Doktrin “Kembali ke Alqur’an dan Sunnah”

Pemuda

SERING kita mendengar tentang keharusan untuk kembali ke Alqur’an dan Sunnah. Dengan bantuan media sosial saat ini, pesan itu terus dikenal dan berkembang hingga saat ini. Pesan kembali ke Alqur’an dan Sunnah ini, biasanya diiringi dengan ajakan untuk menghindari bid’ah. Mereka merujuk pada hadist Nabi “semua hal baru adalah bid’ah, semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan adalah di neraka.

Sekilas, doktrin wajar dan memang seharusnya umat Islam untuk mempedomani Alqur’an dan sunnah Nabi. Namun pesan berikutnya yang lebih dramatis adalah adanya upaya penghilangan jejak dengan slogan bid’ah. Seolah-olah mereka berkata “Ayo kembali kepada Alqur’an dan Sunnah, kalo tidak anda melakukan bid’ah”. Celakanya lagi, ukuran bid’ah di dasarkan pada ajaran yang dimiliki oleh kelompoknya sendiri. Artinya, laku agama yang berbeda dengan kelompoknya, dianggap bid’ah, dan bid’ah itu sesat, dan sesat pasti masuk neraka. Padahal Imam Syafi’i sudah memberikan formulasi bahwa ada bid’ah hasanah dan bi’dah sayyiah.

Terlepas dari problem bid’ah, penting untuk memahami doktrin kembali ke Alqur’an dan Sunnah itu. Hal ini dilakukan agar kita tidak terjadi kesalahfahaman dan ketimpangan dalam memahami doktrin tersebut. Sehingga kita tidak “mentah-mentah” melaksanakan menerima ajakan kembali pada Alquran dan sunah Nabi.

Sebagaimana saya singgung dalam “senarai” minggu lalu, bahwa Alqur’an sebagai sebuah teks, sangat terbuka dengan berbagai tafsir dan pemahaman atas nya. Ragam tafsir yang muncul atas beberapa ayat dalam Alqur’an itu sudah lumrah dan memang begitulah adanya. Maknanya adalah bahwa keragaman dalam memahami isi teks Alqur’an adalah keniscayaan sejarah yang tidak bisa kita pungkiri.

Realitas itu, dimaklumi dengan adanya perbedaan latarbelakang keilmuan, dan latarbelakang social yang mengitari para mufassir itu sendiri. Wajarlah jika kemudian muncul berbagai macam kitab tafsir dalam sejarah Islam. Perbedaan itu tidak saja pada penafsirannya atas teks tersebut, melainkan juga dalam hal corak, pendekatan, dan kecendrungan yang berbeda-beda. Justru dengan adanya ragam perbedaan penafsiran tersebut, diyakini akan memperkaya khasanah dan dinamika intelektual dalam beragama.

Jika keragaman penafsiran atas Alqur’an itu menjadi sebuah keniscayaan sejarah, pertanyaannya kemudian adalah tafsir siapakah yang paling benar? Siapa yang bisa menjamin diantara tafsir yang dipahami oleh para mufasir itu, dibenarkan oleh Nabi Muhammad dan Allah sendiri? Tentu saja tidak ada dan tidak mungkin bisa. Oleh karena itu, memberikan apresiasi atas upaya para mufassir dan menginsafi untuk tidak mengatakan “tafsinya lah yang paling benar” adalah diantara sikap mulia yang harus kita tonjolkan. Dalam hal ini, akhir dari upaya para mufassir dalam menafsirkan Alqur’an adalah dengan mengatakan “ra’yi ṣawab walakin yahtamil al-khatha’ wa ra’yuhu khatha’ walakin yahtamil al-ṣawab, pendapatku benar tetapi ada kemungkinan salah dan pendapatnya salah tetapi ada kemungkinan benar”

Misalanya kata “Auliya” dalam Alqur’an Surah Almaidah ayat 51, yang dulu sempet heboh. Para ulama berbeda tafsir atasnya. Misalnya Muhammad Sa’id secara tegas menafsirkan auliya’ dalam ayat tersebut dengan makna wali, sehingga dalam tafsirnya beliau melarang umat Islam untuk menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai wali yang mengurusi suatu urusan, dalam artian pemimpin. Begitu juga Sayyid Quttub dan Hamka. Namun, Ibn Katsir memaknainya bukan pemimpin, melainkan berarti bersekutu atau beraliansi sehingga meninggalkan sesama muslim. Begitu juga Prof. Quraish Shihab, memaknai kata dalam ayat itu bukan lah pemimpin.

Dari ragam tafsir itu, sekali lagi tidak ada yang bisa mengkalim begitu saja bahwa tafsirnyalah yang paling diterima Allah, sehingga tafsir yang lain salah dan harus dihindari. Dalam persoalan-persoalan ibadah sekalipun, kita banyak menjumpai penafsiran-penafsiran yang beragam itu, sehingga melahirkan berbagai mazhab dalam Islam.

Dalam konteks doktrin “kembali kepada Alqur’an dan Sunnah” tersebut, sebenarnya tidak mungkin seseorang akan mampu menangkap pesan Alqur’an dan Sunnah itu sesuai dengan keinginan Allah dan Rasul-Nya, kecuali ayat-ayat yang qoth’i saja. Terbukti dengan adanya ragam tafsir atas Alqur’an itu sendiri. Oleh karenanya, doktrin “kembali kepada Alqur’an dan Sunnah” itu sesungguhnya kembali kepada “tafsir kelompoknya” bukan kembali pada Alquran sesungguhnya. Wallahu A’lam bi Al-showab.***

Baca : Ikhtilāf

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *