Penerapan Syariah Islam

Pemuda

BEBERAPA tahun terahir ini, banyak laporan penelitian yang menunjukkan bahwa corak keberagamaan di beberapa institusi pendidikan kita telah mengalami pergeseran yang cukup serius. Pergeseran ini, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan, karena pada realitas sosial menunjukkan bahwa telah terjadi penguatan semangat keislaman yang sangat mengesankan dengan munculnya sekolah-sekolah Islam. Semangat (ghirah) keislaman ini terlihat, antara lain, terjadinya peningkatan trend untuk berbusana secara syar’i, program unggulan tahfidz al-Qur’an, dan lainnya. Selain itu juga, di ruang-ruang publik, kita juga menyaksikan bagaimana Islam ditampilkan, munculnya penerapan bank Syariah, hotel Syariah, rumah sakit Islami, sertifikasi halal di gerai-gerai fastfood asing, wisata Islami dan lain-lain, merupakan upaya-upaya sebagian umat Islam di Indonesia untuk memperoleh eksistesinya. Bahkan secara lebih luas lagi, secara politis, melahirkan wacana penegakan syariah Islam, pendirian khilafah, hingga maraknya perda syariah di berbagai daerah.

Kondisi tersebut, di satu sisi, sungguh sangat menggembirakan. Sebab, telah lahir sebuah kesadaran dalam beragama Islam. Munculnya kesadaran beragama, tentunya akan memberikan dampak positif bagi setiap individu untuk menginsafi dan melaksanakan perintah-perintah agama. Sehingga akan berdampak pada kondisi yang damai, tentram, dan penuh kekeluargaan. Sebagai sebuah Negara yang majmuk seperti Indonesia ini, kesadaran beragama seperti ini, sangat dibutuhkan untuk bisa mendorong tercapainya kedamaian bersama.

Namun demikian, di sisi lain, kondisi di atas justru mengarah pada simbolisasi dan idealisasi (dogmatisasi) beragama Islam. Misalnya munculnya pergeseran pemahaman bahwa untuk menjadi Islam yang baik harus “hijrah” dulu, mengajak untuk menerapkan syariah Islam, hingga pendirian khilafah Islam.

Saya ingin menyoroti tentang tendensi penerapan syariah Islam tersebut. Ada kesalahan berfikir dalam menggunakan istilah syariah tersebut. Ada kesan bahwa dengan menerapkan syariah Islam, Indonesia akan menjadi Negara makmur dan sejahtera.

Syariah sesungguhnya bermakna sesuatu yang merujuk kepada hukum Islam yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Syalabi, 1969:28; Nabhan, t.th:10; al-Qathan, t.th:14; Syaltut, t.th:15). Syariah dengan demikian merujuk pada hukum-hukum yang telah diatur oleh Allah sedemikian rupa, melalui rasul-Nya. Bahwa syariah Islam adalah keseluruhan ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT., maka syariah adalah Islam itu sendiri.

Jika syariah dipahami sebagai seperangkat hukum Islam yang mengatur perilaku manusia, maka ia telah menjadi fiqh. Meskipun lingkup syariah terdapat hukum-hukum Islam, akan tetapi ia lebih bersifat normative dan universal yang landasannya al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini, maka syariah Islam adalah nilai-nilai universal dari agama Islam itu sendiri, yakni keadilan, ketundukan, kekeluargaan, kesetaraan dan lainnya. Dengan demikian, syariah Islam wajib diterapkan sebagai sebuah nilai.

Sementara fiqh lebih pada aplikasi dari pemahaman atas hukum-hukum tersebut. Fiqh dengan begitu berarti pemahaman tentang hukum-hukum yang mengatur perilaku manusia dan proses pembentukannya melalui daya nalar para mujtahid. Karenanya, fiqh itu bersifat historical continuity, mengalami perkembangan pemahaman, sesuai dengan pemahaman setiap orang atas Alqur’an dan Sunnah Nabi. Ayat-ayat hukum yang muncul dalam al-Qur’an kemudian ditafsirkan, maka tafsirnya bersifat historis. Karena bersifat historis, ia menjadi fiqh. Karena ia fiqh, maka tidak ada kebenaran mutlak disana. Berlakulah perkataan Imam Syafi dalam konteks ini, yaitu “pendapat seseorang bisa jadi benar, tapi berpeluang salah, namun pendapat orang lainnya lagi bisa jadi salah namun berpeluang benar

Nah, yang terjadi saat ini penerapan Syariah Islam, sebagaimana yang muncul dalam Perda-perda syariah adalah fiqh. Mungkinkah menerapkan sesuatu peraturan, sementara didalamnya terjadi ikhtilaf, perbedaan pandangan? Misalnya Muncul Perda Syariah tentang Pemberlakuan Busana Syar’i. Dalam hal ini, “model” siapa yang dipilih? Ijtihad siapa yang akan dijadikan standar bahwa busana itu sesuai dengan syariah Islam? Bisakah memaksa ijtihad atau pandangan yang berbeda untuk sama dengan peraturan tersebut?

Prinsip umum dari syariah Islam sesunggunya berorientasi (tujuannya) pada upaya untuk membawa umat manusia (warga negara) pada kehidupan yang mashlahah, yang memuat kebaikan dan kesejahteraan (rahmatan lil ‘alamin). Sejauh manakah pemberlakuan syariah Islam oleh Negara telah menciptakan kemasalahatan bagi warga Negara? Wallahu A’lam bi Al-showab. ***

Baca : Doktrin “Kembali ke Alqur’an dan Sunnah”

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *