Di Aceh

Muslim Paripurna

OMBAK seolah hendak menjilat kaki HES ketika akan menjejak pasir. Matahari seperti mengintip di balik awan. Suasana sendu menyelimuti pantai Syiah Kuala siang menjelang petang itu. Di seberang ia berdiri, pulau Weh Sabang kelihatan samar. Ya, pulau Sabang. Pulau yang dinyanyi-nyanyikannya bersama teman-teman semasa kecil dahulu tampak mengapung di tengah gelombang.

Rabbana ma khalaqta haza bathila subhanaka faqina ‘azab al-nar, ucapnya lirih saat menatap langit saat itu.

HES baru saja beranjak dari rumah abadi Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri al-Singkili yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat ia berdiri sekarang. Di rumah indah Teungku Syiah Kuala itu ia ditemani Sayed Zaki Askari Alaydrus yang merupakan anak dari Sayed Khawalid Alaydrus. Seusai mengucap salam dan membaca beberapa ayat Alquran serta melantunkan sepohon doa, di istana Syekh Kuala itu HES termenung. Manusia yang mulia karena iman, ilmu, amal dan akhlak, setelah kembali ke alam baka ia tetap dikenang, dimuliakan dan dikunjungi manusia lain, ungkap hatinya. Selain ia dan Habib Zaki, tampak pula beberapa pengunjung berada di sekitar tempat itu.

Lelaki itu teringat kisah orang-orang tentang Syekh Kuala, teringat cerita salah seorang gurunya di kampung tentang manusia berilmu tinggi itu. Terkenang pula kepada seorang jemaah yang berasal dari Pariaman, yang merupakan pengamal tarekat Syatthariyah yang silsilah para gurunya sampai kepada Tuan Syekh Kuala saat ia bertemu di salah satu mushalla seusai tausiah Ramadhan di Pekanbaru beberapa tahun lalu. Ya, menurut beberapa sumber, Teungku Syiah Kuala atau Tuan Syekh Abdurrauf al-Singkili semasa hidupnya menghasilkan beberapa kitab yang dikarangnya sendiri di antaranya Tarjuman al-Mustafid. Menurut beberapa sumber, ia pun guru dari beberapa ulama besar nusantara, bukan saja di Sumatera bahkan di tanah Jawa, Makassar bahkan di bebera negara Asi Tenggara. Kabarnya, dari dialah beberapa aliran tarekat berkembang di nusantara melalui murid-muridnya.

Aminuddin Abdul Rauf bin Ali al-Jawi Tsummal Fansuri As-Singkili atau Syiah Kuala, konon lahir pada 1024 H/ 1615 M, dan wafat di Kuala Aceh pada 1105 H/ 1693 M. Belajar pertama kali kepada ayahnya dan kepada beberapa ulama di Fansur dan Banda Aceh. Saat menunaikan ibadah haji, kabarnya ia belajar lagi pada beberapa ulama Timur Tengah, salah satunya adalah Syekh Ahmad al-Qusyasyi. Menurut Syed Naquib al-Attas, Syiah (Syekh) Kuala merupakan orang pertama yang memperkenalkan tarekat Syatthariyah di nusantara. Konon ia menjadi penerjemah Alquran dan Tafsirnya ke bahasa Melayu pertama di nusantara. Di antara muridnya yang terkenal adalah Baba Dawud bin Ismail al-Jawi al-Rumi. Muridnya yang lain adalah Syekh Burhanuddin Ulakan di Pariaman Minangkabau Sumatera Barat. Muridnya di Pulau Jawa adalah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan.

Ia memiliki beberapa karya yang dipublikasikan beberapa muridnya. Menurut Azyumardi Azra di antaranya: pertama, Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin. Kedua, Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Quran yang lengkap berbahasa Melayu. Ketiga, Terjemahan Hadits Arba’in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin. Keempat, Mawa’iz al-Badî’. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak. Kelima, Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh. Keenam, Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadat al-wujud. Ketujuh, Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.

Sebelum termenung, merenung dan mengucap ayat suci dan sepohon doa di komplek makam Syekh Kuala, HES dan Habib Zaki Hasan Askari Alaydrus lebih dahulu shalat Zuhur di Mesjid Teungku Di Anjong di Gampong Peulanggahan, dan melawat sejenak ke rumah bunga Habib Abubakar bin Husen Bilfaqih (Teungku Di Anjong) dan istrinya Syarifah Fatimah binti Sayid Abdurrahman al-‘Aidid. Teungku Di Anjong (tuan yang disanjung dan dimuliakan) merupakan pendiri mesjid Teungku Di Anjong tersebut. Nama ini diberikan masyarakat sekitar untuk mengenang jasa Habib yang berasal dari Hadramaut Yaman ini. Kabarnya, di sini dulu ia mengajar agama Islam murid-muridnya yang datang dari berbagai negeri. Di sini juga ia mengajar manasik haji calon jemaah haji nusantara sebelum menunaikan ibadah haji. Konon, dari pristiwa ini juga serta dukungan dari kesultanan Aceh pada masa itu maka Aceh disebut Serambi Mekah. Mesjid Teungku Di Anjong kabarnya juga menjadi markas perjuangan rakyat Aceh saat berperang melawan Belanda.

Perjalanan sekali ini membuat HES benar-benar merasa lain. Selain dapat menunaikan ibadah Ramadhan di Mesjid Raya Baiturrahman dan Mesjid Teungku Di Anjong, ia pun menjadi jemaah Subuh di Masjid Jami’ Lueng Bata yang terbengkalai. Dua subuh yang dijalaninya demikian berkesan karena selain menjadi makmum dari imam-imam bersuara merdu, ia juga mendengar ceramah dari para ulama Aceh. Pada subuh pertama, sang ulama membahas beberapa ayat Alquran yang dimulai dengan: ya ayyuha al-lazina amanu kutiba ‘alaikum… tetapi tidak diperlakukan dan diterapkan secara sama oleh kaum muslimin. Ceramah disampaikan dengan tegas, lugas, penuh dalil a’qli dan naqli. Penceramah pada subuh kedua membahas tentang Iblis dan zuriatnya serta tugas mereka masing-masing hingga kiamat.

Disampaikan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Aceh, disertai guyonan-guyonan segar khas Aceh.

Begitu banyak hujah ‘aqli dan naqli yang disampaikan para ustaz tersebut. Selama tausiah-tausiah tersebut berlangsung, HES senyum-senyum sendiri. Entah apa makna di balik senyuman lelaki itu. Untunglah tak ada orang memperhatikannya. Jika ada yang melihat ia senyam-senyum yang seolah tak tentu pasal itu, tentulah orang akan menganggap HES ini majnun. He he he.

Aceh, oh Aceh. Dirimu sungguh luar biasa dan penuh misteri. Jika memperhatikan para pemberi tausiah pada dua subuh tersebut, maka HES berhipotesa bahwa mungkin ada benarnya kalau Augustin De Beaulieu (1666) pernah mencatat di awal tulisannya: “Mereka [orang Aceh] berbicara bahasa mereka dengan baik, dan beberapa dari mereka memiliki mata pencarian dari berbicara di depan umum. Mereka sangat dihormati karena kemampuan berpidato. Mereka banyak menggunakan kata-kata kiasan yang cukup sesuai dengan topik pembicaraan; tetapi berlebihan dalam menggunakannya….” ***

Baca : Ke Aceh

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *