Rasa Takut?

Desember haru

RASA takut merupakan anugerah. Ia ada dalam diri manusia yang diciptakan Tuhan sebagai sesuatu yang amat berarti dan berharga bagi kelangsungan hidup. Tanpa ada rasa takut maka manusia akan keluar dari jati dirinya sebagai insan yang dhaif, papa, lemah, makhluk tak berdaya. Jika tak ada rasa takut, bisa-bisa manusia juga akan melupakan Tuhannya. Bisa-bisa ia berkebun keangkuhan dan kesemena-menaan.

Rasa takut juga yang membuat manusia menjadi kuat. Menyiapkan segala hal untuk menghadapi rasa takutnya. Demikian juga sebaliknya. Manusia yang dihantui rasa takut akan melakukan sesuatu di luar akal sehatnya. Ia bisa defresi berat, bahkan dapat menjadi gila dan hilang kemanusiaannya. Manusia yang diselimuti takutnya berkepanjangan akan karam dalam rasa takutnya. Ya, takut hilang kekayaan, takut terguling kekuasaan, takut tenggelam wibawa dan pengaruhnya, takut raib berbagai nikmat duniawinya.

Manusia bisa terpenjara oleh rasa takutnya. Yang paling mengkhawatirkan dan menakutkan adalah jika rasa takut tak tentu arah itu dipelihara dan berkebun lebat dalam diri orang-orang yang punya kekuatan, baik kekuasaan, kekayaan dan lain sebagainya. Bisa jadi akibat ketakutan itu ia melakukan segala cara agar rasa takutnya hilang.

Dalam arus perjalanan sejarah, akibat rasa takutnya berlebihan itu maka banyak manusia menjadi The killer machine (mesin pembunuh). Ketakutan seperti ini biasanya bertahta di dalam diri para penguasa zalim seperti Fir’aun, Namrud dan yang sejenis dengan mereka. Akibat ketakutan berlebihan, Fir’aun membunuh semua bayi laki-laki tak berdosa agar kelak lelaki yang baru lahir tersebut tidak merampas kekuasaannya yang ia cintai semati-matinya. Akhirnya ketakutannya berbuah juga. Kekuasaannya memang dihunjang, ditarik oleh lelaki yaitu Musa yang dibesarkan sendiri dalam istana angkara murkanya. Dan ia pun mati dalam ketakutan yang dipeliharanya sejadi-jadinya.

Ada rasa takut yang mesti dipelihara dalam kehidupan, yaitu rasa takut kepada Ilahi. Rasa takut kepada Sang Pencipta rasa takut itu sendiri.

“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” (QS. Al-Maidah: 44).

Dengan adanya rasa takut kepada Ilahi akan membuahkan rasa tunduk dan patuh kepada perintah-Nya. Takut akan azab-Nya yang tiba kepada orang-orang yang melawan dan melanggar perintah-Nya, serta yang tidak meninggalkan atau yang tidak menjauhi larangan-Nya. Takut seperti inilah yang mesti ada dalam diri yang menyebabkan ada maqam takut (khauf) sebagai tingkatan perjalanan rohani seorang manusia beriman. Akibat takut itu yang dirindukan itu ia semakin menyempurnakan diri sebagai abid. Maka manusia sepeeti ini dapat disebut sebagai abdullah (hamba Allah).

Setiap mukmin sejatinya memelihara rasa takutnya tersebut agar ia dicintai Tuhannya. Takut berbuah cinta itu membuat ia“ditakuti” semua makhluk. Karena jika hanya menyandarkan rasa takut kepada-Nya semata, maka semua yang ada akan merasa “takut” dan cinta kepadanya.

Ada pula rasa takutnya yang mesti dibuang dalam kehidupan, yaitu rasa takut berlebihan pada makhluk, baik berupa raja dan yang sebangsa dengannya atau kepada makhluk lain seperti jin, setan, dan makhluk terror lainnya. Ketakutan over dosis pada makhluk-makhluk seperti ini dapat saja mengubah kadar iman seseorang. Takut seperti ini dapat menyebabkan seseorang menderita kesyirikan karena ia tidak takut sejati. Takut bersangatan kepada selain Ilahi menyebabkan manusia dipandang syirik atau menyekutukan Tuhan. Karena inti dan sejati ketakutan sejatinya hanyalah kepada Dia yang menciptakan rasa takut itu.

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. Al-Imran: 175).

Ketika Nabi Muhammad Saw bersama Abu Bakar Al-Shiddiq sedang berlindung di Gua Tsur dari kejaran para musuh Allah, manusia pilihan Allah Swt itu menasehati sahabat karibnya tersebut dengan ucapan penyemangat yang tiada tanding dan banding, “la takhaf wala tahzan innallaha ma’ana”; jangan takut dan jangan sedih, sesungguhnya Allah bersama kita!

Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi derajatnya, jika kamu orang beriman. (Q.S. Ali Imran:139)

Kata Jalaluddin Rumi. “Meskipun aku diam tenang bagai ikan, tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan,” Demikian juga, aku, kau dan kita agaknya…. Ya, agaknya.

Kata Rumi lagi, “Kenapa aku harus takut? Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.”

Wallahu a’lam.

Baca : Beraskunyit Afrizalcik

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *