“Agama” Pancasila?

TANGGAL 4 Desember 2021 yang lalu, UIN Suska Riau kedatangan tamu dari Badan Penanggulangan Ideologi Pancasila (BPIP) RI, Jakarta. Hadir Kepela BPIP, Prof. K.H. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D beserta rombongan. Dalam acara ini, Kepala BPIP selain melakukan orasi ilmiah tentang dasar-dasar Pancasila bagi warga Bangsa, beliau juga meresmikan Lembaga Studi Agama dan Pancasila (eLSAP) UIN Suska Riau.

Ada yang menarik dari kegiatan ini. Beberapa peserta yang hadir “mencurigai” akan adanya proses doktrinasi dan pelemahan atas sikap beragama. Kecurigaan ini muncul, dalam dugaan saya, bisa saja didasarkan pada Pertama, karena “sosok” Prof. Yudian sendiri sebagai kepala BPIP yang selama ini dianggap cukup kontraversi. Figur Prof. Yudian memang memiliki daya tarik tersendiri dalam dunia akademik, karena kecerdasan beliau, cukup membuat hati K.H. AR. Fachruddin, tertarik dan menjadikan Prof. Yudian masuk dalam keluarga besar K.H. AR. Fachruddin, ketua Muhammadiyah pada saat itu. Di antara kontraversi yang muncul dari Prof. Yudian adalah pernyataan beliau bahwa “Agama musuh Pancasila” dan gagasan terkait Salam Pancasila sebagai ganti assalamu’alaikum.

Kedua, kecurigaan terhadap kegiatan ini, bisa jadi juga karena munculnya Lembaga Studi Agama dan Pancasila (eLSAP) yang diresmikan oleh Prof. Yudian. Lembaga yang sudah diusulkan sejak bulan September yang lalu ini, “dicurigai” akan menjadi lembaga baru di UIN untuk melakukan doktrinasi nilai-nilai Pancasila di kampus. Penyandingan istilah agama dan Pancasila dalam penamaan lembaga ini, memunculkan stigma bahwa agama akan dipaksa melebur ke Pancasila atau sebaliknya. Setidaknya mereka mempertanyakan kenapa agama dan pancasila disandingkan?

Pada kasus yang pertama, sesungguhnya Prof. Yudian sudah mengklarifikasi terkait pernyataan agama musuh terbesar Pancasila tersebut. Di beberapa tempat beliau menjelaskan bahwa Pancasila merupakan dasar Negara yang telah disepakati bersama, konsensus dari semua agama. Namun demikian, ahir-ahir ini, sebagian umat yang mengaku beragama, justru menafsirkan lain sesuai dengan kepercayaan kelompoknya. Sehingga, muncul anggapan bahwa Pancasila menjadi “penghalang” atas tegaknya sebuah system yang diyakini oleh kelompok agama tertentu sesuai dengan pesan-pesan agama mereka.

Saya kira di sini persoalannya. Ketika Pancasila sudah menjadi consensus bersama para pendiri bangsa ini, kemudian ada upaya untuk mendelegitimasinya, maka ia menjadi bagian dari pemberontakan atau penghianatan. Sebagaimana Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menginginkan Komunisme sebagai pengganti Pancasila.

Sementara terkait dengan usul Prof. Yudian tentang salam Pancasila merupakan bentuk “ijtihad” untuk menumbuhkan kembali semangat kebangsaan, juga sebagai upaya menguatkan kesatuan dan persatuan bangsa yang hari ini sedang digerogoti oleh virus intoleransi. Sebagai bentuk ikhtiar, upaya-upaya simbolik maupun substantive untuk mengarusutamakan nilai Pancasila, sangat penting dilakukan.

Kondisi semakin lemahnya imun kebangsaan masyarakat kita hari ini, menuntut untuk terus menyalakan kembali kesadaran berpancasila. Alih-alih untuk menghidupkan nilai Pancasila, tidak jarang ketika mendiskusikan Pancasila, selalu disandingan dengan agama yang diyakini oleh mayoritas warga bangsa ini. Dugaan saya, mereka sedang mengesankan bahwa Pancasila telah dianggap “tidak mampu” memberikan makna bagi kesejahteraan dan perdamaian dalam proses berbangsa dan bernegara saat ini. Masih meluasnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur Negara, maupun yang dilakukan oleh masyarakat sipil, menjadi alasan mereka untuk “menggugat” Pancasila. Dengan system yang diciptakan Tuhan, maka Negara akan makmur dan adil, kira-kira begitu argumentasi mereka.

Atau ada kecurigaan yang lebih besar lagi, yaitu ingin menjadikan Pancasila sebagai agama. Agama Pancasila. Sedangkan kelompok lainnya, juga memiliki ketakutan yang sama, bahwa agama bisa menggantikan Pancasila sebagai ideology bangsa. Pada konteks ini lah, Pancasila dan Agama hanya dipahami sebagai sebuah praktik saja, bukan substansinya.

Agama dan Pancasila difahami dalam konteks symbol saja. Padahal, betapa banyak tulisan, artikel, buku, yang mengulas secaa mendalam, bahwa sila-sila Pancasila selaras dengan nilai-nilai agama (wahyu sebagai sumber pengetahuan) dan sebaliknya. Artinya, Pancasila merupakan sari pati etika agama yang objektif dan universal.

Argumentasi terkait dengan makin banyaknya penyimpangan yang terjadi karena Pancasila, sesungguhnya menunjukkan bahwa dalam agama juga mengalami hal demikian. Banyak juga orang beragama yang kemudian melakukan kekejian dan kedhaliman. Karena memang, dua sisi ini, baik dan buruk, sudah dianugerahkan kepada manusia. Sehingga, sampai kiamat pun penyimpangan perilaku akan terus terjadi. Perdebatan ini, tentu tidak akan ada ujungnya. Oleh karenanya, jangan memahami Pancasila dan Agama pada sisi perilaku atau praktiknya. Tetapi pada substansinya.

Bahwa agama dan Pancasila memiliki konsepsi yang sama-sama inklusif, terbuka, bukan eksklusif, tertutup. Singkatnya, baik agama dan Pancasila, keduanya harus dimasyarakatkan sebagai ilmu yang inklusif bukan ideologi yang eksklusif. Manifestasi Pancasila sebagai ideologi terbuka dan Islam sebagai agama yang inklusif akan menjalin relasi yang ilmiah, terbuka dan objektif. Agama bukanlah musuh Pancasila dan sebaliknya.

Keduanya saling mengisi ruang publik dengan nilai-nilai keadaban. Sebagai common sense, Pancasila menjadi payung bersama yang menaungi semua golongan agama, ras, dan suku dalam ikatan kebhinnekaan dalam berbangsa dan bernegara. Sedangkan, agama menjadi pilar dasar bagi tegaknya rumah Pancasila. Wallahu A’lam bi Al-Shawab. ***

Baca : Perempuan dan Sex

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *