Beragama yang Beradab

Pemuda

PERSIS setelah sholat Jumat (3/9/2021) yang lalu, tiba-tiba segerombolan jamaah merobohkan dan membakar sebuah masjid milik Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Sintang, Kalimantan Barat. Satu masjid roboh. Teriakan sama-sama Allahu Akbar menggema; satu kelompok yang merobohkan dan satu lagi teriakan lirih dari korban. Satu kelompok berteriak Allahu Akbar sambil melempar batu, “Allahu Akbar” ucapan lirih dibalik pintu rumah Jamaah Ahmadiyah.

Mereka sama-sama berlindung atas nama Allah. Namun berbeda keadaan. Menariknya, seringkali Negara selalu absen dengan persoalan ini. Bahkan mereka hanya “menonton” saja. Dengan dalih “menertibkan”, pemerintah justru membela tindakan-tindakan kekerasan itu. Hal ini, pernah juga terjadi di Pekanbaru, pada tahun 2010 yang lalu. Pelarangan penggunaan masjid An Nashr, Pekanbaru pada 12 Oktober 2010. Bahkan Wali Kota pada saat itu, mengeluarkan larangan bagi Jemaah Ahmadiyah untuk beraktifitas keagamaan.

Cerita-cerita memprihatinkan mewarnai sejarah panjang Jamaah Ahmadiyah dan kelompok keagamaan lain yang berbeda dari mainstream jamaah di Republik yang konon menjunjung tinggi kebebasan beragama ini. Ada yang diculik, diancam, hingga diusir dari rumahnya sendiri. Rumahnya ada di tanah Indonesia, lalu diusir kemana mereka?

Negara atau pemerintah seharusnya memperhatikan secara mutlak, asas bahwa setiap orang yang hidup dan bernafas di Indonesia ini memiliki hak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk menentukan pilihan-pilihan mandiri (otonom) sesuai dengan pikiran, sikap, dan hati nuraninya. Asas ini bermakna bahwa kebebasan seseorang dalam wilayah pribadi (forum internum) harus dijamin oleh negara dan dilindungi dari intervensi pihak manapun. Sedangkan ekspresi kebebasan tersebut dalam wilayah publik (forum eksternum) harus dijamin oleh negara dan dilindungi dari intervensi pihak manapun. Namun ini dapat dibatasi oleh negara atas nama kepentingan keamanan, ketertiban, kesehatan, moral masyarakat, nilai-nilai agama, atau hak-hak dan kebebasan dasar orang lain.

Dalam konteks yang pertama bahwa warga Ahmadiyah atau umat lainnya, memiliki kebebasan secara otonom untuk memilih keyakinan agamanya sesuai dengan hati nuraninya, dan yang kedua Negara harus menjamin dan melindungi jamaah Ahmadiyah dan umat lainnya, dari intervensi manapun ketika mereka menjalankan ritual atas keyakinannya, ibadah sholat dan seterusnya. Negara harusnya hadir atas nama keamanan, ketertiban dalam kasus di atas.

Ketika agama justru menuntun kita kepada semangat untuk menguasai dirinya dan sekitarnya, dan kemudian mendorong dirinya untuk menjadi tuan, maka tidak heran jika kemudian Nietzsche menyebut kaum beriman telah “memperalat Tuhan untuk menjadi penjaga kepastian”. Tuhan yang diperalat manusai itulah yang akan lumpuh, dan mati. Atau Karl Max yang melihat sisi “kepatuhan pada Tuhan” sebagai efek “kecanduan” manusia, sehingga manusia tiada memiliki kebebasan.

Padahal dalam kontek sosial, beragama merupakan manifestasi dari pengetahun kita tentang “agama yang kita miliki”, sehingga ia akan bisa berbeda sama sekali dengan agama itu sendiri. Dalam istilah Jurgen Habermas, ketika agama berusaha dikonstruksi oleh pengetahuan manusia, maka di situ ia tidak lagi sepenuhnya bersifat Ilahiah, karena risalah Tuhan pada saat itu sudah bercampur dengan berbagai faktor pengaruh dan kepentingan-kepentingan manusia.

Di sini lah kemudian beragama membutuhkan sikap saling memahami, bukan menghakimi. Sebagaimana pula yang disebutkan oleh Buya Syafi’I Ma’arif bahwa “Manusia merupakan umat yang tunggal” (QS Al-Baqarah/2:213). Oleh sebab itu, tugas penting manusia di muka bumi ini adalah lita’arafu yang maknanya tidak saja saling mengenal tapi juga saling bertukar makna peradaban. Inilah beragama yang beradab. Wallahu A’lam bi Al-Shawab. ***

Baca : Toleransi yang Terkoyak

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *