Pulang

Bang Long

Bismillah,
Seperti pinang pulang ke tampuknya, seperti sirih pulang ke gagangnya, begitulah kata peribahasa. Sesuatu sudah pada tempatnya. Pulang merupakan proses sesuatu untuk berada pada tempatnya. Semua orang ingin dan akan pulang. Seseorang pulang mungkin karena diajuk rindu dendam. Mungkin juga seseorang pulang sebab sunyi, sepi, dan ngilu. Tidak mustahil kita pulang tersebab janji yang terlukis. Cinta pun bisa melambai kita untuk segera pulang. Bahkan, dendam mampu menghanyutkan darah untuk bergegas pulang. Juga bisa saja orang pulang karena kehilangan. Kampung halaman, tanah kelahiran pun bagaikan daun nyiur dihembus angin di tepi pantai. Pulang pun mengajak kita untuk senantiasa mengoreksi diri dari dan belajar dari masa lalu (sejarah) seperti dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.

Pulang merupakan tradisi semesta, bukan cuma milik pengelana. Pulang adalah dedaunan yang gugur ke tanah. Pulang adalah anak yang kembali ke rumah. Pulang adalah insan yang ingin bertemu Allah Taala. ”Engkaulah kandil kemerlap/ Pelita jendela di malam gelap/ melambai pulang perlahan/ Sabar, setia selalu,” begitu larik-larik puisi Amir Hamzah bertajuk Padamu Jua. Ada cahaya yang melambai kita untuk pulang. Ada kesabaran dan kesetiaan bersemayam dalam pulang.

Penyair perempuan Indonesia asal Riau, Murparsaulian, menulis kumpulan puisi bertajuk Pulang (Salmah Publishing, Juni 2022). Kumpulan puisi ini memuat 88 puisi. Sebanyak 26 puisi bersuara tentang rindu secara teserlah (eksplisit). Namun, semua nafas puisi Murparsaulian ini bernyanyi tentang kerinduan secara semesta. Puisi-puisi pilihan ini ditulis di Enschede (Perth), Keukonkof, Puncak Alpen Swiss, Switzerland, Paris, Andalusia, Leiden, Den Haag, Sevilla, dan Amsterdam yang bertarikh antara 2008 hingga 2020. Tentu saja lokasi dan tarikh penulisan yang tercatat di bawah setiap puisi merujuk kota atau negara yang pernah dikunjungi atau ditempati oleh penyair perempuan yang pernah berprofesi sebagai pemberia di Harian Riau Pos (1998-2001) dan Riau Televisi (2001-2016) ini. Di dalam karyanya ini, ada ulasan oleh Prof. Yusmar Yusuf dengan tajuk Kelopak Langit Si Uli Bungsu.

Secara psikologi, pulang sangat dekat dengan rindu, cinta, sepi, dan sunyi. Diksi ini menjadi khusus dalam puisi-puisi Mur (sapaan buat Murparsaulian). Rindu, sepi, atau sunyi membuncahkan jiwa untuk bergegas pulang. Paling tidak, ada beberapa hal berkaitan dengan peristiwa pulang dalam kumpulan puisi ini. Pertama, pulang karena rindu dan cinta kepada orang tua. Kenangan bagaimana kasih sayang orang tua mendidik dan mengasuh dirinya begitu kuat melekat pada diri Mur (tentu siapa pun). Rindu dan cinta kepada orang tua ini dapat kita temukan dalam puisi Musim Gugur Pertama dan Gigil Musim Dingin.
….
Dodoimu, ibu
terus terngiang
memanggilku untuk pulang
di sekat-sekat waktu
rindu terus bertalu

Masih adakah titian cinta
yang bisa menuntunku kembali padamu? (puisi Musim Gugur Pertama, h.32).
Pada puisi Musim Semi Corona, kerinduan dan keinginan pulang Mur berbancuh dengan pengaduan kepada Tuhan untuk diberikan kekuatan dan harapan: Maafkan aku Ibu,/ aku belum bisa pulang/ rindu yang mendudu tumpah di sajadah/ bersama air mata doa/ Tuhan, berikan aku kekuatan/ agar tetap dapat berdiri melawan sunyi/ berikan kami keyakinan/ bahwa esok masih ada mentari (h.54).
….
Jika salju turun lagi
itu adalah pertanda
bahwa aku begitu rindu
bersenda gurau denganmu
Ayah (puisi Gigil Musim Dingin, h. 48).

Kedua, pulang bermakna kembali merujuk sejarah untuk membangun jatidiri. Puisi Menakar Ingin mengajak kita untuk merasakan bagaimana biru hati memendam rindu, menelisik jalan pulang. Sosok tokoh perempuan yang dirindukan dalam puisi ini adalah Tun Irang (Tengku Tengah) dalam sejarah imperium Melayu Riau-Johor-Pahang: Maknailah perjalanan hidup Tengku Tengah/ begitu kuat ia menepis gundah/ tak kenal kata pasrah/ tak pernah menyerah/ tak hendak kalah/ Ia telah mengubah haluan sejarah (h. 64). Selain Tun Irang, tercatat pula nama-nama besar bangsa Melayu, yaitu Tun Teja, Sang Sapurba, dan Raja Ali Haji: aku tak pernah berhenti mencintai mu sebagai puisi (h. 94). Tokoh Hang Tuah pun menjadi nostalgia rindu dalam puisi Musim gugur Hang Tuah (h. 127).

Ketiga, pulang bermakna kembali kepada kejujuran. Mur ingin menegaskan bahwa lingkaran kekuasaan sepatutnya istikamah dengan kejujuran. Kata Ali bin Abi Thalib, ada tiga hal yang diperoleh dari kejujuran, yaitu kepercayaan, cinta, dan rasa hormat. Bahkan, kata Beliau, kejujuran itu lebih besar harganya daripada harta benda yang diwariskan oleh nenek moyang. Tentu saja lawannya ketidakjujuran. Ketidakjujuran adalah napas-napas bisu dan belenggu.
….
di tengah ego penguasa
di jejak tapak tapak dusta
biarkan aku menulis kejujuran
yang hanya kutemui di negeri puisi (puisi Kau sebagai puisi, h. 94).

Keempat, pulang bermakna rindu ingin mengingat Tuhan. Mur menuliskan inginnya selalu mengingat Tuhan dalam Nadir selepas takbir. Inilah bukti bahwa dirinya sebagai manusia ciptaan Tuhan (tentu saja Allah Azzawajalla). Begitu kuat kerinduannya kepada Tuhan, kerinduan yang bertalu-talu, menggugah sepanjang waktu, dan begitu membuncah hingga menganak sungai. Inilah pencarian dan keinginan dekat dengan kehadiran Tuhan. Bahwa ini merupakan suatu pergulatan dan perjuangan yang harus ia menangkan dalam memperoleh rahmat Ilahi.
….
Tuhan,
masih saja sunyi menanti
menyusur jejak sepi
mencari-Mu di segala sisi hati
dekaplah aku dalam gugu yang ngilu
sungguh aku tak ingin kalah
bawa aku dalam ingin yang pasrah
Menuju-Mu (h. 98).

Kelima, pulang karena rindu kepada saudara. Air dicincang tak ’kan putus, begitulah leluhur kita berumpama. Bagaimana pun tali persaudaraan keluarga (adik beradik) merupakan tali abadi. Dicincang bagaimana pun, tali persaudaraan itu tak mungkin putus secara hakikat. Rindu tak bertabir merupakan puisi yang ditujukan Mur kepada abang kandungnya, Samson Rambah Pasir, yang juga penyair Indonesia yang bermastautin di Batam, Kepulauan Riau. Mur melukiskan bahwa kerinduan kepada saudara itu tak bertabir, tanpa batas meskipun sekulit ari. Bahkan, kerinduan ini juga dikhususkan oleh Mur terhadap kampung halamannya, yaitu Pasir Pangaraian yang dimetaforakannya dengan pulau pasir itu.
….
Di bebatuan tak berair
kutulis rindu tak bertabir
seperti air yang mengalir ke hilir
segunung kata terucap dari bibir
mengubin kata di kamus anak-anak pasir
….
Rinduku padamu dan pulau pasir itu
melaung panjang di semua pintu
lekat di panggung Sydney opera house
terpentaskan pada setiap opera
tentang beribut cerita (h. 101-102).

Keenam, pulang bermakna rindu pada janji. Mur menuntut janji pemimpin dalam puisi Menjunam Janji. Penyair melukiskan betapa pucuk negeri berada dalam riuh air yang keruh. Puisi ini mempertanyakan kepemimpinan dan janji manis pemimpin. Janji selalu menghadirkan resah, lalu muak, meskipun mesti menyulam sabar. Kata Imam Syafii, ada lima pilar kepemimpinan, yaitu perkataan yang benar, menyimpan rahasia, menepati janji, senantiasa memberi nasihat, dan menunaikan amanah.
….
Pulanglah!
simpan sebaris janji
aku dan rakyat-rakyatmu telah letih menyulam sabar
….
pada siapa kukirim rindu ini (h. 153-154).

Ketujuh, pulang bermakna kembali mengenang persahabatan. Sahabat dekat bisa saja kawan, sejawat, guru, atau teman diskusi. Cahari olehmu akan sahabat/ Yang boleh dijadikan obat. Cahari olehmu akan kawan/ Pilih segala orang yang setiawan, begitu pesan Raja Ali Haji dalam Gurindam Duabelas, Pasal Keenam, Ayat 1 dan 4. Ada empat puisi yang khusus ditujukan kepada sahabat, sejawat, guru, atau teman diskusi sebagai obat dan setiawan. Puisi Badai Biru tengah malam ditujukan kepada HJ (Hasan Junus) seorang sastrawan dan budayawan: Menangguk mimpi/ di gigil sepi/ Akh, adakah rindu tetap bersenandung/ di antara gelombang hati yang sunyi/ seakan hendak pergi (h.73). Puisi Rapsody Kedidi dikhususkan kepada RDK (Rida K Liamsi) juga seorang sastrawan dan budayawan: Pinjamkan aku Tempulingmu/ untuk menusuk kehilangan/ agar aku tahu di lubuk dalam mana/ akan kutuliskan rinduku (h.83). Puisi Duka Andalusia dikhususkan kepada YY (Yusmar Yusuf). Puisi ini beraroma filsafat karena YY seorang fenomenolog, budayawan, dan filosof. Mur berbicara tentang lokasi dan tokoh seperti tanah Alhambra, Andalusia, Abu Abdillah, Ratu Isabella, Raja Ferdinand, Afrika, semenanjung Iberia, Granada, Cordoba, Ibnu Rusyd. Pada larik akhir Mur menulis, ”kemana hilangnya huruf-huruf para filsuf yang sarat makna?” (h.160). Puisi Nyanyian musim gugur dikhususkan kepada Al Azhar, seorang sastrawan dan Budayawan. Selain tiga nama tersebut, Al Azhar pun termasuk tokoh yang dihormati dan dikagumi di tanah air, khususnya di Riau. Puisi ini seperti dua sisi mata uang. Satu sisi berbicara pulang secara harfiah. Di sisi lain berbicara pulang secara hakikat. Dua tahun setelah puisi ini tertulis, Al Azhar pulang menghadap Sang Khalik. Puisi pun berkisah bagaimana perjuangan Al Azhar terhadap negeri Lancang Kuning ini yang selalu berada dalam badai ketidakadilan. Mur menggantang harapan kepada tokoh-tokoh seperti ini untuk memperjuangkan mimpi yang masih terbengkalai.
Singgah lagi di Leiden
menjemput kenangan
menjejak rindu
dedaunan musim gugur
seakan memanggilmu kembali
….
”Akh, puak yang malang,” katamu
kita masih saja jadi buda di negeri sendiri
di tanah jauh kau simpan keluh
badai asap menggantang negeri
….
ohh itukah Tuanku Tambusai
melambai menyuruh pulang
melanjutkan juang
menuntaskan mimpi yang masih terbengkalai
….
Singgah lagi di Leiden
menjemput kenangan
memupuk rindu
kutitip harap di dadamu’
untuk sebuah perjuangan (h. 1669-170).

Mur menempatkan puisi bertajuk Pulang di bagian terakhir. Ini seperti nak mengabarkan kepada kita bahwa pulang merupakan titik akhir dari perjalanan, kepergian, atau merantau. Melalui puisi yang sekaligus merupakan tajuk buku ini, Mur ingin menyampaikan pesan-pesan religiusitas. Menurut Najib dalam Ratnawati, dkk., religiusitas lebih menunjuk pada suatu pengalaman religius sehingga yang muncul hanya rasa rindu, rasa ingin bersatu, dan rasa ingin bersama dengan sesuatu yang abstrak (2022:2). Religiusitas sudah tentu berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, baik secara nyata maupun tidak. Hawari mengatakan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan melalui ibadah sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci. Lalu, Atmosuwito menambahkan religiusitas sebagai karya sastra berupa penyerahan diri kepada Sang Khalik, kehidupan kemuliaan, perasaan batin yang berkaitan dengan Tuhan, perasaan berdosa, perasaan takut, dan perasaan mengakui kebesaran Tuhan (1987:124).
Bila saatnya datang
saat itulah kau harus pulang
ketika ilalang terus menggelitik riang
ujung jarimu yang mengambang
di antara butiran salju yang mulai hilang (h.183).
Bait awal ini, Mur berpesan bahwa pulang itu suatu keharusan. Kita akan pulang jika sudah tiba masanya. Tidak bisa diundur dan tak bisa dimajukan. Jika sudah tiba saatnya, kita pasti akan pulang, baik dalam kebahagiaan maupun ketika ditimpa kesusahan. Ketika masa pulang telah tiba, kita akan merasakan nyanyian malam yang sunyi dan deru angin yang seakan mati. Kita akan merasakan waktu seakan berhenti dan sunyi merasuk diri.
….
Di antara remah-remah sunyi
aku datang menuju-Mu
membawa gigil rindu
pada subuh yang sayup
pada malam-malam yang diam
Pada larik-larik bait kelima ini, Mur dengan jelas memberikan penegasan tentang pulang. Ke mana hakikat kita pulang. Hakikat pulang adalah datang menuju-Mu, menghadap Ilahi Rabbi dengan membawa segala bekal rindu pada subuh dan malam-malam sebagai simbol ketakwaan kepada Tuhan. Pada bait terakhir, Mur kembali memberikan penegasan tentang waktu pulang.
Akh,
Tak ada yang bisa melarang
bila saatnya datang
saat itulah kau harus pulang.

Jika tiba saatnya, kita akan pulang. Semoga kita pulang dengan bekal yang tak kurang.***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Ahad, 16 Jumadil Akhir 1444 / 08 Januari 2023

Baca: Risalah Jebat

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews