Cerpen Faridatul Jamilah: Telanjur Pasrah

MALAM ini hujan kembali datang, menyampirkan sebaris kelam pada rintik yang berjatuhan. Menghadirkan seberkas aroma tanah basah yang menguar lewat tirai-tirai jendela. Sedang di atas sana, hitam masih bersinggasana, menghalangi purnama dari mengintip kekasihnya.

Ah! Kesalnya. Malam ini tampak sama dengan perasaanku. Kosong dan nyaris sunyi. Padahal sudah lama aku mengelana dengan waktu, menduga-duga bahwa segalanya akan sesuai dengan rencana. Hingga aku nyaris lupa, segalanya telah terencana bahkan sampai alur-alurnya. Ya! Tuhan adalah sebaik-baiknya pembuat rencana dan manusia hanya bisa mengikuti alurnya.

Andai aku diberi kesempatan untuk mengubah segalanya, mungkin aku tak akan terjebak pada gelombang yang membuatku terombang-ambing dalam kebingungan. Memilih jalan mana pun yang aku mau. Tapi lagi-lagi, ini adalah hidup yang memiliki aturannya sendiri. Dan aku, hanyalah tokoh dalam permainan ini.

”Anindita… putriku yang cantik, ibu mohon menikahlah dengannya, kau pasti akan bahagia, Nak,” ujar ibu kala itu, yang masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

Mendengar perkataannya, aku tersentak, terbangun dari mimpi indah yang baru kurajut. Kepalaku tertoleh, mengarah pada seseorang yang ditunjuk ibu lewat ekor matanya. Mimpi-mimpiku luruh seketika, saat kulihat laki-laki itu tersenyum menyeringai ke arahku, tatapannya jahil, matanya yang besar berkedip-kedip genit menggodaku. Dengan refleks, aku menggeleng, menyatakan ketidaksetujuanku dengan keputusan ibu.

Seakan mengerti penolakanku, tangan lembut itu mengenggam tanganku, menyentuhku dengan hangat. Lalu dari tatapan matanya yang sayu harapan besar itu tersulur, membuatku bungkam akan kata-kata. Aku ingin membantahnya dan mengatakan bahwa aku keberatan dengan keputusannya. Ingin sekali berteriak bahwa bahagia tak bisa dijamin dengan kata-kata.

Namun, selanjutnya aku hanya diam, mencoba mengalah pada ego yang mungkin saja akan mencabik-cabik perasaan hati seorang ibu. Walau mulut ini, sangat gatal ingin berkata pada laki-laki pilihan ibu. Kepada laki-laki yang tak pernah kuinginkan. ”Aku muak akan sandiwaramu,” tapi lagi-lagi kata-kata itu hanya tertelan di tenggorokanku.

”Ibu, Anin sudah punya pilihan lain, laki-laki yang Anin cintai,” ujarku kalut, merasa kecil hati saat kemungkinan ibu akan menolak keras permintaanku.

Ibu menghela nafas, layaknya menahan beribu-ribu ton beban pada setiap tarikannya, kepalanya menggeleng lemah. Tidak menyerah. Kutumpukan tatapanku pada laki-laki paruh baya yang berdiri tidak jauh dari tempat ibu berbaring. Berharap tatapan permohonanku diterimanya. Samar-samar, kulihat harapanku mengabur, luruh menjadi serpihan-serpihan tak berwujud, tatkala kepala ayah menggeleng pelan, tanda ia tak setuju keputusanku. Hatiku mendadak beku, bulir-bulir bening yang kutahan di ujung muara mengalir begitu saja, membanjiri pipiku tanpa bisa ku cegah. Aku harus kuat, bisikku dalam hati, mencoba meyakinkan diri.

Dengan tangis yang berderai, kudekati perempuan yang telah melahirkanku ke dunia ini, kupeluk tubuh itu erat-erat, menyalurkan kegundahan perasaanku padanya agar ia mengerti, aku tak akan baik-baik saja.

***

Hari ini, mentari bersinar cerah tampak gagah di atas singgasananya. Lewat jendela kamar, kupandangi burung-burung yang hinggap di dahan pohon. Yang tengah menyambut kemenangannya dengan langit yang tak lagi kelabu. Kemarin, ibu dipulangkan dari rumah sakit, karena keadaannya berangsur-angsur pulih, setelah mendengar kepasrahanku menikah dengan anak laki-laki pilihannya. Laki-laki yang kuketahui bernama Wildan. Laki-laki berparas rupawan yang mahir di segala bidang, kata ibuku, yang terlampau senang mendengar kepasrahanku. Anehnya, aku sama sekali tidak tergoda, karena hati ini telah telanjur mati pada yang lain.

Sejak kejadian di rumah sakit, aku kembali bersekutu dengan sunyi menyepi di dalam kamar. Berkali-kali ibu membujukku untuk keluar atau sekadar memintaku untuk makan, tapi sekuat itu pula aku menolaknya. Gejolak amarah masih menguasai hati, aku takut kataku setajam pedang dan mampu mengkoyak hati siapa pun yang melarang. Aku takut kobaran nafsu kembali melalap habis siapa pun yang menasihati. Takut, kata ini kembali mengahancurkan harapan ibu yang terlampau besar. Karena saat ini, hatiku belum sepenuhnya menerima, rasa sesak dan sesal masih mengelana dalam jiwaku.

”Anin, ada Wildan di luar, temuilah sebentar mungkin ada yang penting,” ujar ibu dari balik pintu, terdengar bersemangat. Aku mendesah, berusaha keras mengahalau emosi yang meluap dalam diriku. Tanpa mempedulikan penampilanku yang awut-awutan aku menemui Wildan. Biar saja dia tau, wajahku yang terlampau jelek ini. Bisa saja kan dia membatalkan pinangannya karena tak ingin punya istri jelek?. Sejenak, aku terkekeh dalam hati.

”Aku ingin membicarakan tentang pernikahan kita,” ujar Wildan, tanpa menatap wajahku.

Seketika tanganku terkepal kuat, menahan gemuruh di dalam dada yang bisa saja meledak menyambar kata. Kupandangi wajah laki-laki di seberangku, berniat mencekiknya lewat tatapan mata. Sia-sia, karena laki-laki itu berpaling terlihat enggan bertegur sapa.

”Sampai kapan kamu harus berpura-pura bahagia? Aku cukup tau kamu memiliki kekasih, lalu untuk apa kamu bertahan dengan hubungan ini? Kenapa tidak kamu hancurkan saja rencananya sebelum menjadi sebuah istana?” tanyaku, mencoba mempertahankan harapanku kembali. Aku tau baru-baru ini ternyata Wildan juga memiliki kekasih. Kepala Wildan tertoleh, tatapannya yang tajam terasa menusuk retinaku, alis hitamnya terangkat, seakan mengatakan ”oh, ya?”. Aku girang dalam hati, menerka-nerka Wildan akan menyetujui ide cemerlang ini.

”Jika kamu mau menghancurkan kebahagiaan orang tuamu, lakukanlah sesukamu. Aku tak mau terlibat. Aku begitu mencintai mereka,” ucap Wildan tenang, tapi cukup mengena di ulu hatiku. Kata-katanya menyadarkanku, mengembalikanku pada langkah awal yang tak harusnya kupijaki. Ini demi orang tua, batinku berteriak, menguatkan hati yang mulai lelah berusaha.

Nyatanya aku kalah sejak awal, telah menilai laki-laki ini dari sisi yang salah. Aku kira, Wildan laki-laki sombong yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Aku kira Wildan laki-laki brengsek yang suka mempermainkan hati. Hingga sulit rasanya menerima, ketika tau laki-laki di hadapanku lebih peduli dari yang aku kira. Ia rela mempertaruhkan kebahagiaannya demi orang tuanya. Sedangkan aku? Apa yang aku berikan selama ini pada mereka? Selain tangis dan kecewa, luka dan air mata. Kapan aku akan berbakti dalam hidup yang singkat ini?

***

Sore ini, aku duduk seorang diri di kursi taman. Mengisi kekosongan dengan melepas penat yang tertupuk dalam pikiranku. Kulihat di sekitar sudah mulai sepi karena malam sebentar lagi akan datang, menjemput matahari untuk kembali pada peraduannya. Tiba-tiba tubuhku membeku, tatapanku terpaku pada sosok yang menjulang tinggi di hadapanku. Ya! Ia adalah Ramdzan, mantan kekasihku. Sudah seminggu ini aku menghindarinya, berusaha melupakannya. Namun kini, ia berdiri di hadapanku dengan wajah pucat dan mata yang memerah. Sejenak kutemukan keputusasaan yang tersirat dari tatapannya.

”Maaf, telah mengecewakanmu,” kataku tanpa berani menatapnya.

Ia tetap berdiri, tangannya mengusap wajahnya dengan kasar, tampak frustasi. ”Aku pasti melakukan yang sama, jika berada di posisimu,” ujar Ramdzan setelah menghela nafasnya dalam-dalam.

Aku terperangah, menatapnya dengan kebingungan. Kukira ia akan marah lalu menghujatku ”tidak berperasaan”, setelah apa yang aku lakukan padanya. Memutuskannya secara sepihak.

”Percayalah, di dunia ini, tidak ada orang tua yang akan menjerumuskan anaknya dalam penderitaan. Dan kamu harus bahagia dengan pilihanmu,” ujar Ramdzan, lalu berlalu dari hadapanku. Saat aku berniat mengejarnya, kakiku mendadak kaku, tubuhku gemetar melihat seseorang yang seminggu ini telah berhasil menguras emosiku. Tanpa sadar, aku berubah haluan mengejar Wildan yang tengah berjalan menuju rumahku.

Perasaanku semakin resah, melihat ibu berdiri di ambang pintu seraya tersenyum menyambutku dengan Wildan. Aku terpaku di ujung jalan, menyaksikan Wildan yang berbincang-bincang dengan ibu. Hatiku mendadak ragu untuk melangkah lebih jauh, menduga-duga apa yang dibicarakan Wildan dengan ibu.

”Bagaimana jika laki-laki itu mengadu pada ibu perihal pertemuanku dengan Ramdzan?”

”Bagaimana jika laki-laki itu membatalkan pernihkahan ini?”

”Bagaimana jika ibu kembali sakit?”

Terlalu lama menduga-duga, hingga aku tidak sadar Wildan telah hilang dari pandanganku. Punggung laki-laki itu semakin mengecil ditelan malam. Namun kegelisahan masih melandaku, menyergapku diam-diam. Saat aku berpaling, di sana, di ambang pintu ibu tetap dalam posisinya tersenyum lebar ke arahku. Ya Tuhan… untuk kali ini saja, aku ingin menjadi satu-satunya alasan ibu tersenyum selebar itu. ***

Annuqayah, 2021

*) Cerpen ini sudah ditayangkan radarbanyuwangi.id edis 5 Maret 2022

——————
Faridatul Jamilah, lahir di Keles, Ambunten, Sumenep, Madura. Alumnus Pondok Pesantren Nurul Muchlishin Pakondang, Rubaru, Sumenep. Saat ini mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Annuqayah As-Syafiiyah. Aktif di Komunitas KARTEKAH.

Baca : Cerpen Dedi Wahyudi: Lelaki Separuh Baya di Simpang Empat

*** Laman Cerpen terbit setiap hari Minggu dan menghadirkan tulisan-tulisan menarik bersama penulis muda hingga profesional. Silakan mengirim cerpen pribadi, serta terjemahan dengan menuliskan sumbernya ke email: [email protected]. Semua karya yang dikirim merupakan tanggunjawab penuh penulis, bukan dari hasil plagiat,- [redaksi]

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *