Moderasi Beragama yang Disalahfahami

Pemuda

PADA tanggal 08 – 10 Desember 2021 yang lalu, saya memfasilitasi program penyuluhan moderasi beragama bagi para penyuluh agama Islam di lingkungan Kementerian Agama Provinsi Riau. Selama proses diskusi, banyak sekali informasi-informasi yang disalahfahami terkait dengan moderasi beragama yang sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2021 – 2024. Ada mis-konsepsi, kecurigaan, bahkan pemutarbalikan fakta tentang moderasi beragama yang dimotori oleh Kementerian Agama RI ini.

Ada yang memahami moderasi beragama sebagai wajah lain dari Islam Nusantara, yakni ingin menyatukan Islam dengan budaya atau tradisi lokal di Nusantara. Misalnya, sholat memakai bahasa Jawa, dan lainnya. Kecurigaan peserta yang lain tentang moderasi beragama adalah anggapan bahwa moderasi beragama akan mengurangi kesetiaan terhadap agama yang di milikinya. Misalnya, tidak memiliki kepedulian ketika agama Islam di hina atau di rendahkan oleh orang yang berbeda dengan Islam. Bahkan ada juga yang berkesimpulan bahwa ada upaya liberalisasi pemikiran dalam penguatan moderasi beragama ini. Moderasi beragama dianggap sebagai proses pengabaian atas pendekatan keagamaan yang didasarkan pada teks, sehingga cenderung menggunggulkan konteks.

Kecenderungan lainnya, bahkan ini umum berlaku pada beberapa Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Agama, tidak terkecuali juga kaum intelektual Kampus, yang menganggap bahwa moderasi beragama merupakan pendangkalan praktik beragama. Kecurigaan kenapa hanya umat Islam saja yang dijadikan “objek” penguatan moderasi beragama, juga menghembus kuat di kalangan mereka ini. “Jangan ajari kami moderasi, karena dari dulu Islam sudah moderat”, begitu kira-kira kesimpulan mereka atas pemahaman moderasi beragama. Menariknya, pada penghujung pembicaraan mereka ini, mengarah pada “mundur sajalah Pak Menteri Agama” atau “Pak Jokowi tak layak menjadi Presiden, karenanya mundur lah”.

Moderasi Beragama; Kenapa Penting?

Pertanyaan ini menjadi penting, ketika muncul ragam kecurigaan sebagaimana di sebutkan di atas. Tidak sedikit, warga Kementerian Agama sendiri, yang memiliki pandangan penuh curiga atas moderasi beragama. Uniknya lagi, terjadi juga pada petinggi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri. Sungguh sebuah kelaziman yang sangat tidak lazim.

Moderasi beragama muncul, setidaknya, dilatarbelakangi oleh; Pertama, berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebih-lebihan atau ekstrem, yang cenderung mengesampingkan martabat kemanusiaan. Sebagaimana dipahami bersama bahwa Indonesia merupakan Negara yang penduduknya sangat beragam, baik suku, budaya, dan agama. Sehingga dalam poses interaksi sesama warga Negara yang beragam itu, selayaknya berusaha untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Bukankah misi suci pada setiap agama, termasuk Islam, adalah untuk mengangkat martabat kemanusiaan, termasuk misalnya tidak sembarangan menghilangkan nyawa manusia lainnya? Nah, pada tataran ini, tidak jarang cara beragama yang kita praktikkan justru mengenyampingkan nilai-nilai kemanusian. “Atas Nama Tuhan” atau “Atas Nama Agama”, tidak jarang kita menyakiti, menghakimi, merendahkan, mengolok-olok orang lain yang berbeda dengan kita.

Oleh karena itu, dalam konteks keindonesiaan yang majmuk, bahkan dalam situasi yang sudah mengglobal hari ini, di mana interaksi antar manusia yang begitu meluas, dan karenanya tentu akan semakin sering mengalami “perjumpaan” dengan aneka ragama suku, bahasa, budaya, dan agama, lainnya yang berbeda, maka menonjolkan substansi dari agama Islam menjadi penting untuk dilakukan. Misalnya, menjunjung tinggi keadilan, kejujuran, tolong-menolong, berlomba-lomba dalam kebaikan, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya.

Kedua, munculnya moderasi beragama sangat terkait dengan berkembangnya klaim-klaim kebenaran yang subyektif dan adanya upaya-upaya pemaksaan atas tafsir agama yang dimiliki kepada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya. Dalam setiap agama atau kepercayaan yang beragam di Indonesia, memiliki ragam aliran dan faham yang beragam pula, ketika memahami perintah Tuhannya. Dalam Islam sendiri, terdapat aneka tafsir dan mazhab yang berbeda-beda dalam memahami Alquran dan Hadits Nabi. Misalnya dalam memberikan fatwa atas hukum dan tertib suatu ibadah tertentu, misalnya shalat, puasa, haji dan lainnya, para Ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda.

Perbedaan ini, tidak saja terkait dengan berkembangnya ajaran Islam dalam waktu, zaman dan tempat atau konteks yang berbeda-beda, juga karena perbedaan pendekatan yang digunakan. Dari sinilah kemudian dikenal ada ajaran Islam yang bersifat pasti, normative, qath’i, tetap, dogmatis, tidak berubah-rubah (tsawabit), doktrin; dan pada saat yang sama ada ajaran yang bersifat historis, kontekstual, fleksibel, berubah-rubah, dzanni, sesuai dengan kondisi konteks, waktu, dan zamanya. Umat Islam diajak untuk mampu memahami dengan baik dua hal ini. Indikator yang mudah untuk dijadikan dasar adalah pada posisi ajaran tersebut, diperdebatkan di kalangan Ulama atau tidak. Jika ajaran Islam itu menjadi pemahaman yang sama pada setiap faham atau kelompok umat Islam, tidak ada ikhtilaf, perdebatan di dalamnya, maka ia bersifat normative atau qoth’i; seperti jumlah rakaat shalat, tidak ada perdebatan dikalangan ulama terkait jumlah rakaat shalat. Sebaliknya, jika sebuah ajaran itu, memunculkan ragam pandangan, bersifat ikhtilaf, maka ia berada pada wilayah historis, bersifat dzanni.

Pada wilayah dzanni ini, terkadang kita “mati-matian” mempertahankan diri, bahkan tidak jarang berani mengatasnamakan Tuhan. Lebih-lebih lagi, ketika ada kepentingan pribadi atau politik yang menyertainya. Sudah bisa dipastikan, klaim-klaim kebenaran itu akan berujung pada konflik. Padahal dalam skema yang disebutkan di atas, ini adalah wilayah fleksibel. Umat beragama mencoba memahami pesan Tuhan, dalam Islam Alquran, sesuai dengan kemampuan keilmuan, pengalaman, dan tidak jarang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang mengitarinya. Sehingga melahirkan ragam ajaran, mazhab, aliran dan lainnya. Karenanya, wilayah ini disebut dengan wilayah dzanni. Maka kemampuan umat Islam agar mampu mengelola keragaman tafsir keagamaan itu, menjadi penting untuk dilakukan.

Ketiga, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan semangat kebangsaan atau cinta tanah air. Sebagaimana kita sadari bersama, ada sebagian umat beragama yang menjadi warga Negara Indonesia, yang bahkan hingga saat ini menghirup kenikmatan dan dimanjakan oleh Negara Indonesia, justru menginginkan perubahan mendasar dengan mengganti kesepakatan para pendiri bangsa ini, yakni Pancasila dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Proses ini, bukanlah upaya untuk membenturkan agama dan Negara. Melainkan merubah cara pandang umat beragama dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia yang hari ini kita nikmati, merupakan warisan para leluhur, para pendiri bangsa yang telah bersepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara. Mereka juga menyepakati bahwa Indonesia bukanlah Negara agama, juga bukan Negara yang memisahkan diri dari agama (sekuler). Nilai-nilai agama dirawat, dikelola dan dipadukan dengan nilai-nilai kearifan tradisi, yang menjadi penyokong dan peneguh kehidupan warga-bangsa. Sebagian hukum agama dilembagakan oleh Negara.

Namun demikian, harus ada batasan kapan Negara boleh mengatur umat beragama, kapan Negara harus mengatur umat beragama, dan kapan Negara tidak boleh ikut campur urusan agama. Tanpa kemampuan memahami relasi ini, moderasi beragama akan tidak mampu membangun hubungan Negara dan agama.

Demikian catatan ini, menjadi sangat penting apabila semua warga Negara ini, saling menjaga, dan menjunjung nilai-nilai luhur keagamaannya. Moderasi beagama sudah menjadi bagian dari program besar Presiden dan Kementerian Agama sebagai lokomotifnya. Sehingga, akan berlaku pada semua sector kementerian dan semua agama. Anggapan bahwa moderasi beragama hanya ditujukan pada umat Islam saja, itu merupakan penilaian yang sangat keliru. Lebih keliru lagi jika itu disampaikan oleh para petinggi, yang justru menjadi lokomotif penguatan moderasi beragama. Wallahu a’lam bi Al-Shawab. ***

Baca : Relasi Kuasa tidak Seimbang atas Perempuan

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *