Sumbang Musa

Terapi Kamar Mandi

MUSA Ismail (MI) merupakan satu dari sekian sastrawan nasional yang bermastautin di Riau. Menghasilkan sejumlah karya baik cerita pendek, puisi, esai maupun novel. Memenangkan sejumlah sayembara penulisan. Novel terbarunya adalah Sumbang. Tebal 151 halaman yang diterbitkan DOTPLUS Publisher, September 2020. Sebagaimana dituliskan penulisnya dalam kata pengantar, novel ini pernah meraih juara harapan pada Sayembara Penulisan Buku Pengayaan yang ditaja Kementerian Pendidikan Nasional.

Seperti yang dituliskan MI dalam pengantar novel ini, bermacam pertanyaan muncul dari tim penilai naskah sayembara, melalui wawancara langsung dengan MI. “Latar dan alur novelnya bagus, hanya judul kurang menarik,” begitu komentar seorang juri, kata MI. Rupanya novel ini awalnya berjudul Cinta, Che Sera Sera. Dari paparan berikutnya, MI tampak sedikit kesal karena beberapa juri kelihatannya tak paham dengan judul itu karena diambil dari kosakata lokalitas Melayu yang sebenarnya kalau dilihat dalam KBBI itu dapat dipahami.

Dalam ranah sayembara, Sumbang ini seolah senasib dengan tokoh utamanya yang bernama Murni. Seorang dara yang dihias budi, jelita rupa, namun ia bisu sehingga menyebabkan perjalanan hidupnya demikian berliku. Kemolekannya membuat beberapa perempuan sebaya cemburu. Diasingkan mereka karena ia bisu. Namun disukai lelaki manapun yang pernah mengenalnya, seperti Tuan Liem si juragan pemilik kebun karet yang miang, Kamil, termasuk Ryand, seorang bule asal California Amerika Serikat, sang manajer kontraktor Petro Sea yang merupakan rekanan perusahaan minyak bernama Hudbay Petroleum S.A, yang kemudian mempersuntingnya sebagai istri walau pada awalnya kisah cinta mereka mengalami banyak halangan, baik karena perbedaan agama, budaya dan lain sebagainya. Mereka bertemu kala Murni manjadi room girl pada mess karyawan Petro Sea.

Malang tak dapat dielak, mujur pun tak dapat digapai, mereka bersama hanya semalam. Sehari setelah bersanding, perempuan jelita itu pun ditinggal bule tersebut karena masa kontrak kerjanya habis di perusahaan. Di bulan-bulan awal sang bayi lahir, sang bule masih mengiriminya nafkah belanja, namun seturut bergantinya waktu, jangankan belanja hidup, tanda mata atau cendrahati dari sang suami, kabar pun tak terdengar lagi. Ryand pergi bagai batu tercampak ke laut. Pergi tanpa pesan. Hilang tak berkesan. Tinggallah Murni dan anaknya menenun hari-hari dalam duka.

Nasib Murni seolah tak ubahnya seperti nasib negeri besarnya, Riau. Negeri yang elok dengan sumber daya alam melimpah dan sumber manusia tak pula kalah. Nilai adat budaya pun tiada terkira. Negeri yang memiliki bahasa yang menjadi ibu bahasa pemersatu bangsa. Negeri bertuah dan bermarwah. Namun, negeri yang bertuah itu, kata UU Hamidy, hanya menjadi padang perburuan.

Dalam keterbatasan diri setelah ditinggal Ryand, Murni yang sudah ditinggal ayahnya merantau ke Malaysia sejak berumur delapan tahun itu pun menjalani hidup dalam nestapa. Setelah limabelas tahun menjanda, ternyata daya tarik sebagai bunga desa belum sirna, masih membuat banyak lelaki menyukainya. Kata Musa tentang Murni, “… lelaki yang memandangnya – sudah dijamin akan terpana, mulai lelaki hidung belang hingga lelaki hidung tenggelam… lekuk-lekuk tubuhnya tidak kalah seksi dengan gadis Jakarta. Bahasanya sopan, tidak kalah mesranya dengan dara Bandung. Kulitnya tidak terlalu putih, tetapi mulus bagaikan isi telur yang baru dikupas.” (hal. 26)

Murni pun dilamar Marno. Usia pernikahan mereka tergolong singkat, yaitu setahun saja. Marno meninggal karena kecelakaan saat melakukan aktivitas pembalakan liar di hutan Merbau. Kemudian Murni menikah dengan Kamil, lelaki yang pertama kali melamarnya, dan ditolaknya. Pemuda kampung lugu yang mencintainya seolah tak berbatas. Tampaknya Kamil pula yang menjadi teman setianya sampai ujung hayat, hidup bersama dengan anak semata wayang Murni-Ryand bernama Samsul.

Secara sekilas, beberapa catatan yang dapat ditulis setelah membaca novel ini. Pertama, novel ini menjadi satu dari sekian novel sastrawan asal Riau yang mendengungkan dan menggambarkan tentang pedihnya menjadi orang Riau. Ayam bertelur di lumbung padi mati kelaparan. Itik berenang di lautan mati kehausan. Kedatangan korporasi dan orang asing di negeri ini hanya membawa petaka. Hadirnya Hudbay dan Ryand hanya menjadi sumber luka nestapa bagi Murni dan orang kampungnya yang lain.

Kedua, dalam menyampaikan gagasannya, pengarang berhasil menggambarkan sesuatu dengan detil dan indah. Pembaca seolah sedang berada di tempat, di mana pengarang sedang menuturkan kisahnya.

Ketiga, jika pemerhati bahasa Indonesia sedang prihatin akan minimnya kosakata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka pengarang dalam novel ini telah memuat banyak kosakata Melayu yang amat berguna untuk dimasukkan dalam KBBI.

Keempat, karena pengarangya seorang sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia serta guru bahasa Indonesia di sekolah, maka dalam menulis, novel ini tentu saja telah mengikuti kaedah ejaan yang disempurnakan. Maka tidak diragukan kalau Musa Ismail heran ketika seorang juri mempertanyakan judul awal novel ini. Akan tetapi karena banyaknya footnote, maka novel ini sekali pandang seolah seperti artikel atau tulisan ilmiah lainnya. Dan itu tidak pula mengurangi nilai sastra novel ini, karena semua tulisan yang lahir bersebab dari berbagai hal, termasuk dari latar belakang penulisnya. Oleh karena pengarang merupakan seorang guru, tentulah ia ingin menjelaskan sesuatu itu dengan sejelas-jelasnya, dan seterang-terangnya kepada siswa-siswinya, dan bukankah seorang pembaca sedang menjadi murid dari guru yang sedang menjelaskan sesuatu kepada siswa-siswinya?

Kelima, dengan bahasa yang mudah dicerna, pengarang berhasil mengaduk emosi pembaca, dan membuat konflik begitu jelimat, sekaligus berhasil menggambarkan keelokan kampung halaman Murni yang bernama Teluk Belitung di Pulau Padang sebagai bagian dari provinsi Riau dengan rangkaian kata yang indah dan memesona.

Keenam, novel ini kaya nilai filosofi, religi, budaya, dan kearifan Melayu lainnya yang dapat dijadikan pelajaran penting oleh siapapun yang membacanya.

Ketujuh, yang tak kalah menariknya, novel ini dimulai dengan bismillah dan diakhiri dengan alhamdulillah. Ini menunjukkan bahwa MI menyatakan dengan tegas bahwa dirinya merupakan seorang Melayu islami.

Terlebih dari semua itu, Tepilangit hari ini hanyalah sekilas tangkapan layar mungil dari balik tingkap, yang mungkin kacanya kabus, dari seorang pembaca, dari sekilas membolak-balik halaman karya yang dihasilkan pengarang kelahiran Pulau Buru Karimun ini. Semoga novel ini dapat dikaji lebih dalam dan komprehensif lagi oleh calon sarjana atau para sarjana sastra di berbagai perguruan tinggi, terutama di provinsi Riau. ***

Baca : Puasa Syawal

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *