Ke Aceh

Muslim Paripurna

HES, lelaki 45 tahun itu terkejut sekaligus gembira. Ke Aceh? Ya, surat dari kantor menugaskannya berangkat ke Aceh pada 23 April 2021/ 11 Ramadhan 1442 H. Ia merasa senang nian. Eh, setelahnya muncul risau. Ia senang karena bumi yang hendak ditujunya itu merupakan tanah harum yang telah melahirkan para penakik sejarah, manusia berjasa dalam berbagai hal di nusantara bahkan dunia. Mereka seperti Syeikh Hamzah Fansuri (ulama sekaligus penyair awal nusantara yang amat terkenal dengan Syair Perahu-nya), yang beberapa bait syair tersebut selalu ia kutip ketika pidato, ceramah dan khutbah. Selain itu ada lagi Syiah Kuala atau Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri al-Singkili, Teungku Dianjong atau Habib Abu Bakar bin Husen Bilfaqih, ada lagi Sultan Malik al-Saleh, Sultan Iskandar Muda, Syekh Nuruddin Al-Raniri, Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani, Teungku Chik Pante Kulu, Teuku Umar, Tjut Nyak Dien, Tjut Meutia, Panglima Polim, TM Hasbi Ash-Sidhieqy, dan sejumlah manusia pemahat sejarah emas lainnya.

Lelaki itu risau karena kini musim mengamuknya covid-19. Hampir di semua kecamatan di kotanya dalam zona merah. Di mana-mana korban bergelimpangan. Belum lagi ketatnya protokol kesehatan jika ingin berpergian, mulai menjalani rapid antigen dan lain sebagainya. Dan pada malam ia akan berangkat, istrinya memberitahu bahwa rapid berlaku hanya 1X24 jam. Artinya kalau pulang nanti, di Aceh ia mesti rapid sekali lagi. Jika hasilnya reaktif, ia tak dapat membayangkan kalau akan diisolasi di Aceh. Bisa jadi ia di sana sampai Idul Fitri. Bisa-bisa akan bermakam di sana. Okh.

Akan tetapi daya tarik Nanggroe Aceh Darussalam luar biasa. Masjid Raya Baiturrahman yang makin tersohor setelah pristiwa tsunami 2004 seolah memanggilnya untuk qiyam al-Lail Ramadhan di sana. Wah, Ramadhan di Baiturrahman? Lelaki itu mengulum senyum. Kemudian ombak pantai Syiah Kuala serasa melambai-lambai memanggilnya untuk duduk dan berlari sambil memandang Pulau Sabang yang selalu dirindukannya setelah mengumandangkan lagu “Sabang Sampai Merauke” semasa kecil dahulu. Ia berhasrat ke Aceh juga karena terhipnotis oleh Puja Syarma alias Syarifah Mahfuza yang melantunkan selawat dan baca Alquran yang sangat merdu di telinga dan hatinya saat tayang di internet.

Aceh juga memikatnya karena beberapa tulisan yang dicatatkan beberapa penjelajah hebat dunia di masa lalu seperti Marco Polo pada 1290-an dalam The Travels of Marco Polo, Ibn Bathutha 1345 dalam Rihlah Ibni Bathuthah, John Davis pada 1599 dalam The Voyags and Works of John Davis the Navigator, atau Fernao Mendes Pinto pada 1539 dalam The Travels of Menes Pinto serta para intelektual Eropa lainnya, seperti Jeronymo dos Reis, Carlos de NS Do Porto Seguro, Francois Martin, Augustin De Beaulieu, Peter Mundy, Ibn Muhammad Ibrahim, Thomas Bowrey dan banyak lagi.

HES yakin bahwa kata “Sumatera”, pulau tempat ia lahir, tanah yang ditempatinya dan dibangga-banggakannya ini juga berasal dari kata Samudera, ya Samudera Pasai karena Marco Polo memang menyebut Samudera sebagai “Sumatera”, atau Ibn Batutta dengan kata “Samatrah”, atau Giovani Da Empoli dengan sebutan Kepulauan “Zamatora”, atau Odorico da Pordonone dengan sebutan “Sumoltra”. Bahkan catatan-catatan orang Belanda dan Inggris sejak abad ke-16 selalu konsisten dalam penulisan “Sumatera”, padahal sebelumnya pulau keenam terbesar di dunia ini dikenal bernama “Pulau Swarnadwipa” (Pulau Emas), “Swarnabumi” (Bumi Emas), Pulau Perca, dan dalam naskah Negarakertagama disebut “Bhumi Malayu” (Tanah Melayu).

Dengan membaca bismillahi tawakkaltu ‘alallahi la hawla wala quwwata illa billah, siang Jumat 23/04/21 lelaki itu melangkah, terbang Sultan Iskandar Muda Airport dengan transit di Kualanamu International Airport, Deli Serdang. Hebatnya, selama perjalanan ia hanya duduk sendiri, tak ada orang di sampingnya, sementara penumpang lain terlihat berdesakan karena semua kursi penuh. Dua kursi di sampingnya seolah menunggu penumpang lain yang belum sampai. Allah sungguh memudahkannya sampai ke nangroe tersebut. Alhamdulillah.

Bersama seorang teman kantornya, ia segera menuju hotel tempat menginap. Lelaki itu menikmati suasana sepanjang jalan. Hari teduh. Matahari seolah enggan memancar. Bebukitan hijau yang berbaris di sebelah kirinya nampak begitu damai. Bentangan beberapa petak sawah di kiri kanan jalan membuat suasana semakin tenang. Tak ada rumah dan bangunan yang sangat besar dan tinggi menjulang angkuh seperti di kotanya. Semuanya tampil sederhana dan mendamaikan, namun memberi kesan tersendiri yang tak dapat diungkapkan.

Di hotel menginap, tanpa diduga sudah menunggu Sayed Khawalid Alaydrus, habib yang dikenalnya semasa kegiatan pertemuan ulama dan budayawan di Jakarta beberapa waktu lalu. Setelah mengambil kunci kamar pada resepsionis, salah seorang ulama tanah Aceh itu sudah berada di dekatnya. Wah bahagia nian ia. Terjadilah perbincangan dan perundingan kalau malam nanti akan qiyam al-lail di Masjid Baiturrahman. Lagi-lagi ia merasa amat senang. Bahagia apa lagi selain dapat shalat di masjid bersejarah itu bersama ahli bait?

Menurut beberapa sumber, Masjid Baitrurrahman ini awalnya dibangun oleh Pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada 1022 H/ 1612 M. Ada yang menyebut bahwa masjid ini dibangun pada 1292 M semasa pemerintahan Sultan Alaidin Mahmudsyah. Pada 1873 masjid ini hancur terbakar diserang Belanda karena menjadi benteng perlawanan masyarakat Aceh menghadapi Belanda. Kemudian Belanda berjanji akan membangun kembali masjid tersebut. Pada Kamis 13 Syawal 1296 H/ 9 Oktober 1879, Pemerintah Belanda merealisasikan janjinya, masjid tersebut dibangun kembali. Peletakan batu pertamanya diwakili Tengku Qadhi Malikul Adil yang kemudian menjadi imam pertama di masjid yang baru dibangun tersebut. Pembangunan masjid ini selesai pada 27 Desember 1881. Masjid ini mengalami beberapa kali perluasan. Saat terjadi bencana tsunami pada 26 Desember 2004, masjid ini menjadi tempat berlindung sebagian masyarakat Aceh dari terpaan gelombang dahsyat yang menelan korban ratusan ribu jiwa.

***

Sekitar pukul 19.30 WIB, lelaki itu dijemput sang habib. Bersama anak lelaki dan perempuan sang habib, mereka meluncur ke Masjid Baiturrahman. Dari jauh, dari dalam mobil ia terpana melihat lampu neon kehijauan yang menyinari payung-payung di sekeliling masjid. Suara merdu sang imam pertanda shalat Isya sudah mengalun. Sang Habib menyuruh anaknya Habib Zaki Alaydrus membawa lelaki itu ke tempat wudhu’ yang terletak di lantai bawah. Saat itu ia merasa masjid tersebut bagaikan Masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah yang pertama kali dikunjunginya pada 2008. Dari segi bentuk dan suasana, HES merasa masjid ini dapatlah dikatakan sebagai The Litle Nabawi Mosque. Masya Allah. ***

Baca : Bermalam Lagi di Singkarak

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *