Relasi Kuasa tidak Seimbang atas Perempuan

Pemuda

MINGGU terahir ini, kita cukup dihebohkan dengan mencuatnya pemberitaan tentang kasus Herry Wirawan (HW) yang telah melakukan pemerkosaan terhadap 12 (bahkan belakangan ada yang menyebut 21) santrinya di salah satu Pondok Pesantren di Bandung. Kontan saja, dunia pendidikan pesantren tercoreng karenanya. Perilaku bejat guru agama ini, tidak saja dilakukan kepada perempuan usia di bawah umur, usia 15 – 17 tahun, namun juga menjadikan anak-anak yang dilahirkan dari perkosaan itu, ada 8 atau 9 anak, dijadikan “symbol” anak-anak yatim, sebagai media promosi mencari donasi.

Meskipun sesungguhnya, kasus serupa ini, telah banyak terjadi dalam dunia pendidikan. Bahkan dalam catatan Komnas Perempuan, pesantren menempati urutan kedua terkait dengan kasus kekerasan seksual setelah universitas atau perguruan tinggi. Sepanjang tahun 2015 – 2020, terdapat 51 aduan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan di Indonesia; 27% di Universitas atau Perguruan Tinggi, 19% terjadi di Pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam, 15% terjadi ditingkat SMU/SMK, 7% ditingkat SMP, dan 3% di beberapa lembaga pendidikan TK, SD, SLB dan Pendidikan berbasis agama Kristen.

Data di atas, tentu saja data yang “nampak”. Karena Komnas Perempuan memperoleh data itu ketika memperoleh pengaduan atau berdasarkan laporan dari korban atau masyarakat. Karenanya, kasus-kasus itu hanyalah fenomena “gunung es”, yang di dalamnya, bisa jadi lebih banyak lagi peristiwa yang mengenaskan bagi perempuan.

Uniknya, narasi-narasi yang muncul kemudian adalah bahwa sang pelaku merupakan paham Syiah, yang diyakini oleh kelompok yang berbeda dengan mereka, dianggap memiliki pandangan “melegalkan” seks bebas (nikah muth’ah). Tentu saja, Ahl Bait Indonesia (ABI), sebagai organisasi yang menaungi kaum Syiah di Indonesia, kemudian menolak anggapan itu.

Terlepas dari polemik itu, sekali lagi, perempuan menjadi korban dengan modus agama. Pelaku menggunakan agama sebagai pelindung atas perilaku bejatnya. Para pelaku agama, seringkali menjadikan agama sebagai modus untuk melampiaskan nafsu bejatnya. Konsep tubuh perempuan yang harus ditutup rapat, karena mengundang fitnah, tidak lagi berlaku pada kasus-kasus di atas. Anggapan bahwa perempuan sebagai sumber kejahatan bagi kaum laki-laki, sekali lagi, harus peti es kan.

Misalnya, seorang pakar Hadis, Muhammad Nasiruddin Al-Bani yang menulis buku Hijab al-Mar’ah al-Muslimah fil Kitab wa as-Sunnah, menyebutkan dengan terbuka bahwa perempuan tidak boleh menampakkan daya tarik kewanitaannya, karena akan mendatangkan kejahatan bagi kaum laki-laki. Dalam kasus di atas, benarkah para santri itu menunjukkan daya tariknya?

Sangat berbahaya jika kemudian ada dogma yang mendasari seseorang untuk melakukan pemerkosaan tersebut. Misalnya di WA ada seorang Ustadz yang mencoba mengajak untuk menikmati budak, sebagaimana terjadi pada pra-Muhammad. ISIS dikhabarkan telah mempraktikkan kebiasaan ini.

Istilahnya adalah milk al-Yamin, sebuah konsep kepemilikan seorang tuan, laki-laki atas seorang budak, perempuan. Konsep kepemilikan ini, menyasar pada pembolehan untuk melakukan hubungan intim dengan sang budak. Meskipun banyak konsep tentang istilah itu, misalnya tidak semua istilah milk al-Yamin itu berkaitan dengan hubungan seksual (lihat QS. 24:31). Meskipun demikian, bukankan Islam sejak awal memiliki komitmen untuk menghapuskan perbudakan? Nabi Muhammad muncul untuk menghapuskan seluruh bentuk perbudakan, khususnya perbudakan formal seperti yang pernah terjadi pada saat sebelum kenabian beliau.

Kuatnya kultur patriarkhi, menambah runyamnya relasi perempuan dan laki-laki. Hegemoni kaum laki-laki atas perempuan, tidak saja di amini oleh pendidikan, agama, Negara, juga masyarakat. Pada tataran ini, posisi perempuan yang selalu dipuja, namun sekaligus direndahkan. Konsepsi akan keindahan tubuhnya, yang mempesona dan penuh kesenangan, namun pada saat yang sama lalu dieksploitasi demi hasrat diri dan keuntungan semata. Doktrin bahwa “surga di bawah telapak kaki Ibu” di satu sisi, justru “kalah” oleh keharusan tunduk sepenuhnya kepada suami; dia tidak boleh ke luar rumah sepanjang suami tidak mengizinkannya, meski untuk menengok orang tuanya yang tengah sakit bahkan sampai meninggal sekalipun. Pada puncaknya, relasi ini ditutup dengan kalam bahwa Isteri tidak boleh menolak manakala suami menginginkan tubuhnya, kapan dan di mana saja.

Begitu pula, relasi kuasa yang tidak seimbang itu, terjadi antara guru (laki-laki) dan murid (perempuan). Relasi ini, seringkali menjadi ajang bagi seseorang untuk memanfaatkannya. Oleh karenanya, jika terdapat relasi yang tidak seimbang, sudah pasti ada ketertindasan dan penguasaan yang hegemonic. Seorang guru bisa memperlakukan siswanya atau santrinya, karena ia memiliki kuasa atas “tubuh” santri atau siswanya.

Relasi kuasa ini yang pertama bersifat hierarkis, yaitu adanya kondisi powerfull dan powerless. Dalam hal ini murid merasa ada kewajiban tunduk dan patuh terhadap guru atau ustaz. Pelaku merasa memiliki kekuatan lebih tinggi untuk berperilaku sewenang-wenang, memberikan perintah bahkan mengancam. Kedua relasi yang menimbulkan ketidakberdayaan; yakni secara ekonomi mereka “dibuat” tidak berdaya oleh Sekolah atau Pesantren itu. Janji pendidikan gratis dan memperoleh pendidikan hingga jenjang Menengah Atas, membuat ketidakberdayaan mereka semakin kuat.

Dampak psikologis dari pemerkosaan itu, dugaan saya, pasti tidak akan terlupakan dalam sejarah kehidupan anak-anak itu; di satu sisi ketidakmampuan menerima rasa malu atas “hasil” dari pemerkosaan itu, di sisi lainnya ketakutan atas ancaman yng diberikan oleh sang guru, kemudian pada saat yang sama korban sudah pasti akan kesulitan menjelaskan kepada orang tua dan masyarakat akan kondisi dirinya.

Betapa bejat perilaku orang-orang yang telah “membunuh” masa depan anak-anak perempuan itu. Pemerintah juga harus ikut bertanggungjawab atas peristiwa yang menimpa “tubuh-tubuh suci” itu. Dari Rahim mereka lah akan melahirkan para pemimpin masa depan bangsa ini. Pemerintah harus mampu memperkuat ketidakberdayaan para santri perempuan, dengan menjamin pendidikan mereka secara layak. Bukankah Undang-Undang telah mengamanatkan demikian, bahwa semua warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan. Jaminan Negara menjadi sangat penting, agar relasi ketidakberdayaan itu, hilang. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca :Agama” Pancasila?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *