Matinya Nurani Intelektualisme Kita

SYAHDAN, ketika Rasulullah mengalami kesedihan yang mendalam, Nabi berada pada puncak kesusahan, karena ditinggalkan oleh isteri yang tercinta dan Paman yang selalu berada paling depan, ketika Nabi diganggu oleh kaum Quraisy. Khadijah adalah belahan jiwa sekaligus donator tetap dalam perjuangan Nabi. Seluruh harta Khadijah habis, demi dakwah dan perjuangan Nabi. Ketika beliau wafat, perasaan pilu yang teramat sangat, menjalar disekujur tubuh Nabi yang mulia, tumpahlah air mata mulia Rasulullah. Tidak lah heran jika kemudian tahun kepergian dua orang penting dalam sejarah hidup Nabi ini, disebut dengan ‘Am al-Huzn, tahun kesedihan.

Dimasa-masa yang demikian menyedihkan bagi Nabi, Allah lalu memberikan “hiburan” kepadanya, yang sering kita dengan dengan istilah isra’ mi’raj Nabi. Dalam peristiwa ini, Nabi sampai pada sidrah muntaha. Pada fase ini juga, beliau berada pada taraf kebahagiaan yang luar biasa. Kenapa? Sebab Nabi yang mulia sudah bertemu dengan Allah. Dalam dunia Sufi, tiada kebahagian yang sebenarnya, selain bertemu dengan Allah. Kurang bahagia seperti apa lagi, ketika seseorang sudah berjumpa dengan kekasihnya sendiri? Tidak lah heran jika kemudian Muhammad Iqbal, seorang pemikir besar asal Pakistan, mengatakan “Andaikata aku sudah jumpa dengan Allah di Sidrah Muntaha, maka aku tak mau lagi turun ke bumi.” Hebatnya, setelah Nabi Muhammad bertemu dengan Allah, dia justru bersedia berpisah dan turun ke bumi.

Kesediaan Rasulullah untuk berpisah dengan kekasihnya, adalah bentuk “pengorbanan” spiritual kenabian. Bahwa Nabi lebih memilih berupaya memperbaiki nasib kaumnya, merupakan refleksi atas etos intelektualitas dalam membela kaum yang lemah. Dalam proses perjuangan ini, tentu saja tidak sedikit penderitaan yang dialami oleh Nabi. Andai dia berada di “samping”-Nya, penderitaan itu tidak akan terjadi pada diri nabi.

Dalam peristiwa itu, nabi kembali ke bumi dengan beragam warna persoalan yang ada di dalamnya. Nabi kembali ke bumi untuk melakukan misi mulia, yaitu melakukan transformasi sosial di masyarakat jahiliah pada saat itu. Oleh Kuntowidjoyo dalam syair “Ma’rifat Daun, Daun Makrifat”, kejadian itu digambarkan sebagai berikut:

Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
Apakah aku ingin berjalan di atas mega
Dan aku menolak
Karena kakiku masi di bumi
Sampai kejahatan terahir dimusnahkan
Sampai huhafa dan mustadh’afin
Diangkat Tuhan dari penderitaan

Nabi bangkit dari kesedihan dengan berupaya menyelesaikan misi kenabiannya. Maka hari ini, jika kaum intelektual disebut sebagai damar panuluh, cahaya yang bisa menerangi secara cerdas, baik moral maupun spiritual kepada masyarakat, maka ia sesungguhnya menjadi penerus kenabian, waratsat al-anbiya. Hatta (1983) menyebut kaum intelektual adalah bersatunya kerja akal dan kerja moral. Seorang intelektual, akan menggunakan akalnya untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Sementara itu kerja otak adalah menyampaikan kebenaran itu kepada masyarakat dengan semangat membebaskan manusia dari penderitaan.

Kata Jean Paul Sartre (1974), seorang eksistensialist dari Perancis, tugas seorang intelektual adalah mengkritisi dan menolak segala bentuk ketidakadilan. Atau dalam bahasa Edward W. Said, intelektual memiliki komitmen penuh bagi keadilan publik, seorang intelektual yang memiliki komitmen untuk menyuarakan kebenaran di hadapan penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan seorang Michel Foucault (1977) pun, menyebutkan bahwa seseorang yang disebut kaum intelektual, tidak saja hanya sekedar mempertanyakan ketidakadilan dan menyuarakannya, namun harus sampai pada usaha mengambil langkah lanjut dengan berpihak pada korban ketidakadilan dan memainkan peran sebagai suara dari yang tak bersuara serta harapan dari yang tak memiliki harapan di hadapan kekuasaan yang mengungkung masyarakat.

Ketika ketidakadilan menerpa warga bangsa ini, kenapa justru kaum yang disebut sebagai intelektual ini, menjadi bungkam seribu bahasa.

Persoalan-persoalan publik, yang melibatkan pelayanan dan penyebaran pembangunan yang berkeadilan, tidak pernah menjadi pembahasan atau diskusi-diskusi kaum intelektual di negeri ini.

Bangsa ini dihuni tidak hanya orang-orang kaya dan berkuasa saja. Bangsa adalah seluruh rakyat, baik miskin maupun kaya, di bawah maupun di atas, yang secara bersama-sama membentuk sebuah Negara. Suara-suara kaum intelektual diperlukan, tidak saja untuk menyuarakan jeritan kaum lemah, tak berdaya, namun juga sebagai bentuk hidupnya nurani kaum intelektual itu sendiri.

Kaum intelektual adalah mereka yang mau membaktikan hidupnya untuk berfikir kepentingan umum dan melihat persoalan masyarakat secara terbuka dan luas kata Vaclav Havel. Tidak sempit, dan memiliki visi yang lebih panjang, berani memikul tanggungjawab sosial, adalah bagian-bagian penting dari panggilan profesionalisme seorang intelektual.

Ketika banjir melanda, jembatan rapuh luluh dan ambruk, ketidakadilan bertebaran, dekadensi moral merasuk ke semua sisi kehidupan remaja, kesenjangan semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin, dan persoalan-persoalan sosial lainya, kaum intelektual justru sibuk dibalik mejanya. Menata pundi-pundi kekayaan untuk dirinya sendiri. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Sisi Lain Kehidupan Nabi Muhammad

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *