Hang Tuah vs Hangtuah

Hang Tuah

Hang Tuah boleh bohong
Hangtuah tidak

Hang Tuah boleh sombong
Hangtuah tidak

Hang Tuah boleh cukong
Hangtuah tidak

***

BASIR. Si petani kelapa.

Sangat takjub pada Hang Tuah. Dia hendak kawin, Hang Tuah beri utang. Istrinya melahirkan, Hang Tuah beri utang. Makan keluarganya sehari-hari, Hang Tuah beri utang. Mau beli pakaian sehelai di badan pun, Hang Tuah beri utang.

Malah sejak ayah dan datuknya ~ dulu-dulu itu ~ atuk-ayahnya Hang Tuah juga yang beri utang.

Dia ~ ayah dan datuknya ~ cukup mengolah dan mengolah kebun kelapa warisan pusaka berbidang-bidang. Baju basah kering di badan. Asal buah kelapa jangan jatuh ke lain orang.

Apakah kalau Hang Tuah tak beri utang, Basir dengan keluarganya tak dapat makan dan telanjang?

Awak cuma punya nyawa dan badan. Kehidupan utang yang punya. Awak cuma kerja dan kerja. Kebun utang yang punya. Malah anak dan cucu yang akan didatangkan lagi ke bumi ~ terus-menerus, utang juga yang punya. Bukan takdir. Cuma ini memilih nasib : menggantung napas dan nyawa turun-temurun pada juragan utang.

Siapakah sebetulnya yang berutang?

Basir. Tidak pernah dia kenal ada Hangtuah lainnya selain Hang Tuah. Dia pun tak pernah tahu ada Hangtuah lain di tempat lain. Kalaupun ada pun Hangtuah lain dia menganggap Hang Tuah itu cuma ada satu. Dia pun cuma perlu satu. Hang Tuah Sang Toke Kopra. Juragan besar kelapa besar di pesisir Sumatera. Di kuala Indragiri yang muaranya menghala pulau-pulau segantang lada. Di ujung Barat Laut Cina Selatan, yang lautnya diklaim Cina.

Beginilah nasib Basir dan banyak Basir

Sebelum terhampar di mana-mana kelapa sawit, berbagai kawasan di nusantara orang lebih dulu kenal kelapa kampung ini sejak lama. Kebun rakyat membentang luas di mana-mana di pesisir Timur Sumatera. Bisa dijadikan minyak goreng, santan, dan berbagai olahan industri ringan lainnya.

Warga muara Indragiri lebih memilih jual kelapa disalai dulu di langkau, atau di para besar. Diasap dengan tempurung atau sabut kelapa di bawahnya. Untuk dijadikan kopra. Lalu diantar ke gudang juragan kopra. Timbang beratnya. Berapa kilogram. Lalu masuk ke dalam buku catatan di toko juragan. Lebih kurang saja. Entah siapa dapat lebihnya. Entah siapa dapat kurangnya. Basir tidak pernah mau peduli betul. Betul atau salah hasil timbangan. Betul atau salah catatan di buku juragan.

Yang penting juragan masih terus mau beri utang.

Panen satu trip tiga bulan sekali. Sekali panen digunakan untuk makan tiga bulan untuk satu keluarga. Keluarga di sini selalu pula bukan keluarga kecil – yang terdiri dari ayah ibu dan anak-anak saja. Tetapi selalu ada atuk dan nenek. Ditambah lagi saudara ayah atau saudara ibu.

Cukup untuk makan tiga bulan sekali panen?

Ya, dicukup-cukupkanlah. Dulu, lingkungan sekitar rumah serta suak, sungai, dan laut sangat membantu. Cucuk tampang ubi di tanah di samping rumah, tumbuh. Campakkan akar bayam dan kangkung ke tanah di samping rumah, tumbuh.

Pergi ke sungai, tebar jala udang atau bentang jaring ikan, selalu saja sekali turun ke sungai dapat untuk makan sekeluarga selama dua tiga hari. Malah tidak jarang hasilnya bisa dijual pula. Itulah usaha untuk memenuhi hajat hidup selama tiga bulan. Pakai tumpangsari mata pencarian.

Sekarang?

Sebelum ke sekarang, awal 1980-an, warga muara Indragiri yang berkebun kelapa sempat bersuka cita. Ada investor masuk. Mereka menyebutnya toke besar. Pulai Sumbu. Toke dari banyak toke. Tuan toke itu akan membangun kilang besar, pabrik modern, industri pengolahan kelapa, di daerah ini.

Angin segar pun bertiup. Selain harga kelapa atau kopra akan meningkat tajam, perusahaan pun akan banyak menampung tenaga kerja tempatan.

Apa yang terjadi kemudian?

Perusahaan memang berdiri megah. Dermaganya besar. Dari kejauhan di tengah laut atau dari seberang kuala, sudah tampak berkilauan. Dari dekat tampak sarana dan peralatan pengolahan kelapa.

Namun kenyataan kemudian tidak sesuai angin segar yang dihembuskan. Tenaga kerja tempatan dinomorsekiankan. Harga kelapa petani tetap ditekan. Lebih-lebih pada waktu keramaian. Pada masa pesta rakyat yang berpekan-pekan. Nasib petani makin tak karuan. Tidak bisa jual ke pembeli atau penampung lain, kecuali kepada kaki tangan konglomerat. Sebab perusahaan-perusahaan bumi putera pun sudah lama sekarat. Sejak usaha kelapa dimonopoli konglomerat.

Sekarang;

Seiring dengan kebun kelapa semakin menua, air laut makin jauh naik ke darat, lingkungan di mana-mana sudah tercemar berbagai noda limbah beracun, bukan saja buah kelapa yang berkurang, tetapi sayur-mayur – tanaman muda – tidak dapat ditanam dan tumbuh lagi. Sedangkan hasil sungai dan laut makin punah.

Sungai dan laut. Selain dibinasakan limbah industri ~ sawit, sagu dan kelapa juga, dirusak pula oleh oknum-oknum penangkap ikan udang di suak-sungai-laut, yang sesuka syahwat perut mereka menggunakan alat tangkap yang memunahranahkan.

Tabur racun pakai borak dan sejenisnya di hulu sungai. Lalu sodok pakai jaring tangguk ambai di hilir sungai tarik ke hulu sungai. Usahkan emak bapak datuk ikan udang ketam kerang, cucu cicit ikan udang ikan ketam kerang sampai ke lubuk-lubuk paling palung pun punah-ranah dibuatnya.

Tidak ada pejabat-aparat tempatan yang peduli dengan kondisi ini.

Hebatnya Basir. Apa yang akan terjadi pada anak cucu cicitnya nanti dia tak peduli. Persetan dengan hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun ke depan untuk zuriat keturunnya nanti. Yang penting, apa yang dapat dikais hari ini dimakan untuk hari ini.

Basir dan Basir-Basir lainnya pun tidak peduli. Kebun-kebun mereka sebidang demi sebidang yang tergadai pada juragan nyaris tidak ada satu bidang pun yang bisa ditebus lagi. Mau diambil lagi? Siap-siaplah harga tebusan yang dilambung tinggi. Hitung bunga, hitung tebas hitung rambah, hitung tahun-tahun yang sudah berganti.

Akhirnya tetap berakhir dengan gigit jari.

Kebutuhan hidup semakin tinggi. Harga kebutuhan pokok semakin melambung. Pencarian semakin payah dicari. Anak-anak sekolah-sekolahnya perlu disambung. Yang sudah besar minta dikawinkan pula lagi.

Akhirnya kebun demi kebun digadaikan.

Nasib kebun yang digadai di negeri yang dicuai tak diapek para pejabat ini selalu sama. Sebidang kebun dibagi dua. Sebelah bidang dikuasai juragan. Segala hasilnya dia kuasai. Sebelah bidang tersisa dikuasai Basir. Dari hasil yang sebelah inilah Basir gunakan untuk makan sekaligus untuk menyecil utang.

Wajarkah? Waraskah? Normalkah?

Bukan saja soal bagaimana ~ wajar tidaknya, normal tidaknya ~ caranya Basir mencukupi makan minum anak bininya keluarganya sehari-hari sekaligus mencicil utang pada juragan, tetapi teori praktek pegadaian model begini diadopsi dari alam mana? Waraskah?

Sistemik pemiskinan sangat luar biasa.

Ketika Hang Tuah sangat kuat kuasa
kenapa Hangtuah belum muncul juga?

Belalah Basir-Basir yang papa.
Selamatkan hajat hidup jelata.

Jangan tunggu Hangjebat
keluar dari penjara.***

Pulau Busung, 2021

Baca : Gurindam Berdaulat

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *