Beraskunyit Afrizalcik

Desember haru

Beras Kunyit Untuk Takdir (BKUT), merupakan kisah yang ditenun Afrizal Cik (AC) dalam rangka merawat kenangan. Bahwa di Tanah Melayu, di Selatpanjang sekitarnya pernah terjadi banyak peristiwa yang patut dijadikan kenangan, catatan, pelajaran, pengajaran, dan hiburan bagi anak bangsa, terutama Puak Melayu.

Dalam buku fiksi yang sesungguhnya sebagian berangkat dari fakta dan realita, yang ditulis sejumlah 333 halaman ini, tergambar jelas dan elok bagaimana nikmat dan tak nikmatnya menjadi anak Melayu Pulau atau anak Melayu Pesisir pada tahun 70 hingga 80-an. Lokalitas Melayu Pesisir melekat dan terpahat demikian kuat dan lebat dalam novel atau roman ini, mulai penggunaan kosa-kata, diksi, humor-humor cerdas dan jenaka, idiom-idiom Melayu arkhaik hingga adat budaya yang unik.

Sebagai salah-seorang pengarang Riau, AC begitu lemak dan sedap nian menggambarkan kisah kanak-kanak dengan kelakar cerdas dan penuh satire. Muhammad Takdir alias Abdul Kadir, tokoh utama dalam novel ini hampir sempurna mewakili tingkah dan rasa anak-anak Melayu semasa kecil ketika hidup di kampung halaman. Begitu juga dengan tokoh-tokoh lain dalam buku ini, seperti Aki Botak, Dolah Foto, dan lainnya.

Satire tergambar jelas ketika Takdir pada awalnya tak dapat menyebut apa cita-citanya kalau sudah besar kelak karena sebenarnya keinginan dan harapannya sederhana saja, ia ingin seperti ayahnya yang menjadi ketua rombongan penebang sagu. Kalau itu ia sampaikan kepada guru dan teman-temannya, Takdir yakin mereka tidak tahu profesi itu, selain itu tentu akan menjadi olok-olokan orang. Karena semua temannya punya cita-cita, punya impian, punya harapan masa depan, seperti menjadi syahbandar, guru, camat, dokter, presiden dan lain sebagainya. Dari penggambaran itu, AC benar-benar menyatakan bahwa sebagian kanak-kanak Melayu sungguh malang, dan barangkali tak dapat memberi nama pada kemalangannya. Seperti ungkap Thomas Mann, “Orang belumlah malang. Sungguh belumlah malang, sebelum dapat memberi nama pada kemalangannya.”

Dalam beberapa hal, seperti homor-humor segar yang cerdas dan menghibur, penggambaran anak-anak pulau dengan segala ihwalnya, kerenyahan dan kesederhanaan berbahasa, satire yang terdedah, detail kisah, keharuan, serta menjalin dan memainkan konflik, saat melahap novel ini, saya pun boleh mengatakan bahwa AC dalam bercerita dapat bersanding dengan novelis Andrea Hirata si pengarang Laskar Pelangi itu. Terlepas pada keduanya memiliki kelebihan dan kerumpangannya masing-masing.

Novel atau mungkin lebih tepat disebut roman ini lengkap pepat memuat setumpuk persoalan yang masih terjadi dalam kehidupan manusia Indonesia hingga kini, mulai nasib kanak-kanak bangsa di suatu pulau, pertarungan kesetiaan dan penghianatan dalam merawat cinta kasih di antara kaum Adam dan Hawa, indahnya persahabatan, semangat membara dalam menggapai cita-cita tanpa kenal lelah, hingga persoalan besar bangsa, seperti runtuhnya benteng peradaban atau moral sebagian pendidik (terlihat dalam karakter guru bernama Bu Dalmatiyen dan Bu Wali kelas), pedihnya menjadi TKI, buruknya reklamasi, ancaman abrasi, rusaknya lingkungan hidup karena bisnis kayu teki atau arang bakau, betapa culas dan liciknya sebagian toke-toke di Singapura (tergambar pada sosok Mr Yap dan Nyonya Chua), rasa optimisme hingga solidaritas sesama puak Melayu serumpun (terlihat pada sosok Abu Bakar Karimun alias Combat Melayu, walau berkebangsaan Negara Singapura tapi ikut melindungi dan membantu Takdir dalam pelarian), nasionalisme yang senantiasa berkobar, tak pernah padam (wujud dalam sosok Haji Bodeng, Syahnun, Usman Peto dan lain-lain saat membantu Takdir lolos dari kejaran Polisi Singapura).

Melihat kisah yang dijalin dengan bahasa lugas, lancar, elok, kocak dan sederhana ini, dalam beberapa hal, seperti kontak dagang misalnya, ternyata anak-anak Melayu, terutama Selatpanjang sekitar, rupanya telah berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan bangsa asing, seperti Singapura misalnya. Dan Selatpanjang saat itu memang menjadi kota cemerlang karena kerap kali didatangi orang-orang besar, termasuk P. Ramlee, seniman agung Malaysia yang sedang jaya-jayanya.

Dalam kreatifitas kepengarangan, walaupun AC selama ini telah menulis sastra berupa cerita pendek dan cerita rakyat, dan ini merupakan novel sulungnya, bila dibandingkan mana yang paling kuat dan berhasil, maka saya melihatnya, ia lebih kuat dan berhasil sebagai novelis. Akan tetapi itu bukan berarti cerita pendek dan cerita rakyatnya tak kuat. Cerpen dan cerita-cerita rakyat AC juga mendapat tempat tersendiri dalam peta kesusasteraan. Akan tetapi pada novel atau boleh disebut roman ini, ia lebih dapat memainkan kelincahannya dan kekhasannya sebagai pengarang, baik imajinasi maupun pristiwa-pristiwa yang dikemukakannya yang lebih luas, rumit dan detail.

Dan memang, novel lebih dapat lapangan luas untuk mengembangkan hal tersebut bila dibandingkan cerita pendek dan cerita rakyat. Dan mungkin juga karena seperti yang dikatakan Hasan Junus (2005) tentang novel, bahwa di dalam genre sastra baru inilah segala gagasan manusia berikut lambang dan tanda-tanda serta bermacam bunyi dan juga pikiran bahkan suara hati bersabung berlintasan cepat dan kadang-kadang saling bersentuhan, berlanggar, bertabrak, kadang-kadang menyusur alur bersama-sama dengan manis dan harmonis…..Dan apa yang dikemukakan Hasan itu jualah yang mungkin membuat AC dapat leluasa dan sukses menulis novel sulungnya ini.

Dalam konteks kekinian, hemat saya, novel ini dapat memberi sumbangan besar bagi menciptakan peradaban cemerlang di masa depan, terutama bagi bangsa Indonesia yang kini sedang dilanda krisis multi dimensi. Karena ia dapat menjadi bacaan yang indah (beauty), bermakna atau berfaedah (utile) dan menghibur (dulce), terutama bagi anak didik yang akan menyambung estafet kepemimpinan di masa depan.

Tahniah, Tuan Afrizal Cik (AC) atas terbitnya novel yang membahagiakan ini. Kehadiran novel atau roman ini menjadi penanda bahwa Tuan memang masuk dalam deretan para pengarang terdepan Riau saat ini. Dan saya berharap, esok dan mungkin esoknya lagi, karya-karya AC terbit secara nasional sehingga dapat dinikmati pembaca yang lebih luas lagi. ***

Baca : Maradona Pulang

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *