Halal Bihalal

Terapi Kamar Mandi

BIASANYA, selesai merayakan Idul Fitri, umat Islam Indonesia melaksanakan acara halal bihalal secara meriah. Akan tetapi berbeda pada dua tahun terakhir. Akibat covid-19, ritual seremonial tahunan ini menjadi kurang gairah bahkan menjadi tidak ada. Akan tetapi diharapkan, nilai esensial dan substansial dari acara tersebut tentu saja tidak mengalami kemerosotan dalam diri kaum muslimin.

Menurut M Qurays Shihab [1994: 408-409], dari segi bahasa, akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain berarti, “menyelesaikan problem”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, dan “mencairkan yang beku”. 

Lebih lanjut M Qurays Shihab menjelaskan, bahwa ber-halal bihalal merupakan suatu bentukan aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghadang terjalinnya keharmonisan hubungan. Boleh jadi hubungan yang dingin, keruh dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram. Ia menjadi begitu karena Anda begitu lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada sikap adil yang Anda ambil namun menyakitkan orang lain, atau timbul keretakan hubungan dari kesalahpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, kata M Qurays Shihab tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik: yang beku dihangatkan, yang kusut diluruskan, dan yang mengikat dilepaskan.    

Hal ini suai dengan pesan seorang Melayu bernama Raja Alam dalam “Tombo Bujang Tan Domang” yang dibukukan Tenas Effendy: Jangan berpecah belah/ jauhkan silang sengketa/ jauhkan dendam dengan kesumat/ jauhkan hasung dengan fitnah/ jauhkan sifat iri mengiri/ sama saudara pelihara-memelihara/ sama sahabat ingat mengingat/ sama sesuku bantu membantu/ sama sebangsa rasa merasa/ hati gajah sama dilapah/ hati tungau sama dicecah/ mendapat sama berlaba/ hilang sama merugi/ kalau berlebih beri-memberi/ kalau kurang isi-mengisi/ kalau sempit sama berhimpit/ kalau lapang sama melenggang/ susah orang susah kita/ sakit orang sakit kita/ sakit jenguk menjenguk/ senang jelang-menjelang.

Untuk itu umat Islam yang baru khatam melaksanakan ibadah Ramadhan dan beridulfitri, mereka saling bermaafan (al-‘afwu) dan berjabat tangan (al-shafhu);  bersalaman lahir dan batin; berislam luar dan dalam. (Islam; salam).

Dalam Alquran ada enam ayat yang memuat kata halal. Empat di antaranya, kata halal itu disertai dengan beberapa kata lain, yaitu kuluu dan thayyiba. Hal itu terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 168, al-Anfal ayat 69, al- Maidah ayat 88 dan al-Nahl ayat 114.

Kata kulu biasanya diartikan makan. Tapi tidak setiap kata kulu itu bermakna makan, ada juga yang berarti menggunakan. Ini terlihat dalam surat Al-nisa ayat 10. “Sesungguhnya orang-orang yang menggunakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu memasukkan api neraka ke dalam perutnya.” Sedangkan kata thayyib itu bermakna baik. Kata thayyib dalam Alquran memiliki padanan yang banyak seperti al-khair, al-makruf, al-ihsan. Semua kata itu berarti “baik” walaupun penggunaan dan makna tersiratnya berbeda-beda.

Tingkatan kebaikan yang paling tinggi dalam Islam adalah ihsan. Makna ihsan itu ada dua. Pertama, berbuat baik kepada orang yang menyakiti kita dan berbuat lebih baik lagi kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Kedua, kata nabi: Ihsan itu adalah: Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Andai engkau tidak melihat-Nya, Ia sesungguhnya melihat engkau. [HR: Muslim]

Allah Swt. mencintai orang yang berbuat ihsan ini. Dalam Alquran dijelaskan; yuhibb al-muhsinin. Selain mencintai orang yang berbuat ihsan, Allah juga mencintai orang yang berbuat adil (yuhibb al-muqsithin), orang yang mau mensucikan diri (yuhib al-mutathahhirin), orang-orang yang bertawakkal (yubibbul mutawakkilin), dan lain-lain. Tapi kata al- ihsan adalah kata yang paling banyak mengiringi yuhibbu dalam Alquran. Yuhibb al-muhsinin; Allah mencintai orang yang berbuat ihsan terulang sebanyak 5 kali dalam Alquran.

Bagaimana caranya agar menjadi muhsinin atau yang berbuat ihsan itu? Jawabannya termaktub dalam surat Ali Imran ayat 133-134:
Pertama, berinfak saat lapang dan sempit. Kalau memberi bantuan atau berinfak saat ia sedang kaya raya, itu hal yang biasa, akan tetapi bersedekah atau mengulurkan bantuan kepada orang lain ketika ia sendiri dalam keadaan susah atau dalam keadaan sulit, itu amat berat dilakukan. Tapi itulah tuntunan dan ajaran Tuhan. Itulah ihsan, yaitu yaitu kebaikan yang seolah tanpa batas.

Kedua, orang yang mampu menahan marah. Ada sahabat bertanya kepada Nabi Saw. Siapakah orang yang kuat itu ya Rasulallah? Mereka yang mampu menahan marahnya, jawab nabi. Lalu hadits lain menyebutkan; la taghdhab, la taghdhab, la taghdhab! Jangan pemarah! Jangan pemarah! Jangan pemarah! Pada hadits lain dinyatakan: La taghdhab walaka al-jannah: janganlah kamu marah, maka bagimu surga.

Marah masih dapat dibenarkan asalkan karena Allah Swt. dan dengan penuh cinta. Marah bukan karena nafsu. Marah untuk menyelamatkan seseorang dalam dan dari kezalimannya. Tapi, dapatkah marah tanpa diiringi nafsu?

Ketiga, saling memaafkan sesama manusia. Memaafkan lebih berat daripada meminta maaf tapi memberi maaf lebih mulia daripada meminta maaf. Saling memaafkan inilah intisari dari acara halal bihalal dalam suasana idul fitri, sehingga terjadilah uhkuwah Islamiyah yang semakin erat di antara kaum muslimin demi mencapai masyarakat yang hidup di negeri; baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur.

Wallahu a’lam. ***

Baca : … dan Perahu pun Berlayar

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *