Masih dari 3333

IA tak jadi pulang ke Pekanbaru. Jakarta seolah masih merindukannya. Menahannya untuk tinggal lebih lama, setidaknya hingga esok subuh. Ya, hingga pukul 05.30 pagi.

Dari salah satu meja makan restoran hotel itu ia menikmati pemandangan kuliner yang dipajang di meja-meja hidangan. Ia baru saja selesai menikmati salad buah dan daun-daun segar setelah menyantap nasi goreng dan secangkir teh panas.

Pemandangan air sungai yang mengalir tenang kembali terpampang di matanya saat ia dan salah satu media televisi swasta menghiliri sungai di kampungnya. Ia dan rombongan kini sedang berada Rantau Sekati, terus ke Suluk Punggu, Kuala Sungai Sekati, Sungai Suluk Punggu, Suluk Kuras (Kughe).

Di atas tebing tempat-tempat itu hingga ke daratnya sudah ditumbuhi pokok-pokok sawit yang tak bergerak. Mematung karena angin seperti tak berhembus saat itu.

Tak seperti 20-an tahun lalu saat ia pergi merantau untuk sekolah ke ibukota kabupaten melalui Kuala Kerinci, di mana saat itu hutan perawan masih menyelimuti sepanjang tebing hingga jauh ke darat. Ia agak trenyuh sejenak. Matanya terpejam. Lelaki itu menunduk, diam.

Tapi syukurlah, katanya tak lama kemudian. Sawit-sawit ini semoga menyejahterakan masyarakatku, anak kemenakanku, katanya dalam hati memungut harapan.

Pompong yang membawanya bersama para mamak pucuk serta wartawan televisi swasta terus menghala ke hilir. Menyusuri air yang tampak beriak kecil.

Sepanjang perjalanan itu ia tak melihat anak kemenakannya melaksanakan aktivitas nelayan seperti dulu saat ia masih sekolah. Apakah karena ikan telah berkurang atau karena masyarakatnya sudah sibuk mengurus kebun-kebun mereka. Entahlah. Yang jelas di sepanjang rantau, teluk, suluk, kuala dan tanjung sepi nelayan, sunyi dari orang-orang yang menangkap ikan.

Kini ia berada di Teluk Bedagang. Matanya langsung melihat kayu-kayu rengas yang tumbuh menjulang berjejer seolah ditanam di atas tebing. Pokok rengas yang ditakutinya saat kecil karena akan membuat badan terkena penyakit kaligato atau penyakit gatal yang ditandai mentol-mentol di kulit itu tampak gagah, di mana dahan-dahannya seolah hendak menyapu langit. “Itu kobun sialang,” kata salah seorang tetua adat.

“Ohhh,” katanya. “Kobun sialang?”

“Yo. Tapi kini belum dihinggapi lebah,” sambung orang tua itu seolah mengetahui isi pertanyaan di kepala lelaki 46 tahun itu.

Di sekeliling pohon rengas, pohon-pohon bergetah gatal itu tumbuh sawit-sawit yang menunggu musim berbuah. Ia senang. Tentu masyarakatnya tak dapat lagi disebut sebagai masyarakat terisolir atau masyarakat marginal seperti pernah diselipkan bagi mereka saat puluhan tahu lalu.

Perahu motor terus ke hilir. Moncong kamera dan mata ponsel dihalakan para kru media televisi di kiri dan kanan pompong. Sesekali menjura kepadanya, dan orang-orang yang duduk bersamanya.

Mereka terus ke hilir, ke hilir dan ke hilir. Kini sampai di Kuala Suluk Kuras (Kughe), terus ke Teluk Muka Pulau, terus ke Rantau Pebaungan, Tanjung Baru-Baru (Baghu-Baghu), Sungai Pebaung, Teluk Pebaungan, Rantau Baru-Baru (Baghu-Baghu), Teluk Pangkalan Danau, Terusan Seluk Batang, terus menuju Tanjung Teluk Danan.

Perahu motor melambat seperti ingin berputar ke belakang.

“Kita tak sampai ke Tanjung Sigalang?” Tanyanya pada salah seorang mamak suku. “Tempat itu masih jauh lagi ke sana, Tuk. Kalau diteruskan, kita bisa malam baru sampai ke kampung nantinya,” jawab salah seorang mamak suku.

Lelaki itu hanya terdiam sesaat. Pikirannya menerawang ke masa lampau, di mana tempat itu menurut para tetua dan salinan manuskrip yang ada merupakan daerah perbatasan adat Datuk Ketemenggungan dengan Datuk Patih nan Sebatang. Di mana dari situ ke hilir dipakai hukum syarak semata, dan dari situ ke hulu dipakai hukum Patih nan Sebatang di mana pusaka pulang ke kemanakan.

Hal itu termaktub dalam dalam manuskrip Sejarah Kerajaan Pelalawan (salinan Tengku Said Ja’afar Umar Muhammad, 1941, hal. 2), dan diterakan kembali dalam buku Lintasan Sejarah Pelalawan (Dari Pekantua ke Kabupaten Pelalawan) karya Tenas Effendy, dkk. 2005. “….kata tambo2nja adalah tempat mereka bermoesyawarat itoe sampai sekarang dinamai orang Sigalang, karena moelai dari Sigalang kehilir dipakai hoekoem sjarak dan dari Sigalang kehulu dipakai hoekoem Patih nan Sebatang poesaka poelang kekemanakan. Inilah sebabnya maka dinamai galang (watasan) hoekoem adat sjarak dalam keradjaan Pelalawan (soengai Kampar).”

Dalam salinan Wazir Tengku Besar Pelalawan yang Pertama Datuk Engku Raja Lela Putra juga dimaktubkan, bahwa sesuai dengan aslinya, yang ditandatangani Wan Nasrun di Langgam pada 2 Juni 2014, kemudian dibukukan berjudul “Keturunan dari Bahagian District Langgam” pada halaman 3 juga dituliskan bahwa:

“Rupanya terdengar pula kabar oleh Raja Gunung Hijau (Tuan Gadis) bahwa Maharaja Dinda sudah jadi Raja di Bandar Tolam Kampar, maka ia pun berangkat pula menghilir sungai Kampar buat bertemu dengan Maharaja Dinda itu. Pada masa itu pula Maharaja Dinda pun berangkat memudikkan sungai Kampar, tiba di Kuala Batang Nilo, lalu bertemu Maharaja Dinda dengan Raja Gunung Hijau (Tuan Gadis) sedang menghilirkan sungai Kampar, maka sama-sama berhenti di kuala sungai, maka di sungai karang mengarang buat janji, kadang ia pun berjanji serta tidak boleh mendatangkan dengki khianat atas keduanya, dimuka orang yang tersebut.

Sesudah itu Raja Gunung Hijau berangkat pulang ke Gunung Hijau serta meninggalkan orangnya dua orang pada Maharaja Dinda, yang pertama bergelar Laksamana. Dialah keturunan Datuk Sati di Sungai Boko-Boko atau Rantau Baru, sukunya Melayu serta ia diberikan tanah Boko-Boko atau Rantau Baru, dan sekarang persukuan dibawahnya ada satu suku Mandailing (Maliling: red), dan Maharaja Dinda pun memberikan orangnya dua orang pula pada Raja Gunung Hijau atau Tuan Gadis.”

***

Lelaki 46 tahun itu membayangkan betapa senang dan bahagia masyarakat kampungnya waktu itu karena negeri mereka menjadi tempat berunding dua utusan kemaharajaan nusantara, yaitu Kerajaan Pekantua Kampar yang menjadi bagian dari Kerajaan Johor dari Semenanjung dan Kerajaan Bundo Kandung atau Pagaruyung Minangkabau.

Lelaki itu tersentak. Kemudian ia menginstruksikan pemilik pompong segera gegas memutar haluan, kembali ke hulu. Mereka kemudian sampai di Teluk Danan, Sungai Tuntung Angin, Terusan Suluk Batang, Rantau Suluk Batang, Tanjung Semamba, Teluk Sedewa (Sadeo), Kuala Danau Sepunjung, Ujung Tanjung hingga Teluk Cengkoing yang merupakan seberang desa Rantaubaru, di mana ia kini dipercaya anak kemenakannya sebagai teluk timbunan kapar, pucuk jala pumpunan ikan.

(Bersambung)

Baca: Dari Jendela Kamar 3333

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *