Emak

Bang Long

Bismillah,
Selamat Merayakan Hari Ibu, 22 Desember

KITA semua punya Emak. Apa yang terbayang ketika kita membaca atau mendengar kata Emak? Akankah kita terbayang surga? Mungkinkah ada di antara kita yang tidak membayangkan surga? Akankah kita terbayang kasih sayang sepanjang jalan? Atau mungkinkah ada di antara kita yang tidak merasakan kasih sayangnya? Lalaikah kita mengingat Emak? Sudahkah menjadi anak berbakti atau jangan-jangan kita telah mendurhaka?

Kita sering mendengar Surga terletak di bawah telapak kaki Ibu. Kalimat bersayap ini memberikan marwah kepada Emak. Marwah tertinggi. Kalimat ini menganjurkan kita agar senantiasa memuliakan Emak. Kemuliaan orang tua kandung perempuan kita ini tidak bisa dibandingkan dengan harta seisi dunia bahkan dengan nyawa sekali pun. Seorang anak tidak ‘kan sanggup membayar kemuliaan Emak. Emak laksana malaikat bagi kita sebagai anak. Karena kemuliaan itulah, Rasulullah Sallallahu Alaihi wa sallam menegaskan sampai tiga kali siapa yang patut kita hormati, yaitu Emak, Emak, Emak. Kemudian, Abah.

Bagi saya, Emak adalah perempuan rembulan. Perempuan rembulan di musim kembang/Seharum percung siang-malam/Pada pulau hati rumah sederhana/Mengayun cangkul rindu, menyemai senyum/Mencumbui kebun-kebun pada wangi subuh/Bercahaya//Perempuan rembulan di musim neraka/Menimba air surga dari sungai Taala/Menyimbah kasih, mengilap sayang/Debu-debu liar disapu rasa/Sejuk berkilau di rumah cinta/Hilang dahaga/Perempuan rembulan di malam buta/Nyalakan pelita semolek purnama/Indah bersinar di hati keluarga/Senyum merebak seisi kota/Bahagia//Ketika musim cemas tiba/Perempuan rembulan merenangi doa-doa/Agar terlahir anak-anak bintang/dari langit bercahaya rumah cinta sederhana/Tempat harapan ditatang di dulang/dalam balang sayang.

Kita ibarat debu atau tanah yang menempel di bawah telapak kakinya. Begitulah kaedahnya. Kita senantiasa kecil meskipun telah menjadi orang besar di luar sana. Kita sering disibukkan dengan beragam pekerjaan. Kadang kita lalai menyibukkan diri dengan Emak. Padahal, kita menjadi orang besar dan dilimpahi rezeki berlebih berkemungkinan karena doa Emak. Hal sebaliknya terjadi berkemungkinan karena kita tidak memuliakannya. Memuliakan Emak dan Abah mengundang kemuliaan dan rahmat dari Allah Taala.

Lalu, ada pula kalimat Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Kasih dan sayang Emak tidak berbatas. Laksana jalan, kasih sayang Emak tidak mengenal ruang dan waktu. Di mana dan kapan pun, kasih sayang Emak tak pernah putus. Seperti jalan, kasih sayang Emak selalu bercabang. Jika jalannya buntu, ia akan selalu ada peluang untuk membuka jalan lain. Jalan juga bisa dimaknai sebagai cara Emak kita menyemai kasih sayangnya. Dengan kasih sayangnya, Emak dan Abah tak pernah lalai mendidik kita mengeja hari, mengejar mimpi, dan menjadi pemberani. Kita akan menemukan betapa Abah dan Emak telah menjadi pelita selama hidup dan matinya. Betapa Emak dan Abah telah menanam rasa cinta begitu mendalam, arti senyuman, makna kerinduan, dan bagaimana menyeka air mata. Mari kita jemput rida Allah dengan rida Emak. Mari kita undang mulia Allah dengan memuliakan Emak. Mari berdoa masuk ke surga Allah dari telapak kaki (memuliakan) Emak. Segalanya dari kasih sayang Emak.

Dalam Tunjuk Ajar Melayu, kata Ibu (Emak) pun didahulukan. Bangsa Melayu menempatkan Emak pada junjung jemala kemuliaan tertinggi. Sikap untuk menaati orang tua, terutama Emak merupakan hal utama setelah Allah dan Rasulullah. Ini dapat kita pahami dalam beberapa kutipan berikut. Apa tanda Melayu jati/kepada ibu bapa ia berbakti. Apa tanda Melayu jati/menaati ibu bapa sepenuh hati. Apa tanda Melayu pilihan/Ibu bapanya ia utamakan. Apa tanda Melayu pilihan/Ibu bapanya ia muliakan. Selain itu, dalam bentuk syair ada dituliskan Wahai Ananda kekasih Bunda/Jangan durhaka kepada Ibu Bapa/Tunjuk ajarnya janganlah lupa/Supaya hidup aman sentosa.

….
Bunda,
Ada cinta seluas surga, air mengalir di bawahnya
Merayap dari pintu-pintu rahimmu
Lalu, membawaku terbang laksana elang
Menguasai gelombang-gelombang
di lepas lautan
Setanding kasih kujunjung padamu.
….

Mari kita memuliakan Emak (dan Abah) setiap hari.

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 16 Jumadil Awal 1443 / 21 Desember 2021

*) Musa Ismail seorang ASN di Disdik Bengkalis, dosen, dan sastrawan. Karyanya adalah kumpulan cerpen Sebuah Kesaksian (2002), esai sastra-budaya Membela Marwah Melayu (2007), novel Tangisan Batang Pudu (2008), kumpulan cerpen Tuan Presiden, Keranda, dan Kapal Sabut (2009), kumpulan cerpen Hikayat Kampung Asap (2010), novel Lautan Rindu (2010), kumpulan cerpen Surga yang Terkunci (2015), dan novel Demi Masa (2017). Pernah meraih Anugerah Sagang kategori buku pilihan (2010) dan peraih Anugerah Pemangku Prestasi Seni Disbudpar Provinsi Riau (2012). Puisi-puisinya terjalin dalam beberapa antologi karya pilihan harian Riau Pos, antologi Setanggi Junjungan (FAM Publishing, 2016), antologi puisi HPI Menderas sampai ke Siak (2017), Mufakat Air (2017), Jejak Air Mata: Dari Sitture ke Kuala Langsa (Jakarta, 2017), Mengunyah Geram: Seratus Puisi Melawan Korupsi” (Jakarta, 2017), Dara dan Azab (Malaysia, 2017), Kunanti di Kampar Kiri (Pekanbaru, 2018), Jazirah (Tanjungpinang, 2018). Kumpulan puisi perdananya bertajuk Tak Malu Kita Jadi Melayu (TareBooks, 2019). Pada 2019 juga, terbit bukunya berjudul Guru Hebat (Tarebooks). Pada 2020, terbit buku esainya yang berjudul Perjalanan Kelekatu ke Republik Jangkrik (Tarebooks, 2020) dan novel Sumbang (dotplus, 2020). Dia masih terus belajar menulis.

Baca : Selendang Dunia

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *