Ikhtilāf

Pemuda

“WAHAI mushaf Al-Qur’an, bicaralah pada orang-orang itu!” tiba-tiba Sayyidina Ali berkata kepada al-Quran demikan itu dihadapan para shahabat yang sedang memprotes keputusan Ali bin Abi Thalib untuk menerima hasil arbitrase antara Ali dan Muawwiyah pada perang Shiffin. Keputusan Ali ini, dinilai oleh para Shahabat yang mayoritas adalah para penghafal al-Qur’an (ahl al-huffadz) itu, sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang manusai dalam memutuskan sebuah hukum. Bagi mereka tidak ada hukum kecuali milik Allah (la hukmu illa allah), artinya semua keputusan itu haruslah mendasarkan pada al-Qur’an bukan manusia.

Karena kuatnya kritik yang diberikan kelompok ini atas keputusan Ali tersebut, maka Ali pun mengumpulkan mereka dan mengambil al-Qur’an sembari memerintahkan al-Qur’an untuk berbicara. Kelompok ini, belakangan dalam sejarah disebut dengan kaum Khawarij (dari kata kharaja, keluar), orang-orang yang keluar dari barisan Ali.

Mendengar pernyataan Ali bin Abi Thalib tersebut, semua shahabat yang hadir, tertegun. “Mana mungkin, al-Qur’an bisa menjawab keinginan itu (untuk berbicara)”, sebut salah seorang dari mereka.

Sayyidina Ali pun kemudian menjelaskan bahwa al-Qur’an itu hanyalah “sehelai kertas” yang berisi huruf-demi huruf, jika manusia tidak membacanya, al-Qura’an tidak bisa “bersuara”. Dalam hal manusia sebagai pemutus perkara (hakam), Ali menyatakan “Dalam Surat Annisa ayat 35 Allah dengan gamblang mendistribusikan peran manusia untuk menyelesaikan persoalan percekcokan suami istri”. Hal ini menandaskan bahwa manusia bisa memutuskan sebuah perkara, lebih-lebih terkait dengan keselamatan manusia.

Sebagai kumpulan teks, al-Quran dibaca oleh manusia. Ketika ia dibaca dan dipahami, maka ia menjadi tafsir. Al-Qur’an kemudian menjadi teks yang sangat terbuka untuk ditafsirkan, oleh siapapun dan dimanapun. Setiap kata dan kalimat di dalam al-Qur’an, yang memiliki ragam makna, tentu akan dipahami oleh para mufassir sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya. Ragam penafsiran atas al-Qur’an ini lah, kemudian melahirkan mazhab-mazhab pemikiran (school of thoughts) yang beragam. Bahkan, ragam aliran pemikiran umat Islam atas al-Qur’an itu, terjadi hampir disemua level; dalam teologi, fiqh, tasawuf, politik Islam, sampai pada kultur dan tradisi.

Dari kesadaran inilah lalu Nabi yang mulia menyatakan Ikhtilafu Ummati Rahmatun, perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat. Bahwa keragaman penafsiran atas Islam, menjadi kenyataan sejarah. Oleh karena itu, tidak ruang sedikitpun bagi kita umat Islam, untuk menyatakan bahwa penafsiran yang dimiliki adalah yang paling benar dan outentik, sementara penafsiran kelompok lainnya dianggap tidak benar dan tidak otentik dari Nabi Muhammad.

Berangkat dari hal itu lah, izinkan saya untuk menuangkan beberapa hal terkait persoalan keagamaan, kemanusiaan, dan keindonesiaan di kolom ini. Hal ini dilakukan sebagai sebuah bentuk ikhtiar bahwa pada wilayah agama, umat Islam hari ini hanyalah “penafsir” atas teks absolut al-Qur’an. Karena ia hanyalah tafsir, tentu ada ruang salah dan benar. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengedepankan sisi kemanusiaan ketika terjadi persoalan dalam hal itu, atau dalam bahasa Kang Jalal, mendahulukan akhlaq dari pada fiqh. Begitu pula ketika persoalan keagamaan dan kemanusiaan selesai, maka mempertimbangkan asas kebangsaan atau ke-Indonesiaan adalah menjadi sebuah kemestian. Sebisa mungkin, semangat keagamaan, kemanusiaan dan kebangsaan kita berjalan senafas dalam kehidupan kita sehari-hari.

Selamat membaca…***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *