetapi Tuan Syekh tidak mau menerimanya. Dia ingin memulai dengan yang sederhana. Meminta lahan kosong saja. Di tempat yang sepi pun tidak apa-apa. Di situ nanti akan dibangun perkampungan untuk mengembangkan agama.

Sultan pun menyilakan memilih lokasi yang Tuan Syekh suka.

Masih dengan suka-cita. Sultan Musa Al-Muazzamsyah ikut serta dalam perahu Tuan Syekh mengarungi sungai, memilih lokasi yang sesuai dengan selera Tuan Syekh untuk pembangunan perguruan pengajian.

Tampak sebentangan luas lahan belukar yang bergunduk kecil, mereka pun singgah di situ. Naik ke daratan. Ketika sedang melihat-lihat lokasi sultan terpandang sebuah batu besar yang terletak di sebuah tunggul.

Sultan berseru. “Tuan Syekh, lihatlah batu itu. Naik ke atas. Mudah-mudahan pada tempat inilah kelak nama dan derajat Tuan jadi naik.”

“Insyaallah. Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan doa Tuan itu,” sambut Tuan Syekh Wahab.

Sebuah belukar. Bekas kebun lada. Inilah yang dipilih Tuah Syekh. Tanpa membuang waktu, pembangunan pun dilangsungkan dengan segera.

Berkat Mahbubus Subhani
Tuan Syekh Abu Hasan Kharqani
Tolonglah kami mengerjakan ini
Janganlah dibimbang anak dan bini

(SAWR; Said, 1988)

Sebagaimana yang mulia Nabi Muhammad SAW mula membangun Madinah; mendirikan sebuah masjid. Di sini pun Tuan Syekh memulainya dengan mendiri mushola yang dinamakan madrasah. Diberi nama madrasah karena dipakai langsung untuk tempat belajar mengaji dan ilmu agama lainnya setiap hari.

Tak sekadar lahan. Sultan juga memberikan sumbangan uang untuk pembangunan awal. Langsung tegak berdiri. Langsung dapat digunakan untuk tempat tinggal dan mengaji. Murid-murid pun ditampung, yang terus berdatangan dari sana-sini.

Ya Allah ya Nurani
Limpahkan cahaya yang amat murni
Kepada kami yang sekampung ini
Berkat Muhammad Nur Biduani

(SAWR; Said, 1988)

Kampung Basilam kemudian berkembang pesat sekali. Melegenda. Terkenal sampai jauh ke luar negeri.

Buah zaman hormatnya umara yang bijak bestari kepada ulama sejati.

Khaul besar pun diadakan setahun sekali. Dikunjungi ummat ramai sekali.

Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan senantiasa jadi imam besar yang dipuja-puji. Tak pernah redup ditelan masa. Sampai hari ini.***

Megagemilang, 2021

Baca : Pejabat Tinggi Tolak Bergaji

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *