Merdeka

BARU saja seluruh bangsa Indonesia bergembira, bersuka cita, mensyukuri karunia Tuhan Yang Maha Esa berupa kemerdekaan Bangsa Indonesia, dari “segala macam bentuk penjajahan di muka bumi”. Tidak heran jika di seantero Nusantara, ada ragam kegaiatan dan permaian yang bernuansa gembira dan menghibur.

Mereka semua mengeskpresikan diri sebagai insan yang Merdeka; tertawa lepas; bebas membuat permainan apa saja yang penting menghibur, meski terkadang ada yang “terinjak”, “terpukul”, “terjungkal”, namun itu semua menjadi “hiburan” menarik bagi mereka.

Menariknya, semakin “tersakiti” orang yang dilihat, justru semakin menghibur. Atau semakin “dipermalukan”, ia semakin menarik untuk ditertawai. Permainan akan semakin menghibur jika diselingi dengan permainan-permainan yang bernuansa “seksis” atau mengarah pada “porno”.

Misalnya, ada permainan yang pesertanya diminta untuk saling menjepit terong untuk diteruskan kepada peserta lainnya, uniknya pesertanya adalah ibu-ibu atau berpasangan bapak-Ibu. Atau ada permainan “pasangan” laki-laki dan Perempuan saling menghimpit balon, yang berada di bawah perut masing-masing peserta. Balon yang meladak dialah yang menang.
Begitulah, hiruk-pikuk memperingati kemerdekaan bangsa ini, telah mengalahkan kemampuan warganya untuk menikmati “hikmah” dari kemerdakaan itu sendiri.

Kemerdekaan bagi warga Muslim di Indonesia dimaknai sebagai Rahmat Allah swt. Demikian ini, sebagaimana telah ditegaskan juga dalam pembukaan UUD 1945 “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”

Diksi “Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa” ini, mempertegas adanya kesadaran beragama melekat pada diri bangsa Indonesia. Kesadaran religious menjadi tonggak kelahiran bangsa yang menghimpun pluralitas agama, keyakinan, Bahasa, suku, dan budaya ini.

Namun demikian, hari ini kita masih melihat ada warga negara yang kesulitan untuk khusu’ dalam menyembah Tuhannya. Beberapa tempat ibadah untuk mereka, justru kita persekusi dengan dalih “bertentangan dengan cara kita menyembah Tuhan”. Rumah-rumah ibadah yang didalamnya juga melantunkan asma suci Tuhan mereka, juga kita hancurkan.

Artinya, di tengah gegap gempita kita merayakan kemerdekaan kita saat ini, justru masih ada saudara-saudara kita yang tertatih-tatih, sembunyi-sembunyi, bahkan dalam bayang-bayang ancaman, ketika akan menjalankan ibadah keagamaan mereka. Bukankah ini menjadi bagian dari pengkhianatan terhadap Amanah konstitusi kita?

Bukankah di antara tujuan kemerdekaan negara ini adalah “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia”. Bentuk perlindungan ini berlaku untuk semua warga negara; bahwa semua warga negara setara, tanpa dibayangi oleh sikap diskriminatif kelompok tertentu, atas dasar apa pun. Bahkan, negara yang sudah 78 tahun merdeka ini, memberikan jaminan penuh atas adanya “kemerdekaan keyakinan” (freedom of conscience) kepada setiap warga negara untuk leluasa beribadah sesuai agama masing-masing.

Pada saat yang sama, kemerdekaan bangsa kita hari ini, sesungguhnya masih dinikmati oleh kelompok tertentu; yaitu mereka yang telah mengeruk kekayaan bumi Indonesia (pengusaha; orang-orang terkaya di Indonesa) dan mereka yang berkuasa (para pejabat politik, pemerintahan, dan Lembaga-lembaga lainnya di Republik ini). Mereka bebas melakukan apa saja; mereka bisa pergi sekehendak hati mereka; mereka juga bebas menentukan apa saja.

Di bawahnya, hanyalah rakyat biasa, “bawahan” yang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak ubah “mainan” yang bisa diinjak, dimaki, dan diperalat untuk kepentingan dua kelompok itu saja. Maka bergembira dengan “mencemooh” dirinya sendiri atau “mempermalukan” diri sendiri, menjadi symbol dari penderitaan yang mereka alami. Dan pada posisi ini, segala hal yang berhubungan dengan Tuhan, hilang dimata mereka… Wallahu A’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Prasangka (2)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews