Prasangka (1)

Pemuda

ADALAH Gordon Allport, seorang Psikolog dari Harvard University, sosok yang pertama kali memperkenalkan istilah prasangka ini. Menurutnya, istilah prasangka atau prejudice berasal dari kata praejudicium, yang merupakan sebuah pernyataan atau generalisasi tentang sesuatu, yang didasarkan pada perasaan (feeling) semata atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau pada kelompok tertentu. Allport, lebih lanjut, menyatakan bahwa prasangka merupakan refleksi negatif atas orang lain hanya karena ia berbeda dengannya. Muncul bias-bias ketika melakukan evaluasi atau memandang orang yang berbeda dengan dirinya, ada stereotype yang lahir terhadap mereka yang berbeda.

Dalam proses interaksi antar sesama, baik secara individual maupun secara kelompok, ia pasti akan melibatkan (apa yang disebut dengan) proses kognitif. Segala sesuata yang kita lihat maupun yang kita baca, merupakan sebuah “informasi” yang kemudian masuk melalui proses kognitif, diproses dengan mekanisme berfikir kita untuk meyusun sebuah kesimpulan. Proses kesimpulan (sementara) ini, pada dasarnya adalah “fakta” yang disusun atau dideskripsikan seseorang atau kelompok atas “peristiwa” yang dialaminya.

Persitiwa ini, bisa dalam bentuk teks (bacaan) maupun kejadian yang bisa kita tangkap oleh panca Indera manusia. Sebuah peristiwa atau kejadian itu, jika tidak dideskripsikan, maka ia akan menjadi barang mati, tidak “hidup”. Misalnya peristiwa “tersenyum lebar” yang dilakukan oleh tiga orang tersangka kasus pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur Kementerian Pertahanan, yaitu; Surya Cipta Witoelar; Arifin Wiguna; dan Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto. Peristiwa atau kejadian itu terjadi ketika ketiganya divonis 12 tahun penjara oleh Hakim.

“Tersenyum lebar” ini merupakan deskripsi seseorang atau sekelompok orang atas kejadian yang terjadi pada saat itu. Andai saja, jika tidak ada yang mendeskripsikan, maka peristiwa itu tidak ada makna, ia tidak menjadi fakta. Sebagaimana sebuah teks, Alquran misalnya, ia tidak “hidup” jika tidak dibaca atau ditafsirkan (“difaktakan”) oleh umatnya. (Ingat peristiwa Sayyidina Ali ketika ia berkata dihadapan kaum Khawarij, “Wahai mushaf Al-Qur’an, bicaralah pada orang-orang itu!” (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, VII, 270). Ali berlaku cerdik. Ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa mushaf Al-Qur’an tak bisa bicara sendiri, sebab hanya goresan tinta di atas kertas. Manusia lah yang menafsirkannya dengan kemampuan akalnya masing-masing).

Nah, ketika seseorang atau sekelompok orang mendeskripsikan peristiwa atau teks tersebut, tidak jarang ia melibatkan unsur-unsur subyektivitas, seperti pengalaman atau pengatahuan yang dimilikinya, untuk menyusun dan merangkai “irformasi” menjadi kesimpulan (sementara) atau sebuah fakta tersebut. Tidaklah heran, jika kemudian satu fakta yang sampaikan oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa berbeda satu dengan yang lainnya.

Kesimpulan sementara atau fakta tunggal ini,jika terus kita jumpai atau kita bicarakan, maka ia akan memunculkan ragam fakta. Ini yang kemudian disebut data, yakni kumpulan dari fakta-fakta. Jika fakta itu tunggal, ia disebut datum. Dari sini, kemudian seseorang atau sekelompok orang akan membuat kesimpulan atas data yang ada. Kesimpulan ini bisa berupa penilaian yang dapat diukur dalam kerangka positif vs negatif.

Persoalannya kemudian adalah sejauh mana kesimpulan atau penilaian tersebut, disusun atas fakta-fakta yang benar atau tidak? Sebab, dalam melakukan mengumpulkan data, tidak jarang, kita melakukan seleksi atas fakta-fakta yang sesuai dengan “selera” kita sendiri. Kecenderungan alamiah seseorang, pasti akan mengumpulkan fakta-fakta yang disukainya dan dipastikan ia akan membuang fakta-fakta yang tidak disukainya.

Keterbatasan data ini, akan berakibat buruk pada proses pengambilan keputusan atau kesimpulan yang akan kita lakiukan. Lebih-lebih jika proses ini, diselingi dengan “hasrat nafsu” atau kepentingan pribadi; kebencian yang kuat, kecintaan yang mendalam, atau kepentingan pribadi lainnya, makai penilaian atau kesimpulan yang dilakukan menjadi tidak akurat. Maka lahirlah prasangka.

Prasangka ini muncul karena ketidakmampuan seseorang dalam mengumpulkan fakta-fakta yang terus muncul dikehidupannya. Ia “terkungkung” oleh serbuan informasi atau fakta yang seragam dan tunggal; ia tidak mau melakukan “lompatan” dengan menerima fakta lain yang berbeda; dan ia lupa dengan ragam fakta yang diterimanya, maka “data” menjadi indah dan berwarna. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Pemimpin yang Dirindukan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews