Berkali-kali Terbunuh Tidak Pernah Mati

rumah singgah

Dengarlah Ali* berseru dari balik nisannya:

“Bangkit, wahai rakyat pejuang!
Tulislah aku sebagai alinea baru pada wangi gaharu
Jasadku rebah kematian, engkaulah yang menentukan jawaban.”

Bangkit, wahai rakyat semesta, lawan mereka.
Bangkit, rakyat, lawan!

Dareen Tatour, 2015

INI penggalan dari Resist, My People, Resist Them (My PRT), puisi Dareen Tatour, 2015.

Gegara puisi ini Dareen Tatour dibenamkan ke penjara. Zionis Israel menangkap dan membungkamnya. Menganggap wanita belia Palestina ini dan puisinya sangat berbahaya. Sangat ditakutkan bisa menggelorakan semangat patriotisme Bangsa Palestina terus membara. Padahal apa yang telah terjadi yang diangkat puisi ini sudah melahap sekian nyawa.

Dalam sebuah peristiwa yang sangat luar biasa gila. Tiga jiwa meregang nyawa. Dibakar hidup-hidup dalam rumah mereka sendiri di Desa Duma di Tepi Barat Palestina, dalam kobaran api yang menjulat, menyala-nyala. Pelakunya para pemukiman ilegal yang merasa sebagai manusia terhebat di dunia. Mereka boleh melakukan apa saja. Sesuka syahwat mereka.

Peristiwa ini terjadi 2015.

Ali Dawabsheh (*). Bayi 18 bulan gugur ketika rumah keluarganya dibakar Zionis Yahudi pada 31 Juli 2015. Kedua orang tua Ali kemudian menyusul ke alam baka. Sa’ad Dawabsheh, sang ayah – yang sempat menyelamatkan anaknya yang lain, Ahmed (4) – di dalam kobaran api, penuh luka bakar pada tubuhnya meninggal pada tanggal 8 Agustus. Sedangkan sang ibu; Riham (27) – dengan jilatan api di tubuhnya, yang berlari keluar rumah, rupanya cuma terbawa selimut Ali; bayi Ali teringgal dalam bara api; meninggal pada tanggal 6 September 2015.

Ali Dawabsheh hanya satu korban dari sekian banyak anak Palestina jadi mangsa keganasan Zionis Israel. Korban terus berjatuhan baik sebelum maupun sesudah Ali tewas. Kalau Palestina adalah penjara besar yang terus-menerus dibombardir Israel, sedangkan rumah Sa’ad Dawabsheh contoh kecil dalam masalah besar dari sebuah Bangsa Palestina yang : sudahlah dikurung di ruang yang tertutup dibakar pula hidup-hidup.

Para pelaku dalam peristiwa ini memang dihukum Israel. Masuk penjara. Sekadar ingin tunjukkan sikap bijak pada dunia supaya tidak ada letupan yang tambah bergelora. Faktanya para pelakunya lepas dari tuduhan sebagai teroris. Sejahat apa pun selagi bangsanya tetap dianggap berjasa. Status teroris itu cuma layak disematkan pada Bangsa Palestina atau Muslim saja.

Peristiwa di Tepi Barat lainnya menimpa Amna Muna. Wanita berusia 35 tahun ini coba memikat seorang belia Israel lewat internet. Ophir Rahum lalu mendatangi Amna ke tempat janji untuk bertemu. Malang bagi belia berusia 16 tahun ini, di tengah jalan dia disikat militan Palestina yang sedang berjaga-jaga. Samira, sang ibu Amna, membela. Putrinya tidak bermaksud agar Rahum dibunuh. Apa pun pembelaan, kurungan penjara seumur hidup sudah menanti Amna.

Menangkap peristiwa demi peristiwa kekejian Zionis ini, penyair wanita Palestina lainnya, Rafeet Ziadah menuangkannya ke dalam puisi yang penuh dengan kegeraman. Shades of Anger (SoA); Bayangan Kemarahan.

Dalam pikiran sesak harus kukatakan:

“Aku Palestina, menolak pendudukan atau pasukan tentara!”
Saat terhempas ke tanah, setelah menendang perutku anak muda itu berteriak:
“Kau pasti ingin diperkosa untuk memiliki anak-anak teroris!”
Dalam diam, kepada anak muda itu kutuliskan puisi ini.

Saya wanita Arab, berkulit gelap, datang dengan segala kemarahan

Dan kemarin, apakah Anda mendengar teriakan saudara perempuan saya saat melahirkan di pos pemeriksaan? Dan tentara Israel mengawasi di antara kedua pahanya, karena dianggap ancaman demografis berikutnya! Bayi perempuan itu bernama Janeen.
Dari dalam jeruji penjara, tidakkah terdengar olehmu teriakan Amna Muna saat disemprotkan gas air mata ke selnya?

Rafeef Ziadah; SoA, 2013.

Di mana pun di Bumi Palestina senantiasa membara. Lebih-lebih di Jalur Gaza. Kawasan pengepungan yang lebih. Kawasan semangat perlawanan perlawanan yang lebih hebat.

Cabikrobeklah konstitusi kebiadaban
yang memaksakan penistaan dan penghinaan
yang menghalangi kita dari menegakkan keadilan.
Mereka memanggang bocah tak bersalah;
Mereka membedil gadis Hadil di depan semua,
membunuhnya terang-terangan pada terik siang

Dareen Tatour, My PRT, 2015

Ketika Bangsa Palestina terdesak : diserang dengan tak habis-habisnya, dengan jasad-jasad yang bergelimpangan, dengan gedung-gedung rubuh berantakan, dengan jalan-jalan – infrastruktur lebur, dengan segala fasilitas hancur, Zionis terus membor”barbar”dir warga Palestina tak henti-hentinya, bertubi-tubi.

Akan tetapi, saat mereka pula yang terdesak, dihanyang roket bertubi-tubi: menghancur banyak gedung tinggi, membuat segala aktivitas di negerinya total terhenti, tidak ada pesawat asing yang mau mendarat di sini, Zionis ini lalu memelas meminta bantuan Amerika dan dunia. Minta membujuk Hamas. Agar gencatan senjata dilakukan segera. Berdamai.

Di Al-Quds, aku berbaju luka, menghela nafas duka
di telapak tangan kugenggam jiwa
teruntuk Palestina Arabia.

Aku takkan terbuai “solusi damai”

: Dareen Tutour dalam baris puisinya itu.

Memang. Tiap kali terdesak, selalu saja Yahudi ini yang ajak damai; atau gencatan senjata, tetapi nyatanya selalu saja mereka pula yang mengingkari. Ini sudah terjadi sejak zaman nabi-nabi. Sampailah pada hari ini. Baru sehari – Kamis (20/5) – gencatan senjata terjadi, Jumat (21/5) di Masjidil Aqsa orang-orang Yahudi ini sudah membuat keributan lagi. Dalam kondisi tenang mereka pun terus mengintai kelengahan Palestina; segera menemukan peluang untuk menyakiti lagi, menzalimi lagi, mengintimidasi lagi, serta terus-menerus menginvasi kembali. Tidak akan pernah berhenti.

Makin banyak warga binasa makin membuat mereka gembira. Makin banyak yang meregang nyawa makin membuat mereka bahagia. Bukan saja para tentara jihad sasaran mereka. Membunuh para wanita dan anak-anak ternyata juga mereka amat suka.

Penyair Harun Hasyim Rasyid pun begitu lantang dan tajam mengkritik Yahudi, bersamaan dengan itu berhasil pula membakar semangat perjuangan rakyat Palestina. Ini sebuah puisinya yang amat tajam:

“Kalau tidak saja karena bujuk rayu Inggris dan kelicikannya, tidak mungkin anjing hidup di tanah singa. Barat wahai Barat, kedatangannya ke negeri ini adalah musibah dan kerusakan. Dia adalah gurita lacur penjajah yang dalam setiap arahnya punya ekor”.

Setelah meradang, seorang Harun Hashim yang lahir 1930, bisa juga bersedih. Ini puisinya Orang Palestina:

Orang Palestina aku
Itu namaku kutahu
Itu menyiksa dan menyusahkan aku
Mengejar dan melukai aku
Karena namaku Orang Palestina
Dan sesuka mereka,
Mereka telah membuat aku mengembara

Harun Hashim Rasyid, 1971-1988

Selain Dareen Tatour, Rafeef Ziadah, Harun Hasyim Rasyid, banyak penyair lainnya yang juga tidak kalah lantangnya meneriakkan perjuangan Palestina melalui puisi-puisi mereka. Misalnya Mahmod Darwish, Nasr Sam’an, Zaki Qansul, Burhanuddin, serta masih banyak lagi. Mereka yang masih hidup tetap lantang sampai sekarang.
Israel membenci penyair-penyair Palestina. Tetapi ada juga sempat di antara mereka mengumi penyair Palestina yang satu ini. Mahmoud Darwish. Tahun 2000 Menteri Pendidikan Israel saat itu, Yusi Sarid yang seorag politikus, juga penulis sekaligus penyair memasukkannya sebagian teks puisi Mahmoud Darwish di beberapa sekolah Arab di Israel.

“Dia benar-benar tahu kredibilitas penyair Palestina itu,” kata Yusi.

Perdana Menteri Ariel Sharon pun sempat mengemukakan kekagumannya pada puisi-puisi Mahmoud Darwish. “Mahmoud Darwish adalah sebaik-baik orang yang mengungkapkan hubungan itu,” katanya seraya mengungkapkan rasa irinya pada Mahmoud Darwish dan rakyat Palestina atas hubungan emosionalnya dengan tanah Palestina.

Akan tetapi sebagian besar tidak menyukai Mahmoud Dartwish. PM Israel lainnya, Yitzhak Shamir melontarkan serangan pada Mahmoud Darwish dari atas mimbar Knesset – parlemen Israel. Darwish itu sebagai “salah satu penghasut warga Palestina agar memberontak dan melawan kebijakan. “Dia penyair mencurigakan.”

‘Âbirûn fil Kalâm ‘Âbir ditulis Mahmoud pasca meletus intifada tahun 1987.”

Sebagai sastrawan yang begitu tajam dan lantang menggelorakan semangat perjuangan Palestina dan dengan karyanya yang begitu banyak membuat Mahmod Darwish berkali-kali keluar-masuk penjara Israel karena puisinya. Sebuah puisinya : Kartu Identitas, banyak dihafal oleh rakyat Palestina dan membakar semangat perjuangan mereka.

Palestina terlalu polos dan tulus. Sementara Israel selalu cemas dan ganas. Sikap cemas dan ganas inilah yang diingatkan oleh para penyair lantang agar senantiasa harus diwaspadai. Jangan lengah. Terbuai. Perlu tetap bangkit. Berjuang!

Kami akan pulang ke Palestina!

Saya wanita Arab, berkulit gelap, datang dengan segala kemarahan

Kau katakan padaku, rahimku hanya akan memberimu teroris baru
Berjenggot, melambai-lambaikan senjata, handuk di kepala, pasir hitam.
Menurutmu, ku lahirkan anak-anakku untuk buang-buang waktu.
Ya, itulah ‘copters’ Anda, F16 Anda yang melintas bebas di langit kami
Wow, mari kita bicara tentang bisnis terorisme ini, sebentar saja…
Bukankah CIA yang membunuh?
Siapa yang melatih Osama sedari awal?
Kakek-nenek saya bukan orang yang suka berlarian
seperti badut berjubah putih dan kerudung putih
sambil menghukum orang kulit hitam

Rafeef Ziadah, Shades of Anger, 2013.

takkan sesenti pun kuturunkan bendera
hingga tanah airku bersih dari mereka
Bangkit, wahai rakyat semesta, lawan mereka
Lawanlah para penjajah penjarah
Ikutilah k’reta kencana para syuhada.

Dareen Tutour, My PRT, 2015.

Seorang penyair dari Indragiri; nun jauh dari Bumi Palestina, juga menyuarakan semangat perjuangan Bangsa Palestina yang terus menyala. Sudah tak terhitung jumlah rakyat Palestina terbunuh oleh Yahudi namun mereka tetap “tidak pernah mati”.

Sudah berkali-kali aku terbunuh
Tapi tidak juga mati-mati.

Yang engkau bombardir. Bertalu-talu
Diroket setiap waktu. Menggelepar
di Jalur Gaza. Itu aku.

Yang engkau ganyang. Lebihi binatang
Dihenyak ke liang-liang. Tak secelah
pun diberi ruang. Itu aku.

Nyawaku memang banyak melayang.
Tapi jiwaku: selamat.

Tegap. Bergerak.
Terus berjuang!

Lee Mirtha, 2020

Sekali ini, mungkin Zionis Israel memang sudah kewalahan. Intimidasi dan invasi berkepanjangan terhadap Bangsa Palestina ternyata tidak pernah sama sekali membuat mereka merasa aman, lebih-lebih untuk nyaman. Malah akan semakin terancam. Itu sudah diakui oleh beberapa orang terkemuka dari mereka.

“Sepertinya kita menghadapi masa yang paling sulit dalam sejarah. Tidak ada solusi dengan Palestina kecuali pengakuan hak mereka dan diakhirinya pendudukan.”

Begitu kata Ari Shavit, penulis Zionis terkenal, dalam artikelnya dalam Surat kabar Ibrani Haaretz edisi 13 Mei 2021.

‘Negara Israel’, ungkap Shavit, tampaknya tidak mungkin lagi untuk mereformasi Zionisme, tidak sanggup lagi menyelamatkan demokrasi dan hanya akan memecah belah rakyatnya sendiri di negerinya sendiri saat ini.

Jika demikian, tambah Shavit yang juga biasa penulis di media New York Times ini, tidak ada lagi selera warga negaranya untuk hidup di ‘Negara Israel’. Warga pun harus melakukan apa yang disarankan Rogel Alpher, penulis Haaretz, dua tahun lalu, yaitu meninggalkan negara itu.

Dari sanalah, dari negara-negara ultra-nasionalisme baru Jerman, atau negara-negara ultra-nasionalisme Amerika Serikat yang baru itu, mereka akan melihat dengan tenang dan menyaksikan “Negara Israel” menghembuskan nafas terakhirnya.

Innalillahi wa inna ilaihirojiuuun.***

Baca : Bumi “Diinjak” Langit Digulung

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *