Kekerasan pada Perempuan

Pemuda

KETIKA terjadi tindak kekerasan, maka perempuan selalu berada pada posisi yang menjadi korban. Orang-orang yang tidak berdaya, akan dapat dipastikan menjadi korban. Masa-masa “sunyi” karena Pandmi Covid-19 saat ini, pun tidak pernah sepi dari aksi-aksi kekerasan. Justru, diruang-ruang keluarga, kekerasan terhadap kaum perempuan semakin menunjukkan angka yang semakin tinggi. Pada tahun 2020, kasus kekerasan kepada perempuan mencapai 299.911 kasus. Kasus ini, jauh lebih rendah ketimbang di tahun 2019 yang mencapai 431.471 kasus. Namun demikian, dalam catatan Komnas Perempuan bahwa para perempuan yang mengadu ke Lembaga ini telah mencapai 2.389 pada tahun 2020. Sedangkan pada tahun 2019, jumlah perempuan yang mengadu kepada Komnas perempuan, hanya 1.413. Adapun Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa lebih dari 8 ribu aduan terkait tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak selama periode tahun 2021. Mirisnya lagi, aduan kekerasan terhadap perempuan ini, justru berada pada wilayah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Meski data itu begitu menguat dan menjadi perhatian bagi pemerintah untuk terus menekan angka kekerasan atas perempuan, namun salah seorang pendakwah Islam menyebutkan bahwa KDRT tidak perlu dilaporkan, karena itu akan membuka aib suaminya. Dengan menutupi aib suaminya itu, sang penceramah menceritakan sang suami akhirnya makin sayang dan cinta kepada istrinya. Diahir ceramahnya, ia menyarankan tidak perlu melaporkan kekerasan yang dilakukan kepada suaminya kepada orang lain atau pihak yang berwajib.

Kekerasan dalam rumah tangga itu seperti apa sih? Merujuk dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 bahwa bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga terutama terhadap perempuan mempunyia ragam wajah dan model; Mulai dari kekerasan fisik, psikologis, ekonomi sampai kekerasan seksual.

Pertama, Kekerasan fisik. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak sepertibilur-bilur, muka lebam atau bekas luka lainnya.

Kedua, Kekerasan psikologis/ emosional.Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis berat pada seseorang.

Ketiga, Kekerasan seksual. Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri dan tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

Keempat, Kekerasan ekonomi. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.

Tambahan satu lagi adalah kekerasan simbolik. Ungkapan seorang isteri bahwa “jika nanti suamiku mengizinkan, maka aku akan melanjutkan karirku”, merupakan cerminan dari kekerasan simbolik. Ungkapan ini, sadar atau tidak telah menggiring pada penerimaan akan hubungan dominisasi, perempuan atau isteri patuh dan terima begitu saja.

Kekerasan simbolik ini, akan terus memproduksi pengakuan akan dominasi kekuasaan. Anehnya, hal ini terus berlangsung selama berabad-abad di masyarakat sosial kita. Sehingga ia kemudian dikenali dan diakui dengan baik oleh yang mendominasi dan yang didominasi sebagai sebuah relasi social perempuan dan laki-laki yang lumrah.

Kekuasaan simbolik ini, bisa memaksakan secara sah dengan menyembunyikan hubungan kekuatan, yang memang menjadi dasar kekuasannya. Bourdieu menggunkan istilah teknis, doxa, yaitu sudut pandang penguasa atau dominan yang menyatakan diri dan memberlakuka diri sebagai sudut pandang yang universal. Pada psosisi inilah lalu, penguasaan wacana yang dilakukan oleh laki-laki, menjadikan dominasi laki-laki atas perempuan seakan-akan alamiah dan wajar-wajar saja.

Sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil alamin, Islam sudah sewajarnya menolak perilaku yang bertentangan dengan prinsip kasih sayang (rahmah). Islam sangat mendorong lahirnya prinsip kesetaraan partnership (kerjasama) dan keadian. Jika tujuan perkawinan itu sendiri adalah tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, maka hal-hal yang menimbulkan kerusakan atau mafsadat ketika akan mencapai tujuan itu, maka sudah dapat dipastikan itu adalah perbuatan yang melanggar hukum.

Bagaimanapun kekerasan akan melahirkan kerusakan, dan kasih sayang akan melahirkan kedamaian, ketentraman, dan keharmonisan. Jika masih ada orang yang berpandangan bahwa kekerasan merupakan pilihan paling tepat dalam menyelesaikan sebuah persoalan, lebih-lebih terkait dengan rahmah, kasih sayang, jelas ia menyalahi kodrat rahmatan lil alamin yang menjadi misi Islam itu sendiri. Wallahu a’lam bi al-Shawab.***

Baca : Memperkuat Kebebasan Beragama di Indonesia

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Respon (2)

  1. Artikel yang sangat menarik, juga sebagai fast respon kejadian baru-baru ini.
    Sangat menarik untuk dibahas..
    Wanita akan selalu dipandang dibawah laki-laki “second sex”.
    Setelah ada istilah kesetaraan gender perempuan dari ranah domestik berkeinginan ke area publik dengan maksud agar memiliki kesetaraan dengan laki laki.
    Yaaa apa pun alasan nya itu. Hidup berdampingan dengan saling menghormati satu sama lain akan menjadi lebih indah ditengah perbedaan-perbedaan.
    Sukses selalau buat penulis, senantiasa diberikan kesehatan, keberkahan, dan nekt di tunggu artikel-artikel selanjutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *