Bumi “Diinjak” Langit Digulung

rumah singgah

Di mana bumi ‘dipijak’
di situ langit ‘dijunjung’

Itu pribahasa zaman dulu. Sekarang begini :

Di mana bumi ‘diinjak’
Di situ langit ‘digulung’

SEBAGAI insan yang “terlahir dari rahim Melayu”, konon orang Melayu boleh berbangga. Musababnya, Melayu itu punya tradisi budaya santun, halus, tulus, juga luhur. Mudah beradaptasi dengan budaya lain. Begitu santun, halus-tulus dan luhurnya, sampailah terdengar ungkapan pepatah:

Kecil telapak tangan,
Nyiru kami tadahkan

Tulusnya Melayu rela menjamu tamu dengan gulai ayam, sementara dia juga “seperti tak keberatan” memberi anaknya sendiri makan dengan hidangan lauk ikan masin gonjeng. Santunnya ingin beradaptasi dengan pendatang, Melayu pun rela ikut-ikutan pakai bahasa pendatang walaupun dia sendiri kadang-kadang pelat; tak mampu menggunakannya.

Tengku Lukman Sinar SH, budayawan Melayu asal Deli Medan Sumatera Utara pada sebuah simposiun Bulan Bahasa Oktober 1990 di USU Medan bercerita; Satu hari, lewatlah Cik Atan di samping rumah seorang Tionghua.

“Mau ke mana, Cik?” Nyonya Tionghua bertanya pakai bahasa Melayu.

Mau puqi lalat…” sahut Cik Atan, berbahasa Melayu pakai pelat Cina pula.

“Hendak mengape pergi ke darat?” Nyonya bertanya pakai bahasa Melayu.

Cali bulu (cari buluh)…,” sahutnya, lagi-lagi pakai bahasa Melayu pelat Cina.

Lantaran santun dan tulusnya Melayu, memang tak jarang dia terbawa-bawa pada perangai nyanyah, nyanyuk dan “latah” – yang terakhir ini pula, konon cuma ada dalam sifat rumpun Melayu.

Sifat adaptatif yang berlebihan ini nyaris melekat pada semua kalangan Melayu. Hanya pencurahan sifatnya alias implementasinya saja yang berbeda-beda. Tergantung pada tingkatan status dan “kenyanyukannya”.

***

ZAMAN Dumai – Melaka menggunakan ferry (laut), suatu ketika, di seberang gang di barisan kursi di samping saya, duduk dua wanita muda. Berkulit putih. Penampilan pun sanggam. Layaknya sebagaimana karyawati kantoran. Dua TKW, bekerja di Malaysia. Di belakang mereka, duduk pula dua lelaki separuh baya. Berkulit agak gelap. Mereka juga TKI, yang juga bekerja di Malaysia.

Dalam perjalanan pulang ke “tanah air” itu, kedua perempuan muda ini tak habis-habisnya bercerita tentang pengalaman manis mereka selama di Malaysia. Sekali-sekali bercerita juga tentang keluarga mereka di daerah yang sama di Pulau Jawa, yang baru sekitar dua tahun mereka tinggalkan. Kedua wanita ini fasih-lancar berdialog dan berdialeg dalam bahasa Melayu.

Di tengah goyangan ombak Selat Melaka, satu dari dua orang lelaki di belakangnya mencoba menyapa perempuan di depannya, karena mungkin merasa satu status dan asal, TKI di Malaysia dan sama-sama berasal dari Jawa – berdasar dialog yang terdengar dari keduanya.

Kedua perempuan ini menyambut dengan ramah. Berkali-kali lelaki tersebut “mengajak” kedua perempuan ini berdialog dalam Bahasa Jawa Timuran – karena mungkin merasa sama-sama dari Jawa Timur.

Hebatnya, tak sepatah pun dilayani kedua perempuan ini. Setiap kali dilontarkan sapaan bertutur Bahasa Jawa Timuran, selalu disahut dengan Bahasa Melayu dialeg Semenanjung. Akhirnya, kedua lelaki di belakang “menyerah”, mengikuti “lagak” perempuan di depan mereka berbahasa Melayu dengan lidah Jawa Timuran yang masih kental. Sementara kedua perempuan yang mengaku sudah dua tahun bekerja di Malaysia, walaupun fasih tapi di telinga saya “yang Melayu” masih juga terdengar “sembir-sembir” pelat Jawa Timurannya.

***

SATU kali seorang “budak Bengkalis” – si Acil, panggil saja begitu namanya – menggerutu, geram, menggumam-gumamsendiri karena sangat kesal. Saat itu ketika dia tengah asyik berbual-bual dengan temannya dari Indragiri di sebuah kedai kopi di Pasar Senapelan, Pekanbaru, pakai bahasa Melayu, “yang mungkin terdengar agak aneh”, seorang pelayan kedai itu lantas saja menyeletuk, “Bapak orang Malaysia, ya…?”

Si Acil tak menyahut. Malah mukanya langsung merah padam. Mulutnya menyungut-nyungut. Sebetulnya tak ada kata dari pelayan kedai itu yang menyinggung masalah pribadinya, mencela atau menghina. Cuma dia merasa di dalam pertanyaan itu seperti ada “kode budaya bahasa”, di kawasan ini bukannya tempat untuk seselesa-selesanya berbahasa Melayu. Lebih daripada itu, “barang itu seperti dianggap asing” untuk “dilepaskan” di tempat seperti ini walaupun di sini di titik pusat buminya sendiri.

***

TIGA fenomena di atas tampaknya seperti bertolak belakang. Ada orang Melayu yang bisa atau tak bisa, pokoknya dia ingin tunjukkan pada orang lain sikap “adaptatifnya” yang mudah mudah melebur pada budaya orang lain. Lalu, ada orang Jawa dengan merasa “penuh gengsi” bercakap pakai bahasa Melayu Semenanjung walaupun lidah mereka kental “medok” Jawa Timuran. Terakhir, hebatnya pula, bahasa Melayu dianggap asing di titik pusat buminya sendiri.

Tiga fenomena ini paling kurang memunculkan tiga pertanyaan. Mengapa dan apa dampak orang Melayu “yang terlalu menadahkan nyiru”? Mengapa kedua perempuan ini tetap bertahan memakai Bahasa Melayu dialeg Semenanjung Malaysia padahal mereka sudah bertemu dengan komunitas mereka. Mengapa bahasa Melayu dianggap asing di buminya sendiri.

***

DALAM adab pergaulan antarpuak dalam budaya rumpun Melayu kita mendengar ada ungkapan pepatah petitih yang berbunyi:

Di mana bumi ‘dipijak’
di situ langit ‘dijunjung’

Pribahasa Melayu (tradisional) ini sudah sangat lama kita kenal, dan sangat populer di dunia Melayu. Ungkapan tradisional di atas agaknya bisa pula dibalikkan begini:

Di mana bumi ‘diinjak’
Di situ langit ‘digulung’

Kenapa perlu “dibalik”. Pertama, karena kosakata “pijak” tak popular lagi di bumi Melayu, malah di Riau sendiri. Kedua, kondisi budaya sekarang memang sudah terbalik, sebagian pendatang baru yang datang ke bumi ini bukan lagi mau menjunjung budaya setempat ketika mereka berada di Riau, malah bagi sekalangan mereka yang bermodal malah “mulai dari budaya sampai kekayaan dan hasil bumi Melayu”, mereka gulung lewat berbagai cara, mulai dari pembalakan kayu, penambangan, perkebunan, pencurian ikan di laut, sampai kepada usaha-usaha terlarang lainnya.

Ini juga bukan sepenuhnya kesalahrakustamaklobaan pendatang, namun orang Melayu terlalu “menadahbentangkan nyiru”. Yang di tangan lepas, yang di nyiru berkecah-kecah.

***

SYU’BAH Asa, tokoh jurnalistik pernah mengemukakan, bahasa Indonesia “yang dibuat” oleh orang Melayu Riau, dan dikembangkan oleh orang Minangkabau, telah dibiarkan dirusakrancukan oleh orang-orang di Jawa.

Celakanya, orang Melayu tak pernah serius membenahnya atau melurusnya. Malah ikut-ikutan merusak bahasa sendiri. Sebagai “produsen bahasa” semestilah orang Melayu Riau menjaga produknya sendiri.

Orang Melayu Minangkabau, yang dulu sebagai “disutributor bahasa/sastra Melayu menjadi Bahasa Indonesia sudah berbuat dengan baik. Sehingga Bahasa Melayu “diberi hak paten” sebagai Bahasa Indonesia lewat perjuangan Jong Soematra yang ditekongi M Yamin dan kawan-kawan. Kemudian orang-orang di Jawa “sebagai konsumen” lalu “mengemas/mempaking bahasa ini” dengan kemasan yang mereka sukai. Entah sesuai kaedah – entah tidak. Main lantak. Pokoknya yang namanya Melayu ini paling suka produksi dari luar (padahal aslinya buatan awak, cuma diberi kemasan baru). Tak heran muncul kosakata injak, ketimbang, ketemu, petani gurem, dan seterusnya.

***

BAHASA Melayu (Riau) tak menjadi “tuan’’ di negerinya sen¬diri! Rasanya sangat malang! Sudahlah hasil buminya terkuras, bahasa tutur kesehariannya pun tersingkir oleh bahasa pendatang.

Berbeda dengan Bahasa Melayu Betawi, walaupun masyarakatnya tersingkir ke pinggiran seperti Melayu Deli tetapi Bahasa Melayu Betawinya tetap bertahan. Malah bisa menguasai pusat kota. Orang merasa gengsinya naik bila memakai bahasa Melayu Betawi. Malah kemudian Bahasa Betawi bukan saja menguasai pusat negari, tetapi juga menguasai “bahasa gengsi” di nusantara ini.

Bahasa Melayu Riau, tak usahkan terdengar di tempat umum di ibu kota provinsi, digunakan saja di sembarang tempat bisa diejek (datang dari golongan masyarakat yang asing, bahkan malas), atau dicurigai pendatang dari pelosok desa, dari ujung pulau, atau dari Semenanjung, yang pantas dijadikan mangsa.***

Baca : Jalan Tikus Bang Toyib

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *