Pemimpin yang Dirindukan

SUATU hari, berkumpul beberapa shahabat Nabi. Kemudian diantara mereka ada yang mengusulkan untuk makan bersama dengan memasak kambing. Sebagai Sang Komando, Nabi yang mulia membagi tugas. Sebagian menawarkan diri, “Saya yang akan menyediakan kambingnya” ujar salah seorang Shahabat. Shabat lainnya mengatakan “Saya yang akan memotong kambingnya”. “Saya menyiapkan bumbu dan memasaknya”. Sahut yang lain. Lalu Nabi berkata “Saya yang akan mencari kayu bakarnya”. Shahabat yang lain pun berseru “Jangan ya Nabi, biarlah kami yang mengerjakan semuanya. Tidakkah Engkau lebih baik duduk-duduk saja dan kami yang mencari kayunya”.

Sebagai “Sang Komandan”, tentu ada perasaan enggan pada diri para Shahabat jika Nabi ikut serta dalam pekerjaan tersebut. Mungkin, dalam fikiran para Shahabat, sebagai komandan tidak seharusnya terlibat kerja lapangan. Namun, tampaknya hal ini tidak berlaku bagi Muhammad SAW. “Saya tahu kalian bisa menyelesaikan pekerjaan ini, tapi saya tidak suka diistimewakan. Sesungguhnya Allah SWT tidak suka melihat salah seorang hamba-Nya diistimewakan dari kawan-kawannya,” Tegas Rasul SAW.

Sungguh, merupakan sebuah praktek kepemimpinan yang sangat layak untuk ditiru, sebuah uswah yang mulai hilang dalam “jagad” dan imajinasi kepemimpinan kita saat ini.

Kisah ini saya peroleh dari ceramah Gus Baha melalui channel Yutube. Bisa juga dibaca dalam buku karangan Abdul Mun’im al-Hasyimi, Akhlak Rasul Menurut Bukhari Muslim, (hal 24-25).

Setidaknya, terdapat dua hal yang mesti kita refleksikan dari peristiwa tersebut; Pertama. Sosok pemimpin yang bersedia “berkotor-kotor” dalam menjalankan visi dan misi nya. Sosok pemimpin yang berupaya membersamai anggotanya dalam mewujudkan tujuan organisasi. Sosok pemimpin yang dengan tegas untuk tidak berpangku tangan, memilih yang mudah-mudah, dan hanya menerima hasil.

Hal ini, terlihat dengan jelas dari Hadits tersebut bahwa meskipun para Sahabat menghendaki agar Nabi tidak “kotor” tangannya, namun Nabi bersikukuh untuk tetap berketingat, layaknya para sahabat yang juga berkeringat. Nabi yang mulia ini, tidak mau hanya duduk-duduk manis, ongkang kaki, tunjuk sana-tunjuk sini, perintah sana-perintah sini, hanya menunggu hasil yang dikerjakan bawahannya.

Itulah model kepemimpinan yang tidak hanya berasas “telunjuk” dan “sabda”-nya saja, melainkan dibangun dari keringat dan kebersamaan. Keringatnya senantiasa mengucur, demi melayani bukan dilayani.

Kedua, tidak ada pengistimewaan dalam bekerja maupun kepada bawahannya. Di ujung hadits Nabi di atas, Nabi sendiri menyebutkan bahwa Allah “tidak suka melihat salah seorang hamba-Nya diistimewakan dari kawan-kawannya”. Pengistimewaan seorang pemimpin atas pekerjaan maupun bawahan, sesunngguhnya juga telah “melanggar” esensi kesetaraan dan keadilan.

Memang, dalam sebuah organisasi terdapat bidang-bidang yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Terkadang, dalam pekerjaan tertentu atau sebuah projek tertentu, ada bidang yang lebih menonjol dengan yang lainnya. Misalnya, ketika ada pekerjaan terkait dengan sosial kemasyarakatan, maka bidang Hubungan Masyarakat akan lebih menonjol dari pada bidang Kearsipan.

Namun begitu, seorang pemimpin selayaknya melihat itu semua sebagai sebuah satu-kesatuan yang secara sistemik, memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Tidak boleh ada pengistemawaan di sini.

Dalam konteks yang lebih luas lagi, pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak mendiskriminasi minoritas dengan mengunggulkan mayoritas. Terkadang, sebuah daerah yang secara mayoritas “dikuasai” oleh kelompok tertentu, biasanya kelompok ini “diistemawakan” dengan kelompok lainnya. Tentu, ini jelas bertentangan dengan spirit kenabian.

Dan yang terpenting atas itu semua adalah bahwa kepemimpinan bukanlah melulu urusan duniawiyah semata. Kepemimpinan kita saat ini, berjalin-kelindan dengan sebuah Mahkamah Agung kelak di ahirat. Kepemimpinan yang kita jalani saat ini, akan “ditagih” Allah, semua kebijakan yang kita keluarkan akan dimintai pertanggung-jawaban.

Begitulah uswah yang disampaikan Nabi untuk kita renungkan bersama, juga bagi mereka yang saat ini sedang menjadi pemimpin. Satu hal paling mudah dalam melihat konteks kepemimpinan model tersebut di atas adalah apakah ia dirindukan atau tidak oleh anggotanya?. Sederhananya, pada saat pemimpin tidak ada, ada nuansa kegembiraan dihati para anggotanya atau tidak? Pada saat pimpinan ada, nuansa “gerah”, “muak”, “ketakutan” muncul apa tidak?

Ketika seorang pemimpin itu selalu dirindukan kehadirannya oleh anggotanya, maka itulah diantara pemimpin yang khusnul khatimah. Sebaliknya, bagi pemimpin yang kehadirannya justru menjadi “momok” yang “menakutkan” bagi anggotanya, berhati-hatilah itu menjadi “pertanda” anda sedang berada pada suul khatimah. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Gurita Materialisme Beragama

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *