Biarlah Sejarah yang Mencatat

Pemuda

SYAHDAN, telah datang dua orang bersaudara menghadap Umar bin Khathab. Mereka sedang membawa seseorang yang dalam keadaan terikat kedua tangannya. Setelah mengucapkan salam dan saling menyampaikan khabar, salah satu dari kedua pemuda ini berkata kepada Sang Khalifah yang terkenal “garang” dan pemberani itu, “Wahai Amirul Mukmin, pemuda ini telah membunuh ayah kami.”

Namun, tiba-tiba sang pemuda yang terikat tangannya dengan segera menyela, “Wahai Amirul Mukminin, dengarkanlah penjelasanku terlebih dahulu,” meminta.

Mendengar permintaan dari pemuda yang terikat tangannya itu, salah seorang di antara pemuda itu berkata. “Tidak, hal itu tidaklah penting. Kamu beruntung kami tidak melakukan balas dendam padahal ayah kami telah engkau bunuh. Kami justru membawamu kepada Khalifah Umar,” kata kedua lelaki itu dengan nada tinggi.

Suasana pun menjadi tegang. Dengan cepat, Umar segera menenangkan mereka yang saling beradu pendapat. Umar kemudian meminta mereka untuk tidak emosi dalam memberi penjelasan. “Lebih baik kalian berdua diam terlebih dahulu. Aku ingin mendengar cerita tentang kejadian sebenarnya,” kata Umar mulai membuka penyelesaian perkara.

Pemuda yang terikat tangannya segera bercerita. Sebelum tiba di sini, ia sedang menaiki seekor unta untuk pergi ke satu tempat. Karena terlalu letih, pemuda yang terikat itu tertidur. Namun, ketika terbangun, ia mendapati untanya telah hilang. “Lalu saya segera mencarinya,” katanya.

Tak jauh dari lokasi dia tertidur, pemuda itu melihat untanya sedang asyik memakan tanaman di sebuah kebun. “Lalu saya berusaha menghalaunya, tetapi unta itu tidak juga berpindah dari tempat dia berhenti.”

Tak lama kemudian, datanglah seseorang dan terus melempar batu ke arah untanya. Lemparan itu tepat ke arah kepala untanya. “Maka unta saya seketika itu juga mati,” kata pemuda itu.

Pemuda itu mengakui, setelah melihat untanya mati akibat lemparan batu tersebut, ia marah dan kesal. “Lalu saya mengambil batu dan melempar batu tersebut ke arah orang yang melempari untaku itu. Tak disangka, batu itu mengenai kepalanya hingga lelaki itu jatuh tersungkur dan meninggal. Jadi, tiadalah maksud hati ini berniat untuk membunuhnya” keluh pemuda itu kepada Umar dan para Shahabat yang hadir.

Mendengar cerita dari sang pemuda, Umar kemudian memutuskan bahwa ganjaran yang paling tepat atas perbuatannya itu adalah qisas, yaitu hukuman mati. Mendengar keputusan Umar, sang Pemuda pun ikhlas menerimanya. “Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakan qisas atasku. Aku ridha pada ketentuan Allah, tetapi izinkan aku menunaikan semua amanah yang tertanggung dulu”

Menurut penjelasannya, sang Pemuda ini mempunyai amanah yang harus ia tunaikan. Amanah itu adalah dia masih memiliki seorang adik yang juga sudah ditinggalkan ayahnya. Sebelum meninggal, ayahnya itu telah mewariskan harta. “Dan saya menyimpannya di tempat yang tidak diketahui oleh adik saya.” Jelas sang Pemuda.

Untuk itu ia meminta Khalifah Umar berkenan memberi waktu selama tiga hari untuk pulang ke kampung agar ia bisa menyerahkan warisan dari orang tuanya kepada adiknya.

Mendengar permintaan itu, Umar tidak buru-buru mengabulkannya sebelum ada yang memberikan jaminan. “Siapakah yang akan menjadi penjaminmu?” tanya Umar.

Pemuda itu tertunduk bingung siapa yang akan menjadi penjaminnya karena ia adalah orang asing. “Jadikan aku penjaminnya, Amirul Mukminin!” Sebuah suara berat dan berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Suara itu, adalah suara Salman al-Farisi, Orang Persia yang pertama kali masuk Islam dan inisiator pembuatan parit sebagai benteng pada perang Khandaq di masa Nabi.

Umar seketika berseru “Salman?!” hardik Umar. Umar memberikan peringatan seakan meminta Salman menarik kesediaannya sebagai penjamin dan Khalifah Umar berkata, “Demi Allah, engkau belum mengenalnya! Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!” perintah Umar.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap perintah Khalifah Umar, Salman berkata, “Pengenalanku padanya tak beda dengan pengenalanmu, ya Umar. Aku percaya kepadanya sebagaimana engkau memercayainya,” kata Salman yang membuat orang-orang tertegun mendengar kata-kata bermakna itu.

Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman. Sementara, dua pemuda yang ayahnya terbunuh itu harap-harap cemas.

Pada hari ketiga, Umar, para sahabat, serta dua lelaki itu menunggu pemuda tersebut. Hingga tengah hari, pemuda itu belum juga datang. Kedua lelaki tersebut mulai gelisah. “Hari sudah siang, tetapi pemuda itu belum datang. Jika tidak datang, maka Salman akan menjadi penggantinya menerima hukuman mati,” kata salah seorang lelaki itu.

Waktu sudah siang dan pemuda itu tidak kunjung datang. Salman dengan tenang dan tawakal melangkah ke tempat qisas sebagai penerima jaminannya. Ketika Salman sudah berada di tempat akhir hukuman, tiba-tiba sesosok bayang-bayang berlari terengah dalam temaram, terseok terjerembab lalu bangkit dan nyaris merangkak. Pemuda itu dengan tubuh berpeluh dan napas putus-putus ambruk ke pangkuan Umar.

“Maafkan aku hampir terlambat!” ujar pemuda itu. Pemuda itu langsung menggantikan posisi Salman. Pemuda itu berterima kasih kepada Salman telah bersedia menjadi penjaminnya meski ia belum dikenalnya sama sekali.

Umar protes atas keterlambatan pemuda itu. Namun, sang pemuda berkata, “Urusan kaumku memakan waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun dan terpaksa kutinggalkan, lalu aku berlari (ke tempat pemutusan hukuman qisas).”

Sebelum melakukan hukuman, Khalifah Umar berkata. “Demi Allah, bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?” kata Umar sambil menenangkan dan memberinya minum.

Setelah menerima pemberian dari Umar, pemuda itu berkata, “Supaya jangan sampai ada dalam catatan sejarah, yang menuliskan atau mengatakan bahwa di kalangan Muslimin tak ada lagi kesatria tepat janji,” kata pemuda itu sambil tersenyum.

Umar mendekati Salman yang tidak jauh dari pemuda yang akan dieksekusi mati itu. “Mengapa kau mau menjadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama sekali?”

Dengan tegas, namun lembut Salman menjawab pertanyaan Khalifah Umar, “Agar jangan sampai dikatakan dalam sejarah bahwa di kalangan Muslimin nantinya, tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudara yang membutuhkan pertolongan” tuturnya.

Kedua lelaki yang ayahnya telah terbunuh lalu merasa terharu dengan sikap sang pemuda dan keberanian Salman. Mereka berkata “Wahai Amirul Mukminin, kami mohon agar tuntutan kami dibatalkan. Kami telah memaafkan pemuda penepat janji ini.”

Umar pun tekejut dan bertanya, “Mengapa kalian berbuat seperti itu?” tanya Umar. “Agar jangan ada yang mencatat dalam sejarah bahwa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi saling memaafkan dan kasih sayang,” katanya.

Saya sangat suka dengan cerita hidup di atas. Seribu empat ratus tahun lalu ada orang-orang hebat yang mengatasnamakan umat Islam tanpa takut oleh konsekuensi yang akan diterimanya. Mereka telah “mengukir sejarah” dengan keberaniannya masing-masing. Mereka mau mengorbankan dirinya agar Islam “terlihat” lurus, menepati janji, saling memaafkan dan penuh kasih.

Lalu kita hari ini, peran apa yang akan kita lakukan agar Islam selalu dikenang dalam catatan sejarah, bahwa Islam itu lembut, penuh kasih, pemaaf, jujur, terbuka, dan seterusnya, agar menjadi cerita untuk anak cucu kita nantinya?

Atau justru kita justru memerankan diri sebagai pembungkam kemuliaan Islam, dengan mengobral janji demi kekuasaan, melipat persahabatan menjadi permusuhan, menelanjangi saudaranya dengan menggunjing keburukannya, menindas sesama umat Islam hanya karena ia bawahannya, dan seterusnya.

Apapun yang kita hadirkan saat ini, akan menjadi catatan sejarah, setidaknya menjadi sejarah untuk anak cucu kita sendiri…Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca: Dan Kita Pun Punya Dosa

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews