Mengenal Upacara Adat Upah Upah Suku Sakai di Riau

LAMANRIAU.COM, PEKANBARU – Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menggelar upacara Upah Upah untuk Bongku bin Jelodan dan keluarga di Balai Adat Melayu, Jalan Diponegoro, Pekanbaru, Minggu 9 Agustus 2020 malam.

Bongku sempat dipenjara selama tujuh bulan dan dilepas pada Juni lalu dari Lapas Klas II A Bengkalis. Bongku dituduh telah menebang pohon akasia untuk menanam ubi manggalo di lahan milik PT Arara Abadi.

Sebenarnya Upah Upah adalah upacara adat masyarakat dari perbatinan suku Sakai yang banyak mendiami kawasan Ke amatan Talang Mandau, Pingir dan Batin Solapan di Kabupaten Bengkalis.

Lalu apa itu upacara adat Upah Upah? Sesepuh suku sakai, Dr Muhammad Agar Kalipke, yang lama berdiam diri di Negara Bagian Hamburg, Jerman ini menguraikan ritual Upah Upah.

“Pada mulanya Upah Upah ini adalah sebuah acara pengobatan babak akhir dalam sebuah pengobatan tradisi perdukunan di masyarakat sakai untuk seorang pasien yang telah berhasil disembuhkan oleh dukun dari penyakit, terutama berkenaan dengan semangat,” katanya.

Kata Upah Upah ini berasal dari kata dasar upah yang maknanya adalah hadiah, atau buah tangan dari keluarga pasien melalui seorang dukun.

Memang sesuai namanya, Upah Upah ini dibuat, selain untuk makanan pasien yang telah sembuh, sebangsa syukuran, tetapi juga yang paling penting adalah untuk imbalan kepada makhluk halus yang telah membantu pasien ini menjadi sembuh kembali dengan mengembalikan semangat atau roh yang diperangkapnya (makhluk halus).

Upah Upah ini terdiri dari dulang kulit kayu cenaih yang bagian atasnya dilapisi dengan daun keai (sebangsa palem).

Sedangkan di dalam dulang kulit kayu cenaih ini, atau isi Upah Upah ini adalah;

Boeh patah tampaot–betampaot. Artinya beras putih biasa yang patah-patah, kemudian disambung-sambung. Ini melambangkan barisan masyarakat kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, menunjukkan kesatuan yang tak dapat dipisahkan atau terpisahkan.

Boeh panjang somik buieig. Yakni beras putih biasa yang utuh (tak ada yang patah), kemudian disambung-sambung sehingga membentuk lingkaran yang terlihat seperti semut yang berjalan mengikuti satu dengan yang lainnya. Ini menyimbolkan kesatuan dari orang-orang yang disegani di masyarakat.

Bungo samak. Yaitu bunga dari pohon samak. Bunga ini menyimbolkan keindahan. Indah dipandang mata dan senang dirasakan hati. Maka disebutlah dengan kata pujian bedoau bungo samak yang bermakna “berbunyi indah bunga samak”.

Boeh puteih siku keluang. Maknanya, beras putih yang dibentuk dan dimiripkan dengan siku/sendi keluang atau siku kalong besar. Beras bentuk ini menyimbolkan orang-orang intelektual atau bijaksana di dalam lingkungan masyarakat adat suku Sakai, yang bisa diajak berunding untuk memecahkan suatu masalah yang ada di dalam libgkungan masyarakat adat Sakai.

Tolou ebuih. Ialah telur ayam rebus. Telur ini memaknakan atau melambangkan/membayangkan kejadian manusia atau asal-usul manusia. Dari telur inilah terlahirnya manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Seorang dukun dengan menggunakan sebutir telur, dipercaya mampu mendeteksi atau meronsen penyakit apa yang ada di dalam tubuh pasien yang sedang mwnderita sakit.

Nasi Kunyik. Yakni nasi ketan yang diwarnai dengan air kunyit dan santan, sehingga berwarna kuning. Nasi kuning dari ketan atau pulut ini ialah menunjukkan kerapatan dan keakraban petinggi-petinggi masyarakat Sakai yang tak mudah dipisahkan dan dipatahkan satu sama lainnya. Paling kurang kita mengharapkan demikian. Warna kuning pula menandakan warna yang berwibawa atau yang diagungkan.

Panggag ayap betangkup ialah ayam panggang yang ditelungkupkan letaknya pada nasi ketan kuning tadi. Ayam ini, biasanya, ayam jantan yang masih bujang; setelah disembelih, dibumbui, dan dipanggang hingga matang, maka ayam itu diletakkan di puncak nasi kuning.

Nah, selain memandakan tanda bersyukur, dengan memakan ayam panggang itu, tetapi ayam panggang ini juga mempunyai makna tertentu, diluar dari sekedar kebutuhan selingkar perut saja.

Proses pemanggangam ayam ini, sehingga menjadi ayam panggang, menyimbolkan betapa masyarakat adat Sakai sangat menjunjung tinggi budaya mereka yang mengatur hidup dan kehidupan mereka.

Apa yang mereka katakan “Pampeh pemoli daah, dandag pemoli ngao” tercamtumlah di dalam ayam panggang ini. Yakni baik melukai, maupun membunuh sekalipun ada aturan dendanya atau hukumannya. ***

Ikuti berita lamanriau.com di GoogleNews

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *