Menghidupkan Spirit Nabi untuk Perempuan

Pemuda

SYAHDAN, Umar Ibn Khathab bercerita di hadapan Nabi yang mulia, ”Dahulu aku punya seorang anak perempuan, kemudian aku ajak anak perempuanku ke suatu tempat, tiba di tempat yang aku tuju, aku mulai menggali sebuah lubang, setiap kali tanah yang aku gali mengenai bajuku, maka anak perempuanku membersihkannya. Padahal dia tidak mengetahuinya, sesungguhnya lubang yang aku gali adalah untuk menguburnya hidup-hidup untuk persembahan berhala. Setelah selesai menggali lubang aku kubur anak perempuanku hidup-hidup. Menjelang ajalnya, anakku memegang erat tanganku”.

Pada kalimat terahir itu, Umar yang dikenal keras dan pemberani, menunduk dan menitikkan air matanya, yang tentu saja diikuti oleh Nabi Muhammad serta para shahabat lainnya. Sungguh jelas, ada penyesalan yang amat sangat, yang dialami oleh Umar. Bahkan, konon ingatan Umar akan peristiwa itu, sampai beliau menjabat sebagai khalifah dan sudah tentu diahiri dengan deraian air mata.

Meskipun penyesalan Umar sungguh luar biasa, namun sesungguhnya memang begitulah tradisi atau kebiasaan masyarakat jahiliyah, dimana perempuan dianggap makhluq Tuhan yang memberatkan kaum laki-laki. Di masa-masa itu, orang Arab cenderung tidak menyukai anak perempuan, jika istri mereka melahirkan anak perempuan, mukanya memerah, dan kebanyakan akan menguburnya hidup-hidup dengan dalih “persembahan kepada berhala”. Peristia ini sering disebut dengan peristiwa wa’dul banât atau pembunuhan bayi perempuan marak.

Perempuan tidak ubahnya “barang” pemuas bagi laki-laki. Bahkan Perempuan pada masa itu, bisa “diwariskan” kepada anak, saudara, atau tetangga yang “memerlukan” perempuan itu. Kemudian Nabi Muhammad, dengan misi rahmatan lil ‘alamin-nya, mencoba mengubah cara pandang masyarakat Arab pada waktu itu, atas perempuan. Tradisi Arab pelan-pelan diubah oleh Nabi. Mulai dari mengutuk praktik keji pembantaian atas bayi tanpa dosa itu dengan ancaman untuk dipertanggungjawabkan kelak di hari kiamat. Kecaman ini tertuang antara lain dalam Surat Takwir ayat 8-9 yang diturunkan di Makkah (sebelum hijrah Nabi)

Bahkan lebih dari sekadar penghapusan atas praktik pembunuhan bayi, Nabi secara bertahap juga mengubah adat atau kebiasaan era jahiliyah yang merugikan kaum hawa. Seperti tradisi melarang perempuan—yang telah dicerai suaminya—untuk menikah lagi. Begitu juga dengan tradisi poligami. Masyarakat Arab jahiliyah yang “doyan kawin” kerap bertindak melampaui batas ketika memenuhi gairah seksualnya. Karena sikap yang selalu memposisikan perempuan sebagai objek, kaum laki-laki saat itu bisa menikah nyaris tanpa terikat norma dan jumlah tertentu.

Namun demikian, yang utama sesungguhnya adalah bahwa Islam memiliki misi untuk mengangkat derajat perempuan. Ada upaya Nabi untuk menjadikan posisi perempuan setara dengan kaum laki-laki. banyak sekali ayat atau hadits yang menggambarkan semangat emasipasi (persamaan hak) antara laki-laki dan perempuan. Allah tak membeda-bedakan derajat hamba menurut jenis kelaminnya melainkan kadar ketakwaannya. Ini lah spirit Nabi yang mestinya menjadi inti dari catatan di atas.

Semangat atau spirit ini, menurut Muhammad Kamil Hasan al-Mahami, penulis buku Ensiklopedi Tematis Al-Quran, justru telah memengaruhi sikap dan perlakuan orang-orang Barat kepada kaum perempuan. Misalnya, Kratsovieski, seorang Orientalis dari Rusia, yang menulis buku Asbania al-Muslimah, mengungkapkan bahwa kedudukan perempuan di Spanyol banyak dipengaruhi oleh tradisi Islam di Arab, sebagaimana yang tertera dalam Alquran. Begitu juga catatan Brufansal, Orientalis dari Perancis, memaparkan sejumlah ayat-ayat dalam Alquran yang berkaitan dengan hak perempuan. Misalnya, bagaimana seorang perempuan berhak menerima warisan. Menjelaskan syarat-syarat seorang laki-laki yang akan menceraikan istrinya. Serta menjelaskan kesamaan pahala yang didapatkan laki-laki maupun perempuan di hadapan Allah SWT.

Jika banyak di antara kita umat Islam di Indonesia, yang mempertanyakan bahwa spirit atau semangat untuk memberikan ruang bagi kaum perempuan atau kesetaraan gender adalah produk Barat, misi untuk menghacurkan Islam, maka anggapan itu justru terjadi sebaliknya. Islam justru memiliki semangat yang sama, bahkan mengilhami mereka untuk mengangkat hak dan martabat kaum perempuan.

Oleh karenanya, ketika hari ini, perempuan-perempuan Indonesia berada pada “ancaman” kekerasan, maka selayaknya bagi umat Islam untuk membela dan membangkitkan kembali spirit Nabi di atas.

Dalam catatan Nadim Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) RI, bahwa kekerasan terhadap perempua sepanjang Januai hingga Juli telah mencapai 2.500 kasus. Lebih mencengangkan lagi, menurut data Komnas Perempuan, terdapat 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari hingga September 2021.

Ikhtiar beberapa kelompok pembela perempuan agar Negara hadir dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan melalui Rancangan Undang-Undang Pencegahaan Kekerasan seksual (RUU PKS), maupun upaya Kemendikbud Ristek dalam mengurangi kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan, melalui Permendikbud Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, adalah modal utama bagi kita semua untuk membangkitkan kembali spirit Nabi untuk melindungi kaum perempuan. Wallahu A’lam bi Al-Shawab….***

Baca : Tengah-Tengah

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *