Dari Kamar 3333

Lelang Suak Sungai

LELAKI itu baru pulang dari lantai tiga kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI bersama beberapa teman aktivis lingkungan, dan perwakilan masyarakat adat dari Suku Bonai Rokan Hulu serta perwakilan masyarakat Indragiri Hilir Provinsi Riau.

Hari memang sudah malam. Salah satu sudut kota Jakarta sudah hampir seperti kota mati. Tak ada hingar bingar seperti dulu. Ia buka jendela. Melihat suasana di luar. Lampu gedung-gedung pencakar langit tampak terang berpendar. Tapi di bawahnya sepi. Tak banyak kendaraan berlalu lalang. Tak kelihatan orang-orang berjalan.

Ia lempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia coba picingkan mata. Sebentar kemudian ia menunggu kantuk, namun ngantuk tak datang juga. Ia tak dapat lelap. Matanya tak mau pejam. Ia pun duduk dengan malas-malasan. Beringsut ke meja di samping jendela. Ia buka kaca tingkap kamar 3333 itu sedikit. Tersingit sekira dua jari saja. Ia biarkan udara di luar dan hembusan dingin air conditioner menerpa tubuhnya. Ia tarik napas tidak begitu dalam. Lalu dihembuskannya pelan.

Dari kamar 3333 pikirannya berbalik ke belakang. Pada Rabu kemarin ia dinobatkan menjadi pucuk pimpinan adat di daerahnya. Ia menjadi Datuk Sati Diraja, Batin Sibokol-Bokol yang merupakan satu pucuk adat dari Batin Nan Kuang Oso Tigo Puluh. Saat penobatan itu dihadiri langsung Sultan Pelalawan yang diwakili Tengku Pangeran, Bupati Pelalawan, Datuk Engku Raja Lela Putera, Staf Ahli Gubernur Riau, Ketua DPH Lembaga Adat Melayu Riau, Ketua DPH LAMR Kabupaten Pelalawan, anggota DPRD Kabupaten Pelalawan, sejumlah Datuk Pucuk dari Batin Nan Kuang Oso Tigo Puluh serta undangan lain yang hadir dari ibukota provinsi Riau, dari Ibukota Kabupaten Pelalawan serta sejumlah undangan dan jemputan dari berbagai daerah lainnya. Kampungnya saat itu gegap gempono oleh manusia.

Pada Kamis ia langsung ke Jakarta mengajukan hutan adat bagi masyarakat kampungnya. Pada saat itu ia masih merasa letih dan amat kelelahan karena hampir dua bulan ini tak dapat istirahat. Badan maupun pikirannya berlari terus ke sana kemari.

Sejak ia dipercaya masyarakat menjadi Datuk Sati Diraja/ Batin Sibokol-Bokol pada 28 April 2023, ia sangat sibuk membantu nenek mamak dan pemerintahan desa mempersiapkan prosesi helat penobatan.

Walaupun gawe majelis penobatan itu bukan tanggung jawabnya, karena sebagai orang yang akan dinobatkan, tentulah ia bagai pengantin, atau bak orang mati. Sebagai pengantin sebenarnya ia hanya duduk manis di atas singgasana, dan menunggu dirajakan. Namun jika semua pekerjaan dibiarkan dan diserahkan kepada orang-orang kampungnya, anak kemenakannya, tentulah tidak baik juga. Bukankah niat baik mereka harus juga dibalas dengan kebaikan?

Karena itulah ia bolak balik bertemu Bupati Pelalawan, membicarakan penobatan dan perbaikan jalan menuju ke kampungnya. Jalan sudah rusak parah. Selama ini masyarakat menjerit karena amat sulit keluar dari desa. Alhamdulillah bupati Pelalawan akhirnya welcome.

Selain bertemu bupati, ia juga bolak balik bertemu dengan Ketua DPH Lembaga Adat Melayu Riau di mana ia juga telah dipercaya menjadi salah seorang pengurus dalam lembaga itu. Selain itu ia juga mesti bertemu dengan Gubernur Riau karena masyarakatnya ingin kampung yang seolah terlupakan itu dikunjungi pejabat tinggi negara.

Dengan segala kekurangannya, lelaki itu berusaha bertemu dengan Gubernur. Tak bisa hari ini ya esok hari. Tak dapat pagi hari ya petang hari. Tak dapat di kantor yan di tengah jalan. Akhirnya pertemuan itu pun terlaksana berkat teman-temannya di LAM Riau. Hebatnya, ia bertemu dengan gubernur di rumah almarhum Tenas Effendy, tokoh adat Melayu itu bersama beberapa pengurus Lembaga Adat Melayu Riau dan beberapa orang ulama. Setelah itu ia beberapa kali bertemu dengan gubernur di mesjid gubernuran, dan di kota Dumai.

Dari kamar 3333 pikirannya terus menjalar, mengalir ke belakang, ke beberapa waktu lalu. Memikirkan kampungnya dan memikirkan prosesi penobatan membuat ia tak nyenyak tidur. Sebentar tidur sebentar tersintak. Ia merasa seolah malam dan siang sama saja. Bahkan kenkadang ia lebih banyak tidur saat siang bila dibandingkan malam. Tak sekali dua kepalanya terlentuk alias tersungkur di meja kerjanya.

Namun untunglah, ia merasa Tuhan selalu mengikuti dan sangat menjaganya kemanapun ia melangkah. Dari salah satu stasiun televisi swasta, sekitar tiga pekan yang lalu, ia diajak keliling, ke hulu ke hilir desanya karena mereka ingin berbincang panjang tentang kampungnya itu.

Karena kegiatan itu, ia amat bersyukur disebabkan dapat menengok kembali wilayah kampungnya setelah dua puluh tahun lebih tak menyusuri wilayah tersebut secara total. Selama dua puluh lima tahun itu, hidupnya sebagian besar dihabiskan di luar kampung. Ia sekolah di luar, mulai tingkat SLTP hingga program S3 karena memang, tak ada lembaga pendidikan lanjutan setelah sekolah dasar di tanah kelahirannya itu.

Mereka menyusuri Laut Ombun atau Sungai Kampar, mulai dari kampungnya hingga ke batas paling hulu, lalu menghilir hingga perbatasan. Ia ajak nenek mamak dan tokoh masyarakat yang ikut menaiki tebing Teluk Mempelam, yang merupakan pandam pekuburan nenek moyangnya di masa lalu. Kabarnya komplek pebukuran itu sudah puluhan tahun tak dilihat dan diziarahi karena sudah tidak tahu entah nenek moyang atau keluarga siapa yang bermakam di situ. Setelah berdoa sepatah dua, ia bersama rombongan meninggalkan tempat itu. Terbersit di jiwanya jika pemerintah di daerahnya mau, alangkah baik kuburan umum itu dipagar, dibersihkan dan minimal sekali setahun diziarahi secara berjamaah oleh masyarakatnya, anak kemenakannya.

Dari kamar 3333, pikirannya terus mengingat dan mengikuti kembali pompong yang membawa mereka ke hilir. Ia lihat pohon sawit sudah tinggi menjulang di samping pokok longung. Salah seorang tetua adat menginformasikan kepadanya bahwa pokok sawit itu sudah ada sejak orang tua itu masih kecil. “Mungkin umur pokok itu sudah seratus tahun lebih,” katanya. Datuk Sati Diraja terkejut, dan berucap dalam hati, bahwa pohon sawit itu pohon lokal kampungnya. Rupanya bukan tanaman impor. “Orang tua-tua kita menyebutnya kelapa bali,” lanjut orang tua itu lagi. Lelaki 46 tahun itu mengambil hp dari dalam saku ranselnya. Mata kamera handphone pun mengarah ke pokok kelapa bali dan pokok longung tersebut.

Setiap teluk, tanjung, rantau, suak dan soluk difotonya. Setiap pokok sialang yang tumbuh, baik terpisah atau pun berkerumun dengan pohon sialang yang lain dijepretnya.

Tak seperti dua puluh tahun lalu saat ia pergi ke hulu sebagai jalan hendak sekolah. Di sini sekarang telah banyak menjadi kebun kelapa sawit. Di hulu dan di hilir kampungnya, pokok sawit hampir memenuhi seluruh pinggir tebing. Kalau pun masih ada kayu kayan hutan, itu hanya pokok sialang. Dia begitu terpesona dengan kepungan sialang yang tumbuh seolah tumbuh dalam kebun sawit. Padahal pohon sawit lah yang tumbuh dalam kebun sialang. Karena sebelum sawit-sawit itu mekar, tumbuh dan menjulang, pohon sialang lah yang pertama kali mendiami tempat itu.

Yang membuat ia terperangah, tulisan-tulisan budayawan tentang kepungan sialang itu seolah ada di tempat-tempat yang sangat istimewa. Namun menurut aktivis lingkungan yang pernah berbincang dengannya, ternyata tak banyak lagi kepungan sialang yang diungkap orang-orang hebat itu di tempat lain, justeru yang pasti ada itu adalah di kampungnya walau tak sebanyak dulu lagi.

Masya Allah!” katanya saat itu. Rupanya, cerita seperti dalam dongeng yang diceritakan para budayawan itu ada di tanah kelahirannya. Ia terkejut sekaligus tertawa geli. “Betapa tak sadarnya aku, betapa tak sadarnya hamba,” katanya senyum-senyum sendiri.

(Bersambung)

Baca: Pemimpin dan Rakyatnya

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews