Membela Agama, Membela Kemanusiaan

Pemuda

ADALAH Imam al-Syatibi, seorang ulama yang lahir di Spanyol dan penggagas teori maqâshid alsyarî’ah, yang menyebutkan bahwa tujuan penting dari beragama adalah menciptakan mashlahâh bagi manusia dan mencegah kerusakan. Ulama yang memiliki nama lengkap Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi ini, mencoba melakukan pemahaman ulang terhadap tujuan-tujuan penetapan hukum Islam atau Syariah oleh Allah, yang menurutnya, tidak lain adalah demi kemanusiaan.

Konsep tentang mashlahâh ini, memiliki makna memberi manfaat. Ia memiliki akar kata yang sama dengan kata shalih, yang menunjuk pada keindahan dan kebaikan. Sehingga, Ibn Faris mendefiniskan kata shalih ini adalah sesuatu yang oleh agama dan manusia dianggap sebagai perbuatan baik. Kata mashlahâh ini, kemudian diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi “kemaslahatan”, maknanya adalah kegunaan, kebaikan, manfaat, dan kepentingan.

Kata kemaslahatan ini, berlawanan dengan kata kerusakan (fasād, mafsadat). Kerusakan ini berarti sesuatu yang tidak memiliki manfaat bagi dirinya, orang lain dan lingkungan alam sekitarnya. Perilaku yang merusak selalu ada dalam diri orang yang beragama. Ia akan selalu berupaya memberikan rasa sakit dan siksaan pada yang lainnya. Dengan demikian, mashlahât secara hakiki adalah segala kenikmatan dan kesenangan baik bersifat jasmani atau ruhani, secara akal maupun jiwa. Sedangkan hakikat mafsadât, lawan dari mashlahât adalah segala rasa sakit dan siksaan, baik bersifat jasmani maupun ruhani, akal maupun jiwa.

Jika agama diturunkan Allah untuk membela manusia, lalu bagaimana dengan orang-orang yang beragama kemudian merusak kehormatan manusia lainnya dengan alasan “membela Allah”? Lebih-lebih dalam kondisi bangsa Indonesia yang memiliki ragam faham, aliran, dan agama, apakah relevan menegasikan pembelaan atas kemanusiaan, dengan alasan membela kemulyaan agama tertentu?

Ketika ada sekelompok umat beragama berusaha membela agamanya demi membela Tuhannya, namun menyerang sisi kemanusiaan; mencaci, menindas, merusak, menyerang, maka layak bagi kita untuk memahami ulang pesan Imam Al-Syatibi di atas.

Pembelaan kita atas agama yang kita yakini kebenarannya, selayaknya berdiri di atas semangat untuk mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan itu sendiri. Tidaklah heran jika kemudian Habib Ali al-Jufri kemudian menulis sebuah buku yang indah, yang berjudul al-Insaniyyah qabl at-Tadayyun (kemanusiaan sebelum keberagamaan). Pesan utama dalam buku ini adalah bahwa agama dan kemanusiaan memiliki kaitan yang sejalan, karena memang misi utama agama adalah kemanusiaan itu sendiri.

Ketika Syekh Ahmad Badruddin Hassoun, Grand Mufti Suriah berpidato di hadapan para Anggota Parlemen Eropa, beliau menyatakan “Jika ka’bah di rusak, masih bisa diperbaiki. Jika masjid dirusak, masih bisa dibangun kembali, jika gereja dibakar masih bisa dibangun kembali. Tetapi jika manusia dibunuh, dirusak, dibakar, maka siapa yang bisa menggantikannya?

Islam hadir, kata Muḥammad az-Zuḥaili, untuk mewujudkan kebahagiaan bagi kehidupan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Demikian pula kata Ibn Asyur, bahwa agama memuat seperangkat ajaran dan perbuatan yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan.

Kebahagiaan akan terwujud jika kita bersama sama berupaya membangun dan memperjuangkan sisi kemanusiaan kita; saling memberi, memaafkan, saling menghargai, menghormati, tidak menzhalimi, adil, dan seterusnya. Klaim atas membela Tuhan atau Agama, justru menjadi monopoli bagi sekelompok elit umat beragama, yang tidak jarang hanya untuk membela kepentingan kelompok elit itu sendiri. Karena membela Tuhan, tidak boleh melabrak nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Membela agama, harus berdiri tegak di atas semangat nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan, serta dalam konteks Indonesia, menjaga kebhinekaan. Wallahu a’lam bi al-Shawab ***

Baca : Beragama yang Beradab

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *