Kezaliman

Pemuda

SUATU ketika Nabi yang mulia, bertanya kepada para sahabatnya, Tahukah kalian, siapakah orang yang muflis (bangkrut) itu? Karena tidak tahu apa yang dimaksud oleh Nabi, para sahabat pun menjawab, “Menurut kami, muflis itu adalah orang yang tidak mempunyai harta benda”. Jawaban ini, tentu bukanlah yang dimaksud oleh Nabi. Seraya meluruskan jawaban mereka itu, lalu Nabi menjelaskan bahwa “yang muflis di antara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal-amal shalat, puasa, dan zakat. Tetapi, ia pernah mencaci, menuduh zina, merampas harta, merampas hak-hak sesama, membunuh, dan memukul orang lain. Maka pahala kebajikan orang tersebut akan diberikan–sebagai tebusan–kepada orang-orang yang dizaliminya itu. Dan, apabila kebajikannya sudah habis, sementara kesalahan-kesalahannya belum semua tertebus, dosa orang-orang tersebut akan ditimpakan kepada orang tadi. Kemudian, ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim).

Dialog di atas, penuh dengan insight, pencerahan. Kejahatan kemanusian, jika boleh saya sebut demikian, yang kita lakukan hari ini, akan menjadi beban “hutang” yang mesti kita tanggung dikemudian hari. Kejahatan kemanusiaan ini, tentu menjadi sebuah kerumitan yang tidak bisa dielakkan, tersebab ia akan berkait-kelindan dengan mau tidaknya sesama insan ini saling memaafkan ketika di dunia, jika tidak, tunggulah masanya di ahirat kelak. “Barangsiapa berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka mintalah kehalalannya darinya hari ini juga sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada. Jika ia punya amal saleh, maka amalannya itu akan diambil sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya.” (HR Bukhari). Begitu sabda Nabi.

Dan ingatlah bahwa “…janganlah sekali-kali engkau menyangka Allah lalai dari apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari di mana pandangan-pandangan terbelalak.” (QS Ibrahim: 42). Ini janji Allah kepada umat Islam yang melakukan kezaliman di muka bumi. Artinya, balasan Allah bagi mereka yang berbuat zhalim adalah sebuah kemestian.

Oleh sebab itu, jangan lah engkau persulit urusan saudaramu, bahwa “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).

Di antara posisi yang membuka peluang besar bagi manusia untuk melakukan kezaliman adalah pemimpin, pejabat, atau orang-orang yang diberikan amanah selangkah lebih tinggi daripada yang lain. Kenapa demikian? Karena ia berhubungan dengan manusia lain di bawahnya. Ia bisa melakukan control. Ia bisa “merubah taqdir” Tuhan atas orang-orang di bawahnya. Ia bisa merubah hukum kausalitas, sebab-akibat. (Loh kok bisa?)

Seorang pemimpin atau pejabat tentu memiliki kewenangan-kewenangan yang sudah ditetapkan sedemikian rupa. Kewenangan itu sendiri sesungguhnya merupakan kekuasaan yang bisa melakukan “apa saja” dalam melaksanakan kepemimpinannya. Ketika ia mengeluarkan kebijakan terkait dengan kewenangannya itu, ternyata tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, maka Ia sedang merubah “alur taqdir” Tuhan. Ia telah merubah hukum “sebab akibat”. Seseorang yang selayaknya menerima sesuatu karena prestasi dan lainnya, harus tersenyum pahit, karena kewenangan pimpinan.

Misal konkrit lainya adalah bahwa berdasarkan undang-undang atau ketentuan lain menyebutkan seseorang yang bekerja pada unit tertentu akan memperoleh hak-haknya sedemikian rupa. Ini merupakan “kodrat” yang selayaknya harus diterima oleh mereka yang bekerja pada unit itu. Lalu dengan alasan tertentu, sang pimpinan menganulir di antara hak-hak yang seharusnya diperolehnya itu. Atau kasus lain misalnya, bawahan yang semestinya akan atau bisa melakukan sesuatu, bisa tidak berlaku, karena kebijakan pimpinan. Atau bawahan yang tidak selayaknya ditakdirkan untuk tidak melakukan sesuatu, bisa melakukan sesuatu itu, karena perintah pimpinannya.

Ini lah yang saya sebut bahwa pemimpin dengan kekuasaannya telah “merubah takdir” Tuhan. Sebagaimana Umar bin Khatab yang dengan “kekuasaannya” mampu merubah “taqdir” Allah pada peristiwa perjalanan menuju Syam. Umar dan rombongan, kembali ke Madinah karena ada wabah penyakit yang menular di Syam. Kembalinya Umar ini, dianggap sebagai upaya pengalihan “Taqdir” Allah itu.

Dalam terminologi Weber, seorang pemimpin memang memiliki “legitime herrschaf”, yang biasa diterjemahkan sebagai “kekuasaan” atau “dominasi yang absah”. Kekuasaan ini, di antaranya adalah kemampuan memaksakan disiplin dan penggunaan sanksi-sanksi yang memaksa. Proses pemaksaan ini lah yang kemudian menjadi area yang sangat rentan terhadap perilaku-perilaku kezhaliman.

Begitulah peran berat yang dimiliki seorang pemimpin atau pejabat, ia akan menanggung beban berat atas apa yang dipimpinnya, dan itu akan ia peroleh kelak di ahirat. Sebegitu berat beban yang akan dialami oleh seorang pejabat, namun di kampungku, yang terkenal dengan para ilmuannya itu, justru jabatan menjadi “Tuhan”, sesuatu yang sebisa mungkin harus direbutnya, menjadi miliknya…….. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Islam Wasathiyyah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews