Dari Jendela Kamar 3333

Terapi Kamar Mandi

DARI kaca jendela kamar 3333 yang terbuka, lelaki itu melihat pemandangan di luar. Matahari belum timbul. Angin seperti masih malas bertiup. Daun pepohonan yang tumbuh di luar kamar seperti sedang tidur. Tak ada goyangan. Namun di jalanan sesebuah kendaraan bermotor tampak berlalu-lalang. Jakarta mulai bergerak.

Ia masih bersyukur tak jadi pulang ke Pekanbaru hari Sabtu kemarin karena semua flight menuju Pekanbaru full sudah.

Malam tadi ia tidur nyenyak setelah hampir dua bulan tak bisa lena karena memikirkan kampung halaman dan penobatan dirinya sebagai Datuk Sati Diraja/Batin Sibokol-Bokol, pucuk pimpinan adat di negerinya. Selain itu, karena begitu padat jadwal yang telah direncanakan, dan sebagiannya tanpa disusunnya tetapi mesti dijalani.

Di antara kegiatan yang direncanakannya itu adalah menjenguk suak, sungai, seluk, teluk, rantau dan tanjung sebagai ulayatnya sebelum dinobatkan akhirnya terlaksana. Kampung lama bernama Santoghok/Dusun Tua/ Dusun Toghok (Terap), dan Malako Kocik pun dengan rasa penuh syukur dan takzim dapat ia jejaki bersama kru insan televisi swasta pada 10 Juni 2023.

Ia sampai di batas, di rantau Sialang Seibu Saghak (syara’), kemudian menghilir ke Teluk Mempelam (pemakaman tua) yang selama ini hanya didengarnya dari penuturan tetua kampung dari mulut ke mulut.

Di Teluk Mempelam, tanpa disadarinya, ibu jari kakinya tertumbuk pada sebuah batu nisan yang diukir dan dipahat dengan elok. Pada salah satu batu nisan, parang yang dicencangkan orang kampungnya sampai patah hulu sementara batu tersebut tidak tergores sedikit pun.

Para pemangku adat dan insan media yang hadir bersamanya sedikit terkejut. Menurut beberapa orang tua yang ikut menuturkan, bahwa batu nisan itu dulunya ditempah nenek moyangnya di Temasik atau Singapura.

Ia dan rombongan tak berlama-lama di sana. Mereka terus ke hilir, ke Teluk Bedagu Guntung, Badagu Godang, Tanjung Bono, Teluk Merbau, Kepala Rantau Santoghok/Dusun Terap/Tua, Teluk Sialang Sempak, Rantau Santoghok, Rantau Sialang Raja, Teluk Membaung, Sungai Malipari, terus ke Rantau Kebun atau Malaka Kocik.

Terus ke hilir, ke hilir, dan ke hilir.

***

Dari jendela pagi kamar 3333, tiba-tiba ingatannya berlari pula pada saat sehari sebelum penobatan. Ya, tepatnya pada 20 Juni lalu. Ia terkenang dan tetiba terbayang saat memasuki Danau Sepunjung. Danau ini terletak di seberang Desa Rantaubaru. Ketika masih kecil, saat masih sekolah dasar, di danau inilah ia habiskan petang hingga senja bersama ayahnya menikmati suara burung dan binatang hutan lainnya, serta menangkap ikan yang banyaknya hampir separuh sampan.

Di danau ini juga ia mengail ikan jalai (mungkin ikan cana), toman, baung dan lainnya bersama kakeknya. Ia teringat betapa runsing hati kakeknya atau tata-nya ketika kail jalainya dimakan labi-labi. Kakeknya menyangka ikan toman atau jalai yang melahap pancingnya. Eh, rupanya labi-labi. Ia benar-benar ingat betapa masam roman wajah kakeknya ketika itu. Betapa gusar hati tata alias kakeknya itu.

Dari jendela kamar 3333 itu, ia teringat saat hampir tengah hari, rombongan wartawan sudah lebih duluan menelusuri sungai Kampar ke hilir. Sementara ia dan Datuk Engku Raja Lela Putera (Tuk Engku) serta rombongan dalam pompon yang bersamanya merapat dulu ke kampung karena Tuk Engku akan segera meninggalkan tempat itu karena ada aktivitas mendesak lainnya.

Setelah menyinggahkah zuriat Maharaja Dinda itu di kampung, ia kembali menyeberangi sungai hendak menuju Danau Sepunjung bersama wartawan dan beberapa peneliti budaya. Anak sungai menuju Danau Sepunjung tenang. Pohon sialang yang berdegam di tepi tebing masih seperti dulu namun di belakangnya sudah berdiri kebun kelapa sawit warga. Pompong terus membelah air menuju ke dalam danau. Mata lelaki itu tak berkedip dihalakan ke kiri, ia ingin melihat Rantau Canting Tercampak.

Rantau canting tercampak? Ya, nama itu khusus diberikan ayahnya karena di sanalah tudung atau tutup canting atau cangkir ayan yang berisi teh manis ayahnya pernah jatuh ke dalam air saat suatu kali menjenguk jaring di sana. Saat berada di temapt itu, ia tak melihat lorong atau jalan yang membelah kayu kayan lagi. Semua telah tabun, telah tertutup.

Tak sampai lima menit, pompong yang membawa mereka sampai di Pulau Bongkal. Dinamakan Pulau Bongkal karena pokok bongkal atau bengkal bersusun di pinggirnya seolah ditanam. Pokok bengkal yang tumbuh di air masih seperti dulu, namun kini tertutup semak kumpai dan eceng gondok yang hampir menutupi danau. Sehingga permukaan air danau seperti tertutup tumbuhan itu.

“Waduh!” jeritnya dalam hati. Keindahan danau yang selalu dirindukannya saban balik kampung tak terobati. Pokok rasau atau pandan air seperti dulu yang berdiri di seberang pulau bongkal masih ada, namun lagi-lagi semak kumpai dan eceng gondok sudah menutupinya.

Mereka terus ke dalam, ia ingin melihat tempat ayahnya memasang jaring sampak enam yang dulu bergagal atau berjubel ikan-ikan besar seperti tebingalan, toman, selais, barau dan lainnya menyangkut di jaring ayahnya. Namun lagi lagi pompong yang membawa mereka tak dapat menjangkau tempat itu karena lagi-lagi semak-semak liar telah menutupinya.

Ia merasa kecewa. Di tengah kegundahan yang membuncah, di seberang, dari pokok rengas yang menjulang di sebelah kirinya tampak seekor enggang terbang ke seberang. Ia teringat semasa kecil dahulu yang selalu melihat sepasang enggang atau kekik selalu melayang di situ. Biasanya mereka terbang ke seberang pada saat matahari sudah condong jauh ke barat. Tapi dulu sepasang. Kini kenapa sendirian?

Seiring berlalunya dari tempat burung kesepian itu, ingatannya tiba-tiba beralih kepada bupati Pelalawan, karena beberapa waktu lalu ia pernah membincangkan tempat itu yang ke depan akan dijadikan destinasi wisata. Ia ingin sampaikan bahwa Danau Sepunjung segera minta dibersihkan.

Tak lama berselang, ia menyuruh pembawa pompong ke luar dari area danau. Mereka akan menyusuri teluk, suak, soluk, rantau dan tanjung di sebelah hilir kampungnya.

Dari kejauhan ia melihat ujung tanjung yang merupakan ujung kampungnya tampak tenang dan damai. Pohon-pohon sawit yang ditanam warga kelihatan melambai padanya. Air sungai tampak beriak kecil. Ia alihkan pandangan ke sebelah kanan, Teluk Sedewo kelihatan tenang. Di seberangnya, Tanjung Semamba telah berubah, pokok-pokok rengas yang dulu berjejer di pinggir tebing telah bertukar pohonan sawit. Tak jauh di hilir seberang Tanjung Semamba, pohon rengas tampak berdiri kokoh, di tangan-tangan, eh di dahan-dahannya terlihat bergayut sarang lebah. Alhamdulillah, ucapnya bergetar tak terdengar. Ia panggil salah seorang dalam rombongannya. “Itu pohon sialang. Alhamdulillah masih ada yang dinaiki lebah,” ucapnya senang setelah tadi terdiam membisu karena keindahan danau sepunjung yang dirindukannya tertutup semak-semak air. Orang-orang dalam pompong sibuk menghalakan kamera ponselnya ke dahan-dahan sialang, tempat lebah bersarang.

(Bersambung)

Baca: Masih dari Kamar 3333

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews