Haji dan Kurban

Terapi Kamar Mandi

TIGA peristiwa penting yang terjadi pada bulan Zulhijjah, yaitu pelaksanaan ibadah haji; perayaan idul adha; dan pelaksanaan ibadah kurban.

Sudah dua tahun umat Islam Indonesia tak dapat menunaikan ibadah haji. Seribu kali sesal, seribu kali saying, jemaah kita tidak dapat mencium wangi ka’bah. Kening mereka tak dapat sujud di hamparan tanah suci. Tak beroleh jumpa Rasulullah Saw di Madinah. Rasa rindu menginjak tanah suci kian menggelora namun rindu dendam itu terhalang. Inilah tahun-tahun penuh cobaan dan ujian bagi kaum muslimin. Inilah bukti bahwa yang dipanggil ke Baitullah adalah orang yang diseru, yang dipanggil, yang dijemput khusus oleh Allah Swt. Artinya, dua tahun ini, tidak satupun kaum muslimin, khususnya masyarakat Indonesia yang dipanggil menjadi tamu istimewa-Nya.

Jika begini, apa yang mesti dilakukan? Semua umat Islam, khususnya di Indonesia mesti instropeksi diri kenapa Allah Swt menakdirkan ini? Yang kedua, ini mengisyaratkan bahwa dapat saja Tuhan sedang berpesan bahwa uang dan rezeki yang dimiliki sejatinya menjadi bagian dari orang-orang yang saat ini ditimpa kemalangan atau kesusahan hidup, yang keberadaan mereka ada di sekitar lingkungan kita. Bukankah Abdullah ibn al-Mubarak seorang ulama yang hidup pada masa tabi’-tabiin dibuat heran ketika baru menyelesaikan ibadah haji, pada malamnya ia bermimpi bahwa malaikat menyebut yang memperoleh haji tahun itu hanya satu orang, yaitu Ali bin Muwaffaq yang tinggal di kota Damaskus, Suriah. Pulang dari tanah suci, Abdullah Ibn Al-Mubarak mencari Ali bin Muwaffaq dan menanyakan apa amalannya sehingga ia satu-satunya yang memperoleh haji mabrur pada tahun itu. Rerupanya, Ali bin Muwaffaq menginfakkan semua biaya hajinya untuk tetangganya seorang janda beranak empat, yang ketika ditemuinya sedang memasak daging keledai yang sudah menjadi bangkai karena tidak dapat menemukan sesuatu yang halal buat konsumsi anak-anaknya.

Inti dari kisah heroik itu adalah soal pengorbanan. Rela memberikan seluruh ongkos naik haji demi membantu tetangga yang sedang dilanda kemelaratan. Dan pengorbanan itulah yang dinilai Allah Swt.

Kurban (qurban), secara harfiah berarti mendekatkan. Maksudnya mendekatkan diri kepada Allah Swt, dengan mendekatkan diri kepada sesama manusia, khususnya mereka yang dilanda duka, nestapa, sengsara dan malapetaka. Ibadah kurban mencerminkan pesan Islam agar kita mendekat kepada saudara-saudara kita yang sedang dilanda kekurangan, kesusahan dan kemiskinan. Dengan berkurban berarti kita mendekat dengan mereka yang fakir. Bila memiliki kenikmatan, kita disuruh berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila rezeki berlebih, kita disur berbagi kelebihan itu dengan orang lain. Ibadah kurban mengajarkan agar memelihara kepedulian terhadap penderitaan dan kesengsaraan orang lain. Dan nilai didikan ini sejatinya dilaksanakan sepanjang hidup, bukan pada masa bulan Zulhijjah saat musim kurban saja.

Kalau kurban sudah disembelih, tidak berarti urusan dengan umat sudah selesai. Di balik pristiwa kurban yang kita sembelih, ada spirit yang perlu dikembangkan, yaitu semangat berkurban, meskipun sudah di luar hari tasyrik (momentum penyembelihan kurban). Pada hari-hari selanjutnya, semangat kurban perlu tetap dijaga kontinuitasnya, yaitu berupa kerelaan berbuat untuk kepentingan orang banyak, yang biasa juga disebut bangsa dan umat. Semangat kurban akan berkaitan erat dengan pengeluaran zakat, bantuan untuk panti yatim, pengentasan kemiskinan dan tindak sosial lainnya. Semangat kurban itu perlu dipelihara dengan menjaga hati lewat berzikir dan rasa syukur, yang kesemuanya itu akan membuat hati selalu merasa dekat dengan Allah. (D Zawawi Imron: 1999: 114)

Dengan demikian, berkurban minimal memiliki dua makna, pertama makna sosial. Untuk membangun makna ini Rasulullah Saw menegaskan dalam haditsnya,“Siapa yang memiliki kesempatan rezeki untuk berkurban, kemudian ia tidak melakukannya, maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.”

Makna yang kedua adalah makna esensial, bahwa yang dikurbankan tidak boleh manusia tetapi sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia., semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang dan tidak mengenal hukum dan norma apapun. Sifat-sifat demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan dan dijadikan korban demi mencapai qurban, kedekatan diri kepada Allah Swt. (M Quraish Shihab:1997: 415).

Kata Ali Syari’ati, sesungguhnya Ismail yang dikurbankan oleh ayahnya, hanyalah lambang dari setiap sesuatu yang melemahkan iman; setiap sesuatu yang menghalangi perjalanan, segala hal yang membuat manusia memikirkan kepentingannya sendiri, setiap sesuatu yang menghalangi diri mendengarkan perintah Allah Swt dan menyatakan kebenaran, Ismail simbol dari segala ihwal yang membutakan mata dan telinga zahir dan batin manusia. Ismail hanya lambang dari seorang manusia, benda, pangkat, realita, kedudukan dan kelemahan dirimu. Semua sifat dan kelemahan inilah yang harus dikorbankan, yang harus disembelih dan ditiadakan.

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu, dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. 22: 37).

Wallahu a’lam. ***

Baca : Emak Daoed

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *