Harapkan burung antarbenua
Burung lokal punah dipelasa
Setelah barau hilang jejaknya
Murai pula bakal musnah
PAGI lagi hari. Seekor burung murai terbang pendek. Bagai menari-nari dari satu pohon bakau ke pohon bakau yang lain. Berkicau-kicau berdendang riang; di anak bakau hutan mangrove sekitar Jalan Pelantar Puleh Igal. Cukup jinak.
Igal, desa di Kuala Indragiri. Di kualanya Pantai Solop.
Hari itu. Seorang anak muda kampung, tidak berbaju, yang semula tengah duduk mencangkung – mungkin masih mengira untung hari ini, tiba-tiba saja berlecup masuk ke dalam rumahnya. Lantas keluar lagi dalam sejenak seraya membawa sebuah senapan lantak. Dalam sekejab dia sibuk mengongkang senjatanya.
Perhatian orang-orang di sekitarnya pun langsung terarah padanya dan pada sang burung murai.
Ada yang mendekat, ada pula yang berkomentar. “Wai, dapat rezeki Rp300 ribu pagi ini,” ujar seorang ibu-ibu, nyeletuk.
Sang anak muda pun dengan gagahnya membidik murai, seperti Vic Morrow dalam serial Film Combat. Keplakk! Macam bunyi senapan pelepah pisang, “Vic Morrow” melepaskan peluru.
Tidak kena.
Sang murai yang tersentak, cepat terbang membumbung. Hinggap di ranting paling atas pada sebatang pohon bakau yang paling tinggi. Sampai di situ, sang murai pun sibuk berkicau lagi. Riuh sekali. Panjang sekali. Temponya pun lebih cepat. Cuma, kalau tadi dia berdendang riang. Tetapi sekarang agaknya sudah “memaki-hamun”.
Celakalah dikau Vic Morrow kampung. Kerjanyamu memunahkan saja! Bukan melestarikan…”
PAGI juga hari lagi.
Sekitar pukul sembilan. Sebuah speed board keluar dari sebuah suak di Mandah, singgah di Pelantar Pulau Cawan, mengambil penumpang – Masih di Inhil. Seorang calon penumpang, pakai jaket coklat, topi coklat berlambang sebuah partai – mungkin ingin menunjukkan bahwa dia anggota atau orang penting; dengan gagahnya, senyum-senyum turun tangga seraya menenteng sebuah kardus Indo Mie.
Lagi-lagi ada saja yang nyeletuk. “Wah! Banyak bawa murai ini..” Lelaki bertopi dan berjas partai itu cuma nyengir menuruni anak tangga kayu, naik ke speed board.
Kalau dulu orang-orang sudah tahu, kotak yang begini isinya ketam@kepiting. Tetapi sekarang juga, orang sudah maklum, yang begini ini burung. Utama sekali burung murai.
Beginilah selalu terjadi. Terjadi dan terjadi lagi. Burung-burung yang ditangkap dan dibeli dari orang-orang kampung dibawa ke kota, hanya menggunakan kota-kotak kardus kecil yang dilubang-lubang kecil.
Tidak ada ada polisi yang memantau mereka, tidak ada aktivitas lingkungan yang menyergap mereka.
Cuma, mungkin ceritanya kalah seru saja, sebagimana berita flora dan fauna tentang 22 burung kakak tua jambul ditangkap di Maluku dan Papua dan diseludupkan ke Jakarta dengan memasukkan burung-burung itu ke dalam botol aqua yang pas-pas badan burung.
Tidak usah untuk dapat melunjurkan kaki atau mengepakkan sayap atau menggelengkan jambul mahkota. Untuk bernapas saja burung-burung ini susah sekali. Tidak heran, dari dua puluhan itu, sudah belasan yang mati (DetikNews, 6/5).
Peristiwa tragis begini bukan saja terjadi di Indonesia Timur, Maluku atau Papua. Tetapi di mana-mana, di Indonesia. Seeloknya, daripada unggas atau satwa lainnya musnah, lebih baik para pemburu ini dipunahkan dulu, seperti burung-burung itu. Masukkan ke kotak atau botol. Sampai bergelimpangan.
Kalau kurang kuat pada undang-undang dan peraturannya, kenapa tidak dilahirkan UU baru tentang Satwa Dilindungani? ***
Baca : Rumah Singgah Burung