LAMANRIAU.COM, JAKARTA – Harga cabai merah di pasar tradisional per 11 Juli 2019 terus naik hingga menyentuh angka Rp 56.380 per kilogram (kg) rata-rata secara nasional. Kenaikan harga cabai lebih signifikan bahkan terjadi di Jakarta yang pada 11 Juli 2019 sudah menyentuh angka Rp 70.850 per kg. Tidak adanya pengaturan produksi dan penyuluhan untuk penciptaan bibit unggul, disinyalir menjadi penyebab utama kenaikan harga cabai.
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan, secara umum harga cabai mengalami kenaikan hingga hampir 100 persen di beberapa daerah, disebabkan faktor kekeringan yang ekstrem.
“Itu karena supply yang terbatas, sehingga produksinya belum optimal,” ujar Rusli Abdullah dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (13/7/2019).
Rusli mengatakan, Kementerian Pertanian (Kemtan) harus mendorong penciptaan varietas unggulan yang tahan terhadap perubahan iklim. “Permasalahan ini, tidak hanya terjadi pada cabai, tetapi juga tanaman-tanaman lain,” kata Rusli.
Dari sisi permintaan, Rusli mengatakan, pemerintah harus mulai perlu mendorong supaya masyarakat tidak bergantung lagi pada cabai segar. Hal ini bisa dilakukan dengan membiasakan masyarakat mengkonsumsi cabai bubuk atau sambal olahan.
“Dengan demikian, produksi cabai yang melimpah pada musim panen dapat terserap menjadi produk yang tahan lama,” tandas Rusli.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Kudhori, mengatakan, naiknya harga komoditas cabai merah yang terjadi saat ini salah satunya disebabkan oleh minimnya stok cabai yang tidak seimbang dengan permintaan.
“Kurangnya ketersediaan cabai merah disebabkan oleh jumlah produksi cabai dari petani yang kurang maksimal. Salah satunya, karena mengalami kekeringan lahan dan bahkan gagal panen karena kemarau,” jelas Kudhori.
Kudhori menambahkan, fenomena gagal panen atau rusaknya tanaman cabai saat terjadi kemarau panjang atau kekeringan yang berlebih merupakan hal wajar. Petani seharunya bisa mengantisipasi datangnya musim kemarau, lantaran Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) telah rutin mengumumkan perkiraan iklim per tiga bulan sekali.
Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), Galuh Octania, mengatakan, minimnya produksi cabai juga disebabkan oleh ketakutan para petani untuk menanam cabai di musim kemarau yang berkepanjangan.”Banyak petani tidak berani mulai menanam cabai karena takut mengalami gagal panen,” sebut Galuh.
Galuh berpendapat, pemerintah seharusnya bisa belajar dari kesalahan masa lalu karena siklus ini berlangsung setiap tahun. “Pola kemarau yang membuat produksi sejumlah komoditas berkurang,” tegas Galuh. (bsc)