Hujan Kepala Tikus

Hang Tuah

BUMI tenteram tetiba heboh. Hujan deras sangat lebat. Lebatnya amat keras. Langit bergemuruh. Petir kilat sambar-menyambar. Herannya, bukan air yang turun dari gumpalan awan pekat kelabu. Atau dari langit yang tinggi. Tetapi kepala-kepala tikus jumbo yang berjatuhan dan berterbangan. Menghantam dinding-dinding rerumah dan bangunan kokoh. Berserakan di rerumputan hijau, di pasir, di bebatuan dan suak sungai.

Dari planet mana ini dilemparkan?

Di tengah kecamuk hujan kepala tikus, para pemangku bumi menatap tajam dan cemas ke langit. Hujan kepala tikus berkecamuk, otak di kepala para pemangku bumi juga penuh kecamuk. Rerumputan dan rerimbunan pohon, tanah lahan, hutan rimba, bebatuan dan pasir, bukit dan gunung, awan, suak sungai dan laut sampai rerumahan dan bangunan; terus bertanya-tanya. Kenapa mereka dikirimi hujanan kepala tikus jumbo? “Apa salah dosa kami? Kepala makhluk menjijikkan ini dikirim dari mana planet mana?”

Banyak planet di atas langit sana.

Sebagian besar tidak percaya. Ada planet di sana bisa mengirimi dan menghunjam bumi dengan hujanan kepala tikus. Mereka tidak percaya. Ini bukan budaya makhluk planet. Kalaupun planet mengirim ancaman atau mencelakan bumi, mereka tidak mengirim isyarat yang supersarkas sekasar begini. Seperti mengirim kepala-kepala tikus ini. Ini sangat tidak beradab. Planet akan melakukannya dengan elegan walau sejahat apa pun pesan atau ancaman yang akan mereka antar. Soal yang lebih membuat pemangku bumi itu tidak percaya, di planet tidak ada makhluk hidup. Termasuk tikus. Tetapi ~ yang terus tetap jadi pertanyaan, kenapa kepala tikus ini jadi hujan turun dari langit?

Para pemangku bumi saling curiga.

Mereka lalu saling tuding telah ada yang membuat persengkongkolan jahat dengan planet di atas sana. Rerumputan menuding bebatuan. Bebukitan menuduh sungai dan laut, dan seterusnya. Saling salah menyalahkan. Lantas semua diminta bersaksi. Masing-masing membuat pengakuan di tengah kecamuk hujan lebat hunjaman kepala tikus itu.

Rumah dan bangunan lalu tegak, meminta masing-masing pemangku bumi memberikan pengakuan dan kesaksian.

“Silakan rerumput berikan kesaksiamu!”

Pengakuan rerumputan : aku memang mengirim asin masin ke atas awan sana. Menyemai garam-garam di angkasa. Tetapi maksud aku, agar awan segera tumbuh subur di atmosfira. Bergumpal-gumpal. Jadi hujan. Bila awan-awan mengirimkan hujan, bukan rerumputan saja yang dapat curahannya agar jadi subur dan hijau. Tetapi tanah lahan bebatuan bukit gunung tidak akan tandus gersang kan kekeringan.

“Lanjutkan kesaksian hutan rimba!”

Pengakuan hutan rimba : kami tidak pernah melakukan komunikasi apa pun dengan makhluk lain yang di atas langit. Lihatlah, kami: hutan rimba sudah binasa semua. Sudah habis dimusnahkan. Kami tidak bisa bercakap banyak. Tidak melangkah ke mana-mana. Akar-akar sudah tercerabut. Dedaun sudah membusuk. Pun tidak ada yang tertarik mendekati kami lagi setelah kami berhasil banyak menciptakan orang-orang kho sing menjadi saudagar-saudagar terkaya di dunia.

“Lanjutkan kesaksian awan dan hujan!”

Pengakuan awan dan hujan : Kami memang berada paling atas di antara semua pemangku bumi. Tidak ada lagi yang berada di atas kami kecuali planet-planet yang tinggi atau satelit yang diantar dari bumi, atau juga pesawat terbang yang dilayangkan dari bumi. Menurut kesaksian kami, bukan planet yang tinggi atau satelit yang mengirimkan hujan kepala tikus ini. Benda angkasa pada masa sekarang ini cuma bisa mengirimkan meteor. Kecuali nanti ~ mungkin: bisa kirimkan kiamat. Sedangkan satelit-satelit atau pesawat terbang cuma bisa mencampakkan kerak-kerak serpihan teknologi.

Jadi apa? Siapa yang mengirim hujan ini?

Suara pemangku bumi riuh. Meminta keterangan lebih pasti. Tetapi awan cuma bisa memberikan pengakuan sebatas itu. Dia meminta bangunan meminta kesaksian yang yang lain lagi.

: Sungai dan laut silakan berikan kesaksian!

Pengakuan sungai dan laut : Kami tidak tahu-menahu. Kami tidak dapat kiriman hujan kepala tikus. Cuma kami dapat dampaknya saja. Kepala-kepala tikus yang membusuk itu mengalir lewat sungai suak dan sungai. Lalu juga mencemari lautan. Kami rasa, hujan kepala tikus yang disebutkan turun dari langit itu: ini bukan dari uap yang kami titipkan dari laut.

Semua kemudian tertuju pula pada bebatuan  dengan pasir dan bebukitan dengan gunung. Kedua rumpun pemangku bumi ini belum memberikan kesaksian.

: Silakan pasir dan bebatuan beri kesaksian!

Pengakuan pasir dan bebatuan : Terlebih dulu kami mohon dimaafkan. Sebab kami macam tidak ambil tahu. Hendak dikatakan tahu kami tidak tahu. Hendak dikatakan tidak tahu kami pula macam tahu. Namun untuk tuan dan puan semua tahu, sebetulnya kami ini tidak tahu-menahu. Kecuali kami pernah melihat, rerumah dan bangunan pernah mengirimkan atau mengantar kelinci-kelinci ke atas bebukitan dan gunung-gunung yang tinggi. Itu expedisinya lewat pasir dan bebatuan. Jadi walau agak sedikit seketul pun kami tahu juga. Cuma kami tak paham, apakah kelinci-kelinci yang diantar ke bebukitan dan gunung itu untuk diternak atau untuk disembelih? Kami tak dapat informasi itu.

Suasana makin tegang. Semua tertuju pada bebukit dan gunung. Semuanya pun tidak berani menuduh bukit dan gunung sembarangan. Mereka gerun pada gunung. Sebab gunung tinggi besar menjulang. Apatah lagi kekadang mereka bisa mengaum dalam menguap. Meradang sambil muntah-muntah kuning. Berkepul-kepul asap keluar dari kepundan hidungnya. Sekali saja mereka menguap, kering kerontang dibuatnya hamparan padang lebih luas daripada mata memandang di bawahnya. Apatah bila mereka batuk dan muntah, kiamat awal pun terjadi dalam seketika. Diberi berdehem pun mereka tak boleh.

Dalam diam penuh ketegangan itu dalam benak dan hati para pemangku bumi penuh kecamuk pula. Mereka bertanya-tanya sendiri. Tak terlepas keluar dari mulut.

“Apatah kelinci bisa diternak di atas gunung yang tinggi lagi sangat panas dan kering itu? Kalaulah memang betul kelinci yang halal itu dibawa dan disembelih di atas gunung sana kenapa pula kepala tikus yang haram dicampakkan berterbangan di atas rerumputan, pasir, bebatuan, rumah dan bangunan?”

Tidak ada satu pun yang berani bertanya pada gunung.

Rumah dan bangunan yang jadi penengah dalam pertemuan ini pun tidak berani minta pengakuan secara langsung pada gunung yang di matanya juga tampak sangat garang. Sebab dia pun bertanya-tanya dalam hati soal kelinci-kelincii yang sudah dia amanahkannya pada gunung itu.

Dengan wajah dinding-dindingnya agak kecut, bertepek-tepek pula ceceran hujan darah kepala tikus, bangunan meminta semua pemangku bumi maklum : ini adalah takdir alam. Bukan dampak dari pembangunan kehancuran. Masing-masing lalu diminta membubarkan diri. Lalu masing-masing melangkah dengan kecut lisut di tengah guruh petir dan hujan lebat yang masih berkemacuk.

Sambil balik ke laut, laut menggerutu sendiri:

“Kekuasaan, macam inilah jadinya bila diberikan pada tangan yang salah. Kelinci pun bisa berubah jadi tikus.” ***

Alam Mayang, 2021

Baca : Pantun Kelakar Tenas Effendy

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *