“… dan selalu saja cinta tidak menyadari kedalamannya sebelum saat perpisahan tiba…”
Barangkali penggalan puisi Kahlil Gibran itu benar secara meyakinkan ketika Maradona meninggal dunia pada Rabu waktu Argentina, Pele atau Edson Arantes do Nascimento, legenda sepakbola dunia asal Brazil mengucapkan dalam duka, “Suatu hari, saya harap kita bisa bermain bola bersama di langit,” tulis Pele di akun twitternya. Padahal publik sepakbola dunia tahu bahwa Maradona merupakan rival terberat Pele sepanjang hidupnya karena sama-sama megabintang yang berasal dari benua Amerika Latin. Pada tahun 2000 Maradona terpilih sebagai pemain terbaik abad ini pilihan fans melalui internet polling. Namun sesaat sebelum penghargaan diserahkan, FIFA mengadakan lagi satu penghargaan dengan menunjuk ‘Football Family’ sebagai pemilih. Pele pun memenangkan pemilihan sehingga FIFA menilai label ‘Pemain Terbaik Abad Ini’ menjadi milik bersama. Namun Maradona kala itu berujar, “Saya memenangkan Pemain Terbaik Abad Ini dan terima kasih kepada publik dunia, sedangkan Pele hanya di tempat kedua.”
Apa yang terjadi pada Pele dan Maradona ini mengingatkan juga akan hadits Nabi Muhammad Saw riwayat At Tirmizi yang artinya kira-kira: Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang kamu cintai itu suatu hari nanti kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya juga, bisa jadi satu hari nanti dia menjadi orang yang kamu cintai.
Diego Armando Maradona yang lahir di Lanus pada 30 Oktober 1960 merupakan tokoh lapangan hijau dunia pada dekade 80-90-an. Saat itu, hampir semua kanak-kanak di seluruh dunia ingin memakai nomor punggung 10 karena itu merupakan nomor punggung Maradona. Ketika itu, semua kanak-kanak ingin menjadi kapten karena Maradona merupakan kapten, baik di Timnas Argentina maupun beberapa klubnya di Eropa. Kala Maradona menangis karena Argentina kalah dari Jerman Barat dalam laga final piala dunia 1990 di Italia, anak-anak dunia pun menangis tertunduk berurai air mata.
Selama menjadi pemain bola, Maradona menghipnotis dunia dengan kucekan bolanya yang spektakuler. Sehingga sebagian orang menjulukinya dengan dewa bola. Gol tangan Tuhannya saat melawan Inggris pada perempatfinal piala dunia 1986 di Mexico membuat namanya kian melambung, gemilang juga kontroversial. Pada saat itu Maradona berhasil membawa Argentina meraih tropi piala dunia setelah mengalahkan Jerman Barat. Beberapa kisah hidupnya yang berbau miring dan kontroversial tak pernah digubris para penggemarnya karena para fans Maradona sangat mafhum bahwa pada diri manusia terdapat silap dan salah. Dan itu juga tak terhindarkan pada legenda pujaan mereka itu. Dan mereka tetap mencintai dan mengagumi lelaki bertubuh pandak gempal untuk ukuran pesepakbola dunia tersebut.
Maradona menjadi tokoh idola anak-anak sejagat kala itu karena talentanya yang tentu saja datang bukan dengan mudah dan murah. Semua capaiannya diraih karena kemauan kuat, tekad baja, usaha-kerja keras, watak ‘degil’, unik, ekslusive, di samping sisik badannya yang mengkilat, dan lain sebagainya.
Masyarakat Argentina dan dunia berduka, Presiden Argentina, Alberto Fernandez bahkan menyerukan bahwa Argentina berkabung selama tiga hari ke depan. Jenazahnya akan disemayamkan di istana Casa Rosada.
Kepergian Maradona yang merupakan seniman bola itu menyisakan berbagai hal dalam memahami kehidupan, di antaranya bahwa siapapun ia, apapun jabatan, setinggi apapun capaian derajatnya di dunia, suatu ketika ia akan pulang. Yang tinggal di pusaranya hanya gundukan tanah yang mungkin ditemani setandan batu nisan. Ya. Mati itu pasti, dan kematian merupakan batu cobaan siapa yang baik amalnya.
Maradona juga telah menginspirasi anak-anak dunia agar menjadi tokoh. Walaupun Galileo Galilei menyebut bahwa negeri yang malanglah yang memerlukan seorang tokoh. Akan tetapi, saat ini, terutama di Indonesia, seorang tokoh masih amat diperlukan sebagai figur yang menginspirasi anak bangsa.
Dalam dunia sastra, berapa banyak tokoh-tokoh fiksi mengispirasi anak-anak di beberapa Negara. Apalagi tokoh nyata. Dalam dunia sastra, cerita Siegfried, ksatria pahlawan legendaris dari nasionalime Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada perang dunia. Kisah Barbie, boneka molek itu, menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis cilik di seluruh dunia, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan.
Kepulangan Maradona juga mengajarkan bahwa setiap orang mesti menakik sejarah dalam hidupnya. Apakah ia mati hanya meninggalkan batu nisan yang berukir nama dan gelar sunyi sepi di pemakaman atau ada sesuatu yang patut dikenang dan dapat membahagikan orang lain sepeninggalnya. Maradona telah meninggalkan kenangan manis tak terlupakan ketika ia hadir sebagai seniman bola yang mampu membuat jutaan mata terperangah, membuat orang bahagia dan tersenyum sumringah saat si kulit bundar merobek jala gawang dengan indah, setelah ia meliuk-liuk di tengah kepungan para manusia raksasa.
Maradona pulang ke kampung abadi pada saat masyarakat dunia sedang dicemaskan dengan virus covid-19 yang kini (26/11/20) saban hari kabarnya memakan 5.534 korban jiwa di seluruh dunia. Ternyata kepergian sang legenda itu bukan karena covid-19 yang menakutkan dan mengkhawatirkan tersebut, akan tetapi karena serangan jantung di usianya yang ke-60. Ini menyiratkan bahwa kematian akan tiba karena berbagai sebab, untuk itu persiapkan diri sebelum kedatangannya. Oleh karena itu jangan terlalu takut pada covid-19 karena ajal datang dapat dari berbagai pintu. Takutlah dengan sebenar takut pada Dia yang menciptakan corona dan penyebab kematian lainnya.
Kematian merupakan pelajaran. Ya pelajaran dan pengajaran. Kematian juga musibah. Abdullah bin Mas’ud ra pernah berkata, “Setiap ada kesenangan pasti ada kesedihan. Tidak ada rumah yang menyimpan kesenangan melainkan di dalamnya juga tersimpan kesedihan.” Ibnu Sirin juga mengungkapkan, “Setiap senyuman pasti akan diiringi tangisan.”
Semua fans Maradona kini menangis karena kehilangan idolanya. Semoga mereka juga berurai air mata mengingat nasib diri ketika maut itu kelak tiba masanya menjenguk mereka juga.
Selamat jalan Maradona. ***
Baca : Zuriat Matahari