Membaca Penderitaan

Bang Long

Bismillah,
Selamat Hari Perpustakaan Sekolah Internasional, 18 Oktober 2021.

HARI itu, 18 Oktober entah tahun berapa, bertepatan Hari Perpustakaan Sekolah Internasional, Cikgu MuIs mengajak para siswanya belajar di perpustakaan sekolah. Beberapa kali, Cikgu MuIs membawa para siswa ke perpustakaan sekolah tempat dia tertugas. Ruangan yang sesak dengan rak buku dan kursi-meja itu menjadi sumber pembelajaran baginya. Di ruangan berukuran 7 x 9 meter itu, dia mengajak para siswa membaca karya sastra, menelaah, membuat catatan, dan berdiskusi. Kadangkala, di ruangan ini juga, dia mengajak para siswa menulis karya sastra.

“Kalian jangan rabun ketika membaca dan jangan lumpuh ketika menulis,” kata Cikgu MuIs sambil mengutip pesan sastrawan Taufik Ismail. Selain labor bahasa, para siswa gembira jika diajak belajar di perpustakaan meskipun perpustakaan sekolahnya masih tradisional.

Cikgu MuIs juga sering mengajak para Cikgu lain agar memanfaatkan perpustakaan sekolah sebagai terminal belajar.

“Tujuannya untuk membangun kesadaran akan pentingnya budaya literasi dan pengembangan perpustakaan sekolah di kampung kita,” katanya suatu ketika. Namun, ajakannya itu masih dianggap angin lalu saja. “Yang terpenting, para siswa membaca di situ,” tegasnya. Ah, dia jadi teringat dengan puisi Belajar Membaca (1979) karya Sutardji Calzoum Bahri (SCB): kakiku luka/ luka kakiku/ kakikau lukakah/ lukakah kakikau/ kalau kakikau luka/ lukakukah kakikau/kakiku luka/ lukakaukah kakikau/ kakiku luka/ lukakaukah kakiku/ kalau lukaku lukakau/ kakiku kakikaukah/ kakikaukah kakiku/ kakiku luka kaku/ kalau lukaku lukakau/ lukakakukakiku lukakakukakikaukah/ lukakakukakikaukah lukakakukakiku.

“Puisi yang aneh, tapi dalam maknanya”, hatinya berkata. Aneh? Tentu saja aneh karena puisi ini seperti mengingkari puisi-puisi yang lahir sebelumnya. SCB hanya bermain dengan tiga diksi dan tiga partikel dalam puisi ini: kaki, -ku, luka, -kau, -kah, kalau. Ada tiga diksi, yaitu luka, kaki, kalau. Lalu, ada tiga partikel yang digabungkan SCB dengan diksi tersebut, yaitu -ku, -kau, -kah. Permainan diksi dan partikel tersebut mengandung makna suatu penderitaan. Dari awal hingga akhir, diksi luka sangat dominan. Diksi luka inilah yang mendeskripsikan penderitaan kita: aku dan kau. Lantas, apa kaitannya dengan judul Belajar Membaca? Secara konkret, puisi ini mengajarkan kita agar membaca dan mengeja bacaan dengan teliti. Secara abstrak, karya SCB ini mengajak kita untuk membaca dan memahami suatu penderitaan: Membaca Penderitaan. Secara umum, saya menginterpretasi puisi ini mengajak kita untuk belajar berliterasi meskipun dalam kesulitan dan kesusahan. Berliterasi itu memang belajar membaca, belajar menderita. Tentu saja sangat berkaitan dengan perpustakaan sekolah. Bagi Cikgu MuIs, perpustakaan sekolah merupakan corong literasi hijau, wadah membangun tradisi literasi sejak dini.

Jika mendengar atau membaca frasa perpustakaan sekolah, kita tentu ingat sekebat sumber bacaan (referensi). Sumber bacaan itu bisa berupa buku dengan bermacam jenisnya, majalah, koran, dan sejenisnya. Kita terbayang sumber bacaan tersebut bisa berbentuk cetak maupun digital. Kita akan membayangkan semua sumber bacaan tersusun teratur pada rak-rak istimewa dalam suatu gedung, bukan gudang. Ya, bagi saya, perpustakaan sekolah adalah gedung ilmu, bukan gudang ilmu.

Secara konvensional, perpustakaan merupakan sekebat koleksi buku dan majalah. Koleksi tersebut bisa perseorangan maupun suatu instansi. Perpustakaana dikenal umum sebagai koleksi besar yang dibiayai dan dioperasikan oleh suatu institusi. Selanjutnya, perpustakaan dimanfaatkan oleh pengguna (siswa, masyarakat umum, karyawan, mahasiswa). Perpustakaan dapat juga diartikan sebagai kumpulan informasi yang bersifat ilmu pengetahuan, hiburan, rekreasi, dan ibadah. Informasi ini merupakan kebutuhan hakiki manusia sebagai makhluk terdidik.

Setiap masuk ke ruang perpustakaan sekolah, mata Cikgu MuIs melompat-lompat. Matanya melompat ke rak-rak yang tersusun buku. Rak-rak dan buku-buku berdebu. Wabah yang menyandera warga sekolah di ruang gelisah telah melahirkan lelah di sekolah. Debu dan gersang menyerang. Gedung ilmu itu laksana gudang. Suasana perpustakaan sekolah di musim wabah dilukiskan indah oleh penyair Jasman Bandul dalam puisinya bertajuk DI SEBUAH PERPUSTAKAAN SEKOLAH (2020). Di sebuah perpustakaan sekola/ Entah pada hari yang keberapa/ pada suatu musim pandemi/ ku humban jauh-jauh jenuh ini/ sambil duduk di sebuah kursi kayu/ menyaksikan debu-debu/ dan sarang laba-laba berumah/ di antara sela-sela lemari buku// Lama aku melempar pandang/ Di muka gerbang sekolah/ Tanpa salaman dan sapa pagi/ Tanpa absen dan sanksi/ Segalanya menjadi tak biasa lagi/ Pagi menjadi pasi.

Bait pertama mendeskripsikan bahwa Akulirik si penyair merasa jenuh dengan musim pandemi. Di suatu perpustakaan sekolah (saya yakin di sekolah tempatnya bertugas karena penyair ini adalah Cikgu), Akulirik menghumban rasa jenuh sambil duduk di kurs, menyaksikan debu-debu dan sarang laba-laba di lemari (rak) buku. Suatu kondisi bahwa wabah telah membunuh aktivitas di perpustaan sekolah. Sementara itu, bait kedua Akulirik menyaksikan bahwa kebiasaan positif seperti tegur sapa dan bersalaman pun lenyap dimakan wabah. Hidup di sekolah seperti tak berdarah laksana mayat hidup, pasi.

Pada bait-bait berikutnya, penyair Jasman Bandul merekam tentang keadaan perpustakaan sekolah. Dengan menghumban risau, dia memandang jendela perpustakaan yang berkabut dan rapat terkatup. Lalu, penyair menatap halaman sekolah yang hanya ada lambaian ketapang dan beberapa ekor burung pagi. Dengan menghujam kelam hati, penyair ini meniup debu pada buku sambil membuka halaman pertama. Dia membaca tentang sejarah negeri pada zaman brilian. Namun, Akulirik dalam puisi ini merasa geram. Kegeramannya muncul karena dia tak bisa mendikusikan bacaan itu dengan warga sekolah, terutama siswanya. Akhirnya, semua kondisi sekolah yang disaksikannya hanya dipendam, dan dia hanya bisa berteriak pada sunyi dengan harapan agar jenuh rapuh dan roboh.

Cikgu MuIs termenung di sudut perpustakaan sekolah. Tiba-tiba, perpustakaan sekolah berubah wujud. Gedungnya modern dan dilengkapi dengan peralatan canggih. Semuanya dioperasikan dengan sistem digital. Lama juga dia tertidur di sudut ruangan ilmu itu. Belum juga terbangun.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Sabtu, 09 Rabiul Awal 1443 / 16 Oktober 2021

Baca : Kisah Lara Laila

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *