Kurban

Terapi Kamar Mandi

PADA awalnya ibadah kurban merupakan syariat nabi Ibrahim AS sebagaimana tertuang dalam Alquran: “Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (Q.S. Ash-Shafat: 107). Pada tahun kedua hijrah, kemudian Allah Swt juga menetapkan bagi nabi Muhammad Saw dan umatnya. Sejarah kurban diawali saat nabi Ibrahim AS dilanda kesepian karena tak memperoleh keturunan. Namun ia tak pernah bosan berdoa: Ya Rabbi, karuniai aku keturunan yang saleh. Lalu Allah Swt mengaruniai ia seorang anak. Maka Kami beri kabar gembira Ibrahim dengan kehadiran seorang anak yang sangat sabar. Maka tatkala anak itu sampai pada umur yang sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim pun berkata: hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pertimbangkanlah, apa pendapatmu? Lalu Ismail menjawab: wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya ayah mendapatiku insya Allah dalam kesabaran. (Q.S. Ash-Shafat: 101-102)

Sebagai seorang ayah yang mengharapkan zuriat selama bertahun-tahun, Nabi Ibrahim terhempas. Ia menghadapi dua pilihan yang amat berat. Mengikuti kata hatinya sebagai manusia dengan membiarkan Ismail tidak jadi disembelih, atau menaati perintah Allah. Ibrahim harus memilih antara perasaan cinta seorang ayah kepada anaknya dan kebenaran Ilahi yang sedang bertelagah dalam sanubarinya.

Akhirnya ia sadar, cinta kepada Allah tidak bisa dikalahkan oleh cinta apapun, walaupun kasih sayang kepada seorang anak yang ditunggu kehadirannya berpuluh tahun. Lalu diajaknya anak tercinta ke lembah Mina. Di tangannya tergenggam sebilah pisau. Ia hendak menunaikan perintah Allah Swt. Ia ingin menyembelih buah hati, ulam jantungnya. Lalu dibaringkannya Ismail AS layaknya seperti hewan yang akan disembelih. Ismail tidak meronta. Ia biarkan ayahnya melakukan perintah Allah Swt. Ibrahim pun meletakkan pisau di leher Ismail. Sebelum pisau digesekkan ke leher Ismail, Allah Swt menyeru Ibrahim dan mengganti tubuh Ismail dengan seekor hewan sembelihan yang besar.

Dan Kami panggil dia: hai Ibrahim, sungguh kamu sudah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (Q.S. Ash-Shafat: 104-107)

Pengorbanan tiada tara seorang hamba kepada Tuhannya ini menjadi pelajaran yang amat berharga sepanjang masa. Menorehkan catatan sejarah dengan tinta emas dalam peradaban umat manusia. Sehingga Allah Swt menyatakannya langsung dalam Alquran: Kami abadikan Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Q.S. Ash-Shafat: 108)

Kurban merupakan ibadah berupa penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt pada hari raya Idul Adha dan atau hari tasyri’. Kurban (qurban), secara harfiah berarti mendekatkan. Maksudnya mendekatkan diri kepada Allah Swt, dengan mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang dilanda duka, nestapa, sengsara dan malapetaka. Ibadah kurban mencerminkan pesan Islam agar seseorang mendekat kepada saudara-maranya yang sedang dilanda kekurangan, kesusahan dan kemiskinan. Dengan berkurban berarti, seorang yang berkurban itu mendekat dengan mereka yang fakir. Bila memiliki kenikmatan, seorang mukmin disuruh berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila rezeki berlebih, disuruh berbagi kelebihan itu dengan orang lain. Ibadah kurban mengajarkan agar memelihara sikap peduli dan empati terhadap penderitaan dan kesengsaraan orang lain. Dan nilai didikan ini sejatinya dilaksanakan sepanjang hidup, bukan pada masa bulan Zulhijjah saat musim kurban saja.

Kalau kurban sudah disembelih, tidak berarti urusan dengan umat sudah selesai. Di balik peristiwa kurban yang kita sembelih, ada spirit yang perlu dikembangkan, yaitu semangat berkurban, meskipun sudah di luar hari tasyrik (momentum penyembelihan kurban). Pada hari-hari selanjutnya, semangat kurban perlu tetap dijaga kontinuitasnya, yaitu berupa kerelaan berbuat untuk kepentingan orang banyak, yang biasa juga disebut bangsa dan umat. Semangat kurban akan berkaitan erat dengan pengeluaran zakat, bantuan untuk panti yatim, pengentasan kemiskinan dan tindak sosial lainnya. Semangat kurban itu perlu dipelihara dengan menjaga hati lewat berzikir dan rasa syukur, yang kesemuanya itu akan membuat hati selalu merasa dekat dengan Allah. (D Zawawi Imron: 1999: 114)

Dengan demikian, berkurban minimal memiliki dua makna, pertama makna sosial. Untuk membangun makna ini Rasulullah Saw menegaskan dalam haditsnya,“Siapa yang memiliki kelapangan rezeki untuk berkurban, kemudian ia tidak melakukannya, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Makna yang kedua adalah makna esensial, bahwa yang dikurbankan tidak boleh manusia tetapi sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang dan tidak mengenal hukum dan norma apapun. Sifat-sifat demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan dan dijadikan korban demi mencapai qurban, kedekatan diri kepada Allah Swt. (M Quraish Shihab:1997: 415).

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. 22: 37).

Simpulan

Pertama, secara bahasa kurban bermakna dekat. Orang yang berkurban merupakan orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan cara mendekatkan diri kepada manusia melalui ibadah kurban. Selama menjalani kehidupan, manusia yang awalnya dekat dengan Tuhannya perlahan-lahan menjauh karena berbagai persoalan kehidupan. Karena fitrah kesejatian manusia ingin dekat dengan Tuhan sedekat-dekatnya, maka diberikan satu jalan dari beberapa jalan melalui ibadah kurban tersebut.

Kedua, penyembelihan hewan kurban bertujuan membantu saudara-mara sesama muslim dan manusia lainnya, terutama yang kurang mampu melalui pendistribusian daging kurban buat mereka. Ini merupakan wujud cinta kasih seorang muslim kepada sesama manusia.

Ketiga, ibadah kurban dilakukan dengan menumpahkan darah hewan sebagai symbol agar menyembelih, membuang sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia.

Keempat, yang dikorbankan itu tidak boleh manusia tapi sifat kebinatangan yang terdapat dalam dirinya. Jadi, peristiwa ini menjadi peringatan keras bagi tradisi suatu kaum yang menjadikan manusia sebagai korban atau tumbal demi mencapai sesuatu yang mereka inginkan.

Wallahu a’lam. ***

Baca : Haji dan Kurban

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *