Moderasi Beragama; Ancaman bagi Islam?

Pemuda

SEBUAH video singkat yang tersebar di beberapa WA pribadi dan WA Group, bahkan di internet tersebar luas narasi tentang bahayanya logika moderasi beragama yang saat ini sedang diarusutamakan oleh pemerintah, terutama oleh Kementerian Agama RI. Dasarnya adalah proyek yang selama ini dikembangkan oleh Rand Cooperation, sebuah lembaga nirlaba yang mewadahi para peneliti tentang kebijakan global. Dalam catatan Wikipedia, Lembaga yang berkantor di Amerika Serikat ini, didirikan tahun 1948 oleh Douglas Aircraft Company untuk membantu Angkatan Bersenjata Amerika Serikat di bidang penelitian dan analisis.

Pelan namun pasti, riak-riak ketidakpuasan sebagian umat Islam atas pengarusutamaan moderasi beragama kian kuat. Cibiran bahkan pengafirmasian bahwa moderasi beragama bukanlah berasal dari Islam, semakin menunjukkan gejala yang cukup massif di masyarakat. Isu liberalisasi dan westernisasi, menjadi menguat atas hal ini. Sebuah hal yang sangat lazim bagi beberapa kelompok Islam yang sangat menentang hal-hal yang berasal dari Barat.

Demokrasi dan Hak Azasi Manusia, termasuk di dalamnya adalah kebebasan beragama dan kesetaraan gender, seringkali dianggap sebagai “modus” penghancuran Islam. Sesiapa yang mendukung atau berada pada posisi menyuarakan isu ini, maka ia sudah pasti akan di“cap” sebagai liberal, dan liberal itu kafir, karenanya ia patut untuk dimusuhi.

Jika diperhatikan lebih mendalam dari apa yang disuarakan oleh mereka yang menentang moderasi Beragama ini, bertolak pada keterusikan mereka atas misi pendirian khilafah. Keinginan yang begitu kuat untuk mendirikan khilafah ini, diasumsikan akan dapat menerapkan Islam secara kaaffah. Sebagaimana ujung tulisan Najmah Saidah dalam suaramubalighah.com mengatakan “Semua ini hanya mungkin dilakukan jika syariah Islam diterapkan secara total dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwah. Telah sangat jelas sesungguhnya bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk mengamalkan Islam secara kaaffah, ajaran Islam yang dicontohkan dan dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw, bukan Islam moderat. Baik menyangkut kehidupan pribadi, keluarga, maupun ketika bermasyarakat dan bernegara. Dengan kata lain, kita diminta untuk mengatur seluruh urusan kehidupan dengan Islam”.

Begitu juga penegasan Budi Mulyana dalam al-waie.id yang menuliskan bahwa “Strategi RAND Corporation dalam Menghalangi Pendirian Kembali Khilafah”. Tembakan tulisan ini jelas, bahwa mereka yang mengusung moderasi beragama dianggap sebagai upaya penghancuran Islam dari dalam, karena akan berseberangan bahkan bertentangan dengan cita-cita mendirikan khilafah. Kelompok ini, meyakini dengan sangat kuat bahwa dengan berdirinya khilafah Islam, maka seluuh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan melaksanakan Islam secara kaaffah.

Konsep ini tentu saja jelas akan bertentangan dengan moderasi beragama yang memang mengusung penguatan akan komitmen kebangsaan. Lunturnya semangat kebangsaan kita saat ini, diantaranya adalah gelombang narasi pendirian khilafah islam itu sendiri. Bagaimana mungkin Negara Indonesia yang sudah disepakati besama sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negaranya, kemudian diganti dengan system Khilafah? Jika pun sudah terbentuk Khilafah, lalu siapa yang akan menjadi Khalifahnya? Bagaimana Prosedur Pemilihannya? Apakah sama dengan Model Abu Bakar, atau Umar bin Khatab, atau model pemilihan Utsman bin Affan? Atau seperti Raja-raja di Saudi Arabia? Jelas pilihan yang sangat sulit, sebagaimana kata Gus Dur, cita-cita ini menjadi Ilusi.

Konsep kaaffah sendiri, para mufasir memiliki pandangan yang beragam pula. Udkhulu fi silmi kaaffah, masuklah dalam Islam secara total. Kata kaaffah bisa jadi merujuk pada kata udkhulu, yakni masuklah semuanya, bisa juga kata kaaffah merujuk pada kata silmi yang berarti masuklah kedalam silmi secara menyeluruh. Fakhruddin al-Razi, salah seorang mufassir besar, mengkritik penafsiran yang memaknai silmi itu sebagai agama Islam). Hal ini, didasarkan pada ayat itu sendiri yang justru problematic, karena ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Kalau sudah beriman, mengapa disuruh masuk Islam. Ini tidak boleh terjadi. Oleh sebabitu, maka beliau mengajukan makna bahwa kata “As-Silmi” adalah “as-Sulh (damai) dan “tarkul muharabah” (meninggalkan/menghentikan perang). Maka, jika begitu, ayat itu bermakna :“Hai orang-orang yang beriman. Masuklah/bergabunglah ke dalam proses perdamaian secara total, dan tinggalkan/hentikan perang”.

Kata moderasi itu sendiri bukanlah konsep yang lepas dari Islam. Alquran sendiri banyak meneguhkan agar umat Islam diperintahkan dalam melakukan sesuatu itu yang tengah-tengah, wasath. Kata wasath, wasathi, dan wasathiyah ini, dalam semua derivasinya ditemukan dalam lima ayat Alquran, yaitu QS. Al’Adiyat:5, QS. Al-Maidah:8, QS. Al-Baqarah: 238; QS. Al-Qalam: 28; dan QS. Al-Baqarah: 143. Tafsir at-Rhabari mamaknai wasath sebagai sikap yang adil. Sebuah sikap yang berada ditengah-tengah, tidak kikir juga tidak boros, antara akal dan wahyu kata Imam Al-Ghazali.

Jika secara itilah, kata moderasi beragama ada dalam Alqur’an, mungkinkah Alquran bukan dari Islam. Dan patut untuk di catat bahwa moderasi beragama bukan ingin melakukan moderasi Islam atau agama, melainkan cara beragama. Sikap dan cara kita dalam beragama harus merefleksikan pada kesadaran akan keadilan, kejujuran, kemanusiaan, kebangsaan, dan sebagainya. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Moderasi Beragama yang Disalahfahami

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *