Banteng Bersayap Kupu-kupu Kandung Kedalaman Makna dan Ketajaman Diksi

Prof Dr Dato' Perdana Abdul Malik, M Pd., Guru Besar Bahasa dan Sastra Indonesia/Melayu FKIP Umrah, Tanjungpinang. Salah sorang narasumber pada Diskusi Banteng Bersayap Kupu-kupu di Perpustakaan H Soeman Hs, Pekanbaru.

* Dari Diskusi Literary Karya Mosthamir Thalib

LAMANRIAU.COM, PEKANBARUBanteng Bersayap Kupu-kupu karya literary Mosthamir Thalib mengandung interpretasi kedalaman makna dan ketajaman diksi bila diteroka dari estetika Melayu, kata Prof Dr Drs Dato’ Perdana H Abdul Malik, M Pd.

“Estetika Melayu itu terbagi dua. Pertama, disebut seri pantai, yaitu keindahan terlihat dari dekat secara duniawi, zahiriah, bentuk, dan fisik. Kedua, seri gunung, yaitu keindahan terlihat dari jauh, yaitu secara ilahiah, batiniah, dan makna,” tambah guru besar Univeritas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Tanjungpinang ini pada diskusi literary buku Banteng Bersayap Kupu-kupu (BBK) di Perpustakaan Wilayah Riau, H Soeman Hs, Pekanbaru (24/6).

Menurut Abdul Malik, dalam diskusi yang ditaja Komunitas Riau Sastra ini, style khas penulisan Mosthamir dalam BBK sangat terasa, kritik dibungkus dalam gaya jenaka khas seniman Melayu.

“Style-nya ini tidak bisa ditiru. Sangat khas. Memang tiap orang punya style masing-masing tetapi yang punya style macam ini – jenaka kritis khas Melayu – jarang-jarang. Apalagi ogam-nya – intro penyemangat – Mosthamir di dalam puisi-puisi ini muncul tidak begitu saja, tetapi juga jadi penyambung rentak – bila dibacakan, sekaligus peluasdalamkan makna.”

Selain Abdul Malik, M Pd., pada diskusi yang dipandu Listi Mora Rangkuti ini tampil juga secara langsung sebagai narasumber Dr Husnu Abad M Humi dari Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Dr Muchid Albintani, M Phil., dari FISIP Unri, keduanya dari Pekanbaru. Sedangkan Assistant Professor Dr Bambang Suhartono bin Mohd Said – yang hadir secara virtual – datang dari Southern University College, Johor, Malaysia. Dari peserta tampak hadir beberapa tokoh Riau dan seniman daerah ini, antaranya Srikandi Riau Azlaini Agus dan dr Diana Tabrani Rab.

Di dalam buku BBK ini memuat enam jenis puisi. Dua jenis tulisan puisi yang baru diperkenal penulis, artikeliris dan igal-igalan. Lalu puisi bebas atau puisi baru. Kemudian puisi lama atau klasik berupa syair, gurindam dan talibun yang mendapat sentuhan inovasi.

Pada ragam puisi artikrlitis yang baru diperkenalkan di dalam antologi ini terdiri atas empat puisi tetapi sudah memakan tempat 74 halaman buku. “Artikeliris ini penggabungan sekaligus antara prosa lirik, puisi deskriptif, puisi lirik, dan genre puisi klasik Melayu seperti pantun, dan peribahasa, bahkan lagu rakyat. Paduan antara kisahan, suasana, dan dialog yang mengalir secara alamiah. Di tempat-tempat tertentu digunakan diksi yang khas, yang membangkitkan indera penikmat. Ada juga ogam yang khas, cenderung menggelitik.”

Puisi artikeliris yang berbentuk panjang ini, menurut Abdul Malik, penulis memadukan sekaligus mengurai beragam bentuk tulisan yang ada di alamnya dan apa yang ditekuninya selama ini. Hal yang ada di alamnya yaitu dia lahir, tumbuh dan berkembang di alam seni budaya Melayu, itu dilihat ada untaian syair, pantun, seloka sampai lagu rakyat Melayu yang menyela-nyela narasi panjang artikelirisnya.

“Kuatnya penulisan artikeliris ini didukung pula apa yang penulis tekuni selama ini, sebagai jurnalis dan penulis rubrik khusus Telatah Wak Atan di Harian Riau Pos – sebuah rubrik cerita jenaka Melayu, yang juga jeli mengkrisi linglungan. Lagi-lagi ini sangat khas style Mosthamir, yang kita tahu sebagai wartawan dia juga pernah mendapatkan Anugerah Adinegoro, malah yang pertama di luar Jawa,” tambah Malik.

Soal puisi igal-igalan, kata Malik dia baru mendengar istilah ini. Tetapi, tambahnya, ini pula kejelian seorang seniman menangkap sastra lisan hari-hari yang hidup di lingkungan masyarakatnya menjadi karya literasi. Puisi yang rentak bersahut-sahutan dan punya tokoh berlawanan ini diberi nama igal-igalan karena ditangkap dari daerah asal puisi lisan ini hidup, yaitu di lingkungan masyarakat negeri Igal Mandah, Inderagiri, Riau.

“Alam Melayu sejati itu hari-hari memang penuh nuansa sastra. Bahasa hari-hari, bahasa tegur sapa selalu saja berkias. Seperti ungkapkan ‘memang beruntunglah budak ini’, maknanya bisa berbeda dari kata ‘untung’ yang diucapkan dengan untung yang dimaksudkan, tergantung konteks dengan situasi dan kondisi.”

Soal syair, gurindam dan talibun atau puisi-puisi lama yang juga menghiasi buku BBK ini, menurut Malik, memang sangat terasa nuansa alam budaya Melayu yang kental, tetapi sebagian besar Mosthamir melakukan inovasi dari segi bentuk dan isi.

Syair dalam BBK ini, sebut Malik, tipografinya berupa syair naratif, tetapi tidak terlalu terikat dengan pola syair klasik, penataan bait diubah suai sejalan dengan nada tulisan, tema, dan amanat yang hendak disampaikan. “Syair-syair di sini cenderung terdapat inovasi dari puisi klasik ke puisi modern. Walaupun syair naratif, tokoh tak bersifat personal,” tambah Malik.

Sedangkan pada gurindam, tekan Malik, penulis melakukan inovasi pada ‘akibat’, yaitu akibat dari sebuah sebab bisa menimbulkan banyak akibat, sehingga ada gurindam lebih dari dua larik atau baris.

“Ada gurindam berbeda bentuknya dengan gurindam klasik yang kita kenal selama ini yang cuma terdiri dua larik. Larik pertama berupakan sebab, dan larik kedua berupakan akibat. Gurindam Mosthamir ada yang tiga larik. Tapi tetap dengan inti gurindam klasik. Persajakan (/aa/ atau /aaa/) tetap dipertahankan selayaknya gurindam klasik. Inovasi ini sengaja dilakukan sesuai dengan amanat yang hendak disampaikan penyair,” kata Malik.

GURINDAM NEGERI BERDAULAT

Apa tanda negara berdaulat?
Genggam laut udara dan darat
Kuasa lain haram mengembat

Bila penguasa teguh amanat
Rakyat damai hidup selamat
Negeri makmur penuh rahmat

Bila berkhianat kepada rakyat
Tiap langkah selalu tersanggat
Di tengah jalan menunggu tamat

Tentang talibun, Malik menyebutkan, talibun ini berupa pantun yang lebih dari empat larik satu bait. Kalau bentuknya enam larik pada larik pertama sampai ketiga berupa sampiran atau pembayang, sedangkan larik keempat sampai enam berupa isi. “Sedangkan yang dibuat penulis, dari segi makna, larik-larik sampiran lebih mengarah ke isi, bukan seperti lazimnya pembayang dalam talibun atau pantun klasik.”

Inovasi lainnya pada talibun, menurut Malik, berupa penyisipan satu atau dua larik tambahan masing-masing setelah larik-larik sampiran dan larik-larik isi. Larik-larik tambahan per bait bersajak /aa/ jika terdiri atas masing-masing satu larik, tetapi bersajak /abab/ jika terdiri atas masing-masing dua larik.

Larik-larik tambahan, dari segi makna, sebut yang dinarasikan pada larik-larik inti.

TALIBUN GAGAK MANDI DURIAN

Juluk durian beramai-ramai
Jatuh sedahan makan sendiri
Makan menyuruk di balik meja

Kekawan berjuang lantaklah kepunan

     Merdu kicaunya dikira murai
     Rupanya gagak tengah mandi
     Mandi di kolam bersabun pula

     Hendak hilang ‘kan hitam di badan

    
Makan durian durian runtuh
Bijinya campak ke tengah jalan
Kulitnya berserak di tengah kebun

Tak ajak kekawan tak ajak tetangga

      Paruh dicuci kepak dibasuh
      Penat gagak mandikan badan
      Keruhlah kolam habislah sabun

      Namun bulunya tetap hitam juga

Pekanbaru, 2022

Dato’ Perdana H Abdul Malik yang baru dikukuhkan sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra Indonesia/Melayu di FKIP Umrah dua pekan lalu menyebutkan, alangkah eloknya jika inovasi dan kreativitas penganekaragaman pelbagai genre puisi dalam antologi BBK ini suatu hari nanti dimekarkan menjadi antologi terpisah: artikeliris, igal-igalan, gurindam, syair, pantun, dan talibun. “Kehadiran antologi seperti itu diyakini akan tampil lebih anggun. Dampaknya, para penikmat pasti akan lebih terpesona dan tertegun,” ujarnya.***

Editor: Fahrul Rozi

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *