Masih dari Kamar 3333

DI KAMAR 3333, di samping jalan Iskandar Syah Jakarta Selatan, pikiran lelaki 46 tahun itu terus beringsut ke belakang. Setelah dari Teluk Mempelam yang merupakan satu pandam pekuburan orang kampung yang sudah lama tak dijenguk masyarakat itu, bersama rombongan, ia berhanyut ke hilir menuju kampung tua yang juga sudah ditinggalkan ratusan tahun, yaitu Santoghok.

Orang-orang kampung menyebutnya Dusun Toghok/Terap. Sebagian lagi mengucapkannya Dusun Tuo. Di sini ia melihat bekas kebun masih ada seperti pokok rambutan yang sudah menjulang tinggi ke awan, pokok rambai, longung dan tanaman kebun lainnya. Yang terbanyak pokok getah. Mereka hanya sekejap di sini.

Rombongan terus bergerak ke hilir, ke wilayah Malaka Kecil. Di tepi sungai, sebuah dermaga kayu seolah sedang menanti mereka. Di bawah dermaga, air hanya beriak kecil karena gelombang yang dihasilkan pompong yang merapat. Kawasan ini sekarang terdapat pemakaman umum. Pada awalnya daerah ini merupakan perkampungan yang maju. Menurut penuturan para tetua negeri, masyarakat di sini dahulunya makmur sejahtera. Namun karena tragedi Tuk Uban Menuba Kampar, maka kini kampung tua itu hanya menjadi tempat peristirahatan abadi masyarakat.

Seperti apa tragedi Tuk Uban Menuba Sungai Kampar itu?

Dahulunya orang kampung ini punya musim menuba sungai. Selain laut Ombun atau Sungai Kampar, daerah sini memiliki berbagai anak sungai yang menyimpan beraneka ragam jenis ikan sebagai penghasilan utama masyarakat. Sebagian anak-anak sungai itu sekali setahun dulunya dituba dengan racun dari akar tuba, yaitu akar pohon yang berfungsi hanya untuk memabukkan ikan bukan mematikan semua ikan. Namun setelah peralatan menangkap ikan manusia rakus makin canggih, maka anak-anak sungai itu seperti ditinggalkan ikan dengan berbagai jenisnya itu. Tahun-tahun terakhir, tradisi menuba sungai ini tidak dilakukan lagi karena berkurangnya ikan dan sebab musabab lainnya.

Tentang Tuk Uban. Saat itu ia bersama masyarakatnya menuba sungai Kampar. Setelah sekian hari memungut ikan-ikan yang timbul ke permukaan sungai, tiba-tiba timbullah makhluk aneh berbentuk bayi berambut pirang. Masyarakat sini menyebutnya Bialo Bagombak Ome. Setelah makhluk ini dibawa ke rumah Tuk Uban, maka masyarakat pun berduyun-duyun, berhimpun pepat di rumah Tuk Uban ingin melihat makhluk asing itu. Namun terdapat hal aneh terjadi, di mana setelah melihat makhluk itu dari jarak dekat, banyak masyarakat yang merasa sakit. Tak berselang hari, yang sakit tersebut meninggal dunia. Hampir semua penduduk yang melihat makhluk asing tersebut sakit dan meninggal dunia. Melihat kenyataan itu, Tuk Uban pun membuang kembali makhluk ganjil tersebut.

Walaupun sudah dikembalikan ke sungai, namun korban tetap berjatuhan. Melihat dan memperhatikan kondisi yang tak menguntungkan itu maka masyarakat pun berdedai-dedai meninggalkan kampung tersebut. Mereka berpindah ke sebuah tempat di hilir Malaka Kecil tersebut. Daerah baru tempat mereka hijrah itu adalah Rantaubaru sekarang. Dinamakan Rantaubaru karena konon di rantau atau di tempat itu dulu banyak tumbuh kayu baru-baru.

Di Malaka Kecil ini terdapat beberapa makam atau kuburan para ulama dan bijak bestari. Lokasi pemakaman ini terbagi tiga tempat, yaitu perkuburan hilir, tengah dan hulu atau kiamat (keramat). Di pekuburan hilir atau ulak, yang masyhur terdapat makam Syekh H Muhammad Aris yang merupakan ulama sufi, konon hidup semasa dengan Ongku Mudo Sangkal, sang pendiri mesjid Jami’ Air Tiris. Selain itu terdapat juga makam para bijak bestari seperti tokoh adat, yaitu yang pernah menjadi Datuk Sati, dan pemangku adat lainnya.

Sementara di pekuburan tengah terdapat makam Syekh Haji Abdurrahman Thohir, Syekh Haji Abdusshomad Ja’afar dan sejumlah tokoh adat, seperti Datuk Sati Lajip serta pegawai syara’, seperti imam-imam mesjid yang pernah mengurus masyarakat, di antaranya Imam Said.

Sedangkan di pekuburan hulu atau dikenal masyarakat sebagai pekuburan kiamat (keramat) terdapat makam Syekh H Ibnu Kusir/Katsir Mayung adik beradik, yaitu di antaranya Rahimah Mayung, Hanafi Mayung serta cucu Syekh Khalifah Mayung yaitu Abdul Gani bin Muhammad Yusuf yang merupakan salah seorang tokoh pendidikan di Rantaubaru dan di Kabupaten Pelalawan. Sedangkan tentang Muhammad Yusuf yang merupakan ayah dari Abdul Gani Yusuf ini merupakan cucu dari Syekh Haji Muhammad Aris.

Di pekuburan keramat ini juga terdapat kuburan beberapa orang Datuk Sati, di antaranya Muhammad Taib dan Nawawi serta para bilal yang pernah memakmurkan mesjid di Rantaubaru, di antaranya Bilal Bahrum.

Tentang penamaan pekuburan kiamat/ keramat ini, menurut Syekh Haji Abdul Gani Dukut, karena ada satu orang warga masyarakat yang bermakam di tempat itu meninggal dunia bersama seekor harimau yang juga tewas di sebelahnya. Sebelum nyawa sama-sama melayang, konon kabarnya mereka berkelahi sengit yang menyebabkan sama-sama meregang nyawa.

Masih dari kamar 3333, lelaki itu masih membayangkabn suasana Malaka Kecil, di mana tumbuhan kampung masih berdiri berdegam di tempat ini. Pohon manggis, longung, salak, rambai dan pokok-pokok lainnya tampak menjulang di sela-sela batu-batu nisan yang banyak mencancang.

(Bersambung…)

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *