Tengah-Tengah

Pemuda

PADA tahun 2007 yang lalu, Muhammad Ali As-Shalabiy menulis Tesis yang berjudul Alwashatiyah fil Qur’anil al-Karim. Tesis ini, merupakan karya akademik untuk menyelesaikan studi Magister di Universitas Ummu Darman Sudan. Dalam tesis ini, As-Shalaby menyatakan bahwa akar kata Washathiyah terdapat dalam 4 (empat) kata dalam Alquran, yang masing-masing memiliki kesaman makna;

Pertama, ayat “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqarah: 143). Dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Said Al-Khudri ra, bahwa Nabi saw telah memberikan penjelasan terkait makna ummatan wasathan dalam ayat ini, yaitu “keadilan” (HR. Tirmidzi, Shahih).

At-thabari ketika menafsirkan ayat “wasathan” dalam ayat ini adalah “posisi paling baik dan paling tinggi”. Lebih lanjut, At-Thabari kemudian mengutip pendapat Ibnu Abbas ra, Mujahid, dan Atha’ saat menafsirkan ayat di atas, bahwa kata Ummatan Washathan bermakna “keadilan”. Sehingga, jika ayat ini dimaknai secara keseluruhan berarti bahwa “Allah menjadikan umat Islam sebagai umat yang paling adil”.

Begitupula tafsir Imam Al-Qurthubi, bahwa wasathan adalah keadilan, karena sesuatu yang paling baik dalam Islam adalah yang paling adil”. Sedangkan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa makna wasathan dalam ayat ini adalah paling baik dan paling berkualitas. Bahkan para ahli tafsir lain seperti Abdurrahman As-Sa’diy dan Rasyid Ridha memberikan penafsiran atas ayat di atas, kata Wasathan sebagai keadilan dan kebaikan.

Dengan berbekal beberapa pandangan para mufassir di atas, maka kata wasathan dalam surat Al-Baqarah 143 ini adalah; “Keadilan dan kebaikan, atau umatan wasathan adalah umat yang paling adil dan paling baik”.

Kedua, ayat yang menyebutkan bahwa “Peliharalah semua shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’”. (QS. Al-Baqarah: 238). Para Ahli tafsir seperti At-Thabari menjelaskan bahwa maksud dari shalat wusthaa adalah Shalat Ashar, karena terletak di tengah-tengah shalat lain antara subuh dan zuhur serta maghrib dan isya”. Namun demikian, Imam aL-Qurthubi menyebutkan bahwa kata al-Wustha merupakan bentuk feminism dari kata wasath yang berarti terbaik dan paling adil. Sedangkan menurut Ibnul Jauziy, maksud ayat ini ada 3 makna: (1). Terkait dengan shalat yang terletak pada pertengahan, (2). Paling tengah ukurannya dan (3). Karena paling afdhal kedudukannya.

Ketiga, ayat “Berkatalah (aushathuhum) seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?” (QS. Al-Qalam: 28). Ayat ini dalam pandangan Ibnu Abbas ra dan At-Thabari adalah Bahwa yang di maksud dengan kata aushatuhum merupakan “Orang yang paling adil dari mereka”. Sementara Al-Qurthubi menafsirkan ayat 28 surat Al-Qalam ini adalah “orang yang paling Ideal, paling adil dan paling berakal dan paling berilmu”. Dengan demikian, ayat ini dapat dismpulkan bahwa makna kata ausathuhum adalah “paling adil, paling baik atau ideal dan paling berilmu”.

Ketiga ayat di atas, menyebutkan dengan sangat terbuka akan kemestian kata Wasatha atau moderat dalam Alquran. Baik ulama klasik hingga kontemporer menyatakan hal yang sama. Yang sudah jelas adalah bahwa kata wasath berarti berada di tengah, yakni ditengah dua sisi, yaitu kiri dan kanan. Tengah adalah bidang yang membagi dua posisi sama rata. Ummatan Wasathan adalah umat menengah atau moderat ialah umat pertengahan dalam segi aqidah, ibadah, dan kehidupan.

Konteks tengah-tengah ini, misalnya dicontohkan dalam Alquran bahwa dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. al Isra [17]: 29). Kata Ibn Katsîr bahwa ayat ini berbicara tentang perintah Allah untuk bersikap moderat/wasathiyyah dalam membelanjakan harta, dengan memberikan kecaman kepada orang-orang yang bakhil dan larangan untuk bersikap boros. Kemudian Ibn Katsir mengutip hadits yang diriwayatkan imam Ahmad dari Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah bersabda, “mâ âla man iqtashada (Tidak akan melarat orang-orang berhemat/moderat).”

Tengah-tengah dalam konteks ini adalah proporsional. “Berhentilah sebelum kenyang dan makanlah sebelum lapar” adalah potret tengah-tengah dalam beragama. Jadi, anggapan bahwa cara beragama secara moderat atau wasath itu tidak ada dalam Alquran, merupakan pandangan yang sangat lemah dan tentu menjadi picik, karena lemahnya dalam mengeksplorasi ayat-ayat Alquran itu sendiri.

Ragam persoalan yang menyasar umat Islam di Indonesia hari ini, mulai persolan berlebih-lebihan dalam beragama sehingga melahirkan sikap radikal, takfir, fanatisme buta (at-ta’ashshub al-a’mâ), hingga keengganan untuk menyatakan kesetiaan atas tanah air-nya sendiri, menjadikan model beragama wasathiyyah ini, menjadi penting untuk dipraktikkan. Sebuah sikap beragama yang proporsional dan adil.

Persoalan lain yang menjadikan sikap wasathiyyah ini menjadi penting adalah Pertama, adanya kecenderungan sebagian kalangan umat Islam yang bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami agama (Islam) serta hukum-hukumnya dan mencoba memaksakan cara tersebut di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal dengan menggunakan kekerasan; dan kedua, adanya kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain.

Dengan demikian, sangat salah apabila muncul stigma bahwa moderasi beragama akan melonggarkan cara-cara beragama umat. Stigma dimunculkan, agar proses penguatan moderasi beragama menjadi semakin lemah. Wallahu a’lam bi al-Shawab. ***

Baca : Moderasi Beragama; Ancaman bagi Islam?

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *