Bekerja

Bang Long

Bismillah,

”SEMUNYE mesti jelas ke mane abahnye. Jangan macam kere. Lompat sane, loncat sini,” Abah berpesan ketika rehat di pondok setelah motong getah. ”Bekerja mestilah tekun. Macam motong getah. Kalau tak tekun, pokok getah akan rusak,” tambah Abah.

Hidup ini mestilah jelas. Bahkan, mati pun harus jelas. Apa tujuan dan bagaimana kita hidup? Bagaimana kita mati nanti? Tentu kita menginginkan yang terbaik. Mestilah kita nak hidup dan mati dengan indah. Kita nak hidup dalam kebahagiaan. Hidup nak lebih daripada cukup lahir dan batin. Hidup dalam kesyukuran. Mati dengan senyuman. Berakhir dengan kebaikan.

Kita berdiri hanya pada dua simpang. Kanan dan kiri. Ke mana abah yang nak dituju, kita-lah yang harus memutuskan. Nak ke kiri atau ke kanan? Kita mesti mempertimbangkan masak-masak sebelum memutuskan. Baik atau buruknya, kita renungkan betul-betul. Nak bekerja, paling tidak kita nak tahu apa pekerjaan dan bagaimana mengerjakannya. Di sini, kita juga akan berdiri pada dua simpang itu. Nak melompat, jangan asal lompat. Nak meloncat pun, jangan asal meloncat. Jika tersalah lompat atau tersalah loncat, kita akan berdebam terjerembab.

Santai saja. Kerja sudah ada sebelum kita lahir. Dunia semata. Kita sering mendengar seseorang berkilah seperti kalimat tersebut. Betul memang sesuatu harus kita lakukan dengan santai, tetapi tergantung pada keadaan. Santai itu penting. Namun, tidak semua keadaan dapat kita buat dengan santai. Juga benar bahwa kerja sudah ada sebelum kita lahir. Itulah hakikatnya. Kita hidup di dunia ini memang diperintahkan untuk berikhtiar mencari nafkah sebagai ibadah. Bukankah bekerja itu ibadah? Bekerja bukan cuma urusan perut. Bekerja bukan sekedar urusan keinginan. Karena itu, bekerja bukan masalah dunia semata. Bekerja lebih berat ke masalah akhirat. Kita akan diminta pertanggungjawaban dari pekerjaan yang dilakukan.

Bekerja yang benar itu wajib. Kita bekerja yang benar berarti kita melaksanakan kewajiban. Sebab itu, kita pun wajib memilih apa pekerjaannya dan bagaimana mengerjakannya. Apakah pekerjaan kita lebih berat ke jalanan kanan atau ke jalan kiri. Kita mesti niatkan sebagai ibadah apa yang kita kerjakan itu. Menjadi bawahan (staf) atau atasan (kepala), niatkan bekerja ikhlas sebagai ibadah. Bukankah waktu siang yang disediakan Allah Taala untuk mengusahakan kehidupan (berikhtiar)?

Sebagai pekerja, kita dituntut memiliki etos kerja. Ada empat etos kerja terbaik yang diajarkan Rasulullah. Pertama, bekerja secara halal. Carilah pekerjaan yang halal dan cara bekerjanya pun halal. Ada ungkapan keliru, yaitu mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal. Dunia ini memang dibentangkan dengan halal-haram. Kehidupan kita adalah pilihan. Kita pilihlah jalan ke kanan. Kedua, bekerja agar tidak menjadi benalu. Satu atau dua hari menumpang hidup bolehlah. Tak mungkin nak menjadi benalu seumur hidup. Ketiga, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan tulang delapan kerat, kita memeras keringat dan membanting tenaga untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Keempat, bekerja untuk meringankan hidup tetangga. Berbagi kepada orang lain, terutama tetangga sangat dianjurkan dari hasil kita bekerja.

Selain itu, etos kerja yang bisa kita budayakan adalah bekerja dengan tuntas, bekerja dengan cerdas, bekerja dengan cergas, dan bekerja dengan ikhlas. Bekerja dengan tuntas bermakna menyelesaikan suatu pekerjaan dengan maksimal. Bekerja dengan cerdas bermakna melaksanakan pekerjaan dengan mengerahkan kemampuan intelektual. Bekerja dengan cergas berarti melaksanakan pekerjaan dengan keterampilan cekatan. Bekerja dengan ikhlas adalah melaksanakan pekerjaan tanpa membayang-bayangkan atau mematok berapa upah yang akan diperoleh. Tunjuk Ajar Melayu mengajarkan dengan ikhlas setiap pekerjaan menjadi ibadah. Apa tanda Melayu sejati, tulus dan ikhlas di dalam hati. Apa tanda Melayu bertuah, tulus ikhlas dalam bertingkah, berkorban tidak mengharap upah.

Dalam bekerja, kita patut memikirkan prestasi kerja. Prestasi kerja adalah hasil kerja. Hasil kerja yang dimaksud bisa bersifat individu atau organisasi. Hasil kerja diperoleh berdasarkan beban kerja yang dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok. Untuk memperoleh prestasi kerja maksimal, kita perlu menerapkan etos kerja terbaik. Etos kerja inilah yang akan membayangi setiap gerak kita untuk bekerja dengan budaya terbaik. Profesionalitas akan lahir dari etos kerja terbaik tersebut.

Jangan ngelitai aje,” tambah Abah.

Namun, mungkin kita pernah berteman dengan seseorang yang ngelitai. Kerjanya mondar-mandir. Dia berjalan sana-sini, tapi tak tahu apa yang nak dikerjakan. Kalau dalam suatu kantor, orang seperti ini akan bolak-balik dari suatu ruangan ke ruangan lain. Kerjanya cuma berbual dengan orang yang dia kenal. Dia tak tahu apa tupoksinya. Dia duduk di kantin berjam-jam. Selanjutnya, pergi ngopi entah ke mana. Kadang wajahnya muncul, kadang laksana ditelan senja. Kerjanya menyanyah sana sini. Orang seperti ini tak pernah serius bekerja dan selalu berkilah. Padahal, dalam Tunjuk Ajar Melayu ada dikatakan bahwa Apa tanda Melayu bertuah, dalam bekerja pantang menyanyah. Apa tanda Melayu bertuah, terhadap bekerja tiada berkilah.

Perilaku ngelitai ini bagai kera terpegang belacan. Dia akan terus gelisah mondar-mandir. Waktu berharga dibawa angin sia-sia. Tentu saja jauh dari prestasi kerja yang bermarwah. Apa yang dilakukannya pun kurang mendatangkan faedah. Tentu juga tidak amanah. Dalam bekerja menjaga marwah. Dalam bekerja menjaga marwah. ***

Alhamdulillah.
Bengkalis, Selasa, 14 Rajab 1443 / 15 Februari 2022

Baca : Telaga

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *